Apa paradoks dari wacana atau isu Jokowi 3 periode yang sedang merebak belakangan ini?
Ammar MufadhalExplainer
Apa paradoks dari wacana atau isu Jokowi 3 periode yang sedang merebak belakangan ini?
Share
Paradoksnya dirangkum oleh gambar ini:
😤😤
Misalkan X adalah satu isu atau masalah dari sebuah bangsa. Saking seksinya masalah ini sampai-sampai isunya saban hari diangkat terus di media, dijadikan jualan di banyak kampanye capres, cagub, maupun caleg.
X ini bisa apa saja. Bisa banjir, bisa macet, bisa hutang, bisa lapangan kerja, korupsi, medical care, bisa juga kemiskinan, pengangguran, atau radikalisme.
Pada intinya, X akan dibahas terus dimana-mana oleh si kandidat ini. Di TV, di koran, di Twitter, FB, detik, cnn, tv One, rcti, …
Isu X teruuus-terusan dibahas dan didiskusikan solusinya oleh para kandidat di banyak forum.
Mulai dari solusi yang standar sampai solusi yang bombastis, apapun itu lah sampai akhirnya X pun masuk ke dalam alam bawah sadar kita— para rakyat jelata yang akan memilih salah satu diantara mereka.
Kita sehabis mendengar debat capres putaran kedua: “Wow, bener juga tuh jadi jika kita pilih orang ini maka masalah X pasti akan segera teratasi.”
Dan orang ini pun terpilih dan dilantik.
Ketika menjabat, orang ini sadar ternyata masalah bangsa bukan hanya X. Ada masalah A, B, C, O, P, Q, R, S…😁. Orang ini pun kebingungan dan bertanya ini mana yang harus diprioritaskan coba?😭
Well, prioritasnya ya tergantung donatur dia pas kampanye dulu, dan ehm, partai pengusungnya.
Jadi bisa saja pas kampanye yang dibahas sampai berbusa-busa adalah isu X tapi pas menjabat yang diurusin malah isu O atau P, atau apapun selain X.
Nah, karena isu X bukan lagi prioritas, di tahun pertama menjabat dia fokus ngurusin isu O, tahun kedua ribet ngurusin isu C, tahun ketiga isu R, tahun ke empat isu Q. Isu X baru akan dicolek lagi sama dia bila ada netizen yang beramai-ramai mengingatkan. Akhirnya, ya bablas.😁
Ambil contoh misalnya X adalah isu banjir. Biasanya baru ramai dibahas lagi setelah apa? Yep, setelah ramainya kasus kebanjiran.
Kasus kebakaran hutan baru ramai dibahas setelah kebakaran.
Kasus korupsi, pengangguran, macet, pun begitu.
Tapi coba bandingkan dengan Ratu Elizabeth misalnya.
Ratu Elizabeth punya pendekatan yang berbeda di mana masalah atau isu yang “timeless” di-assess seperti ketika berada pada sebuah helix.
Ambil contoh isu banjir seperti gambar di atas yang terus berulang, atau yang lebih serius lagi seperti isu pendidikan misalnya. Berbeda halnya dengan kurikulum di Indonesia, kurikulum yang ada di sepanjang periode masa jabatan Ratu Elizabeth sudah pasti aman dari resiko terfragmentasi. Hasilnya pun rapih, tertata, dan terlihat seperti helix, alih-alih awut-awutan seperti benang kusut.
Ini idealnya TAPI, tapi ya ngga mungkin dong diterapkan di Indonesia.
Sekarang taruhlah presiden menjabat sampai akhir masa jabatannya, namun isu X belum juga diatasi, mungkin karena sibuk ngurusin isu P, C, R, O— yang sama sekali ngga disinggung ketika mereka kampanye dulu, who knows— habis itu pas ditagih janjinya untuk segera menyelesaikan isu X dia pun berdalih: “wah, ngga keburu nih bos, waktunya kurang banyak”
To be fair, mau sampai kapan pun, mau presidennya siapa pun, selama periode masa jabatannya dibatasi, semua presiden, gubenur, walikota, tentu bakal berdalih “waktunya kurang banyak”. Maka muncullah wacana Jokowi 3 periode.
Terdengar keren ya? Padahal ngga sama sekali. Bayangkan anda orang tua yang ngebayarin kuliah S1 anak anda di UPH, setelah masuk semester 8 skripsinya mentok di bab 3, lalu anak anda bilang, “wah ngga keburu nih, satu semester lagi deh, ya plis, plis??”
Lalu kemudian timbul pertanyaan: Apa bisa ya negara dengan sistem seperti kita ini mengadopsi pendekatan masalah yang di-assess seperti ketika berada pada sebuah helix—yang aman dari resiko terfragmentasi dan tidak awut-awutan seperti sekarang.
Kalau dulu ada yang namanya GBHN. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, GBHN ini, kalau bahasa anak IT, mungkin bisa bertransformasi menjadi semacam repositori dari rencana pembangunan prioritas biar ngga tercemari sama kepentingan pribadi dan golongan, terlebih oleh para donatur kampanye misalnya. Jadi ada kaya semacam bintang utaranya. Dari situ bisa dengan mudah ditracking ini pembangunan kita semakin mendekat ke bintang utara apa makin menjauh? Misal mendikbud baru berencana merevisi Kurikulum 2013. Oh tinggal pull request aja. Nanti dilihat oleh para pakar independen apakah revisinya ini oke atau tidak. Kalau nggak ya jgn baper dan memaksakan diri.
Acak adulnya penyelesaian masalah yang terjadi pasca reformasi itu karena terlena dengan alam kebebasan. Ibarat ingin menyelesaikan masalah yang penyelesaiannya butuh waktu yg lama tapi solusinya bebas suka-suka rezim yang berkuasa jadinya ya saling tumpang tindih, kalau tidak bisa dibilang linier. Boro-boro berbentuk Helix.
Semisal ditemukan bug di kurikulum 2013, maka akan sulit untuk menginspeksi apakah bug itu sudah muncul dari kurikulum sebelumnya ataukah justru disebabkan karena kurikulumnya direvisi ke 2013?
Kalau saja setelah reformasi disepakati dulu bintang utara kita harus seperti apa, nggak akan kaya begini jadinya. Mitigasinya? Yang pasti selama rencana pembangunan masih tercemari sama kepentingan pribadi dan golongan, Jokowi 3 periode bukanlah jawabannya.
AL