Jawaban ini berfokus pada masa kepemimpinan Mao Zedong dari 1949 hingga 1959, saat ia menjabat sebagai Presiden dan Ketua Republik Rakyat Tiongkok. Dalam ulasan ini, akan dibahas empat kebijakan utama Mao yang secara mendasar mengubah wajah Tiongkok, membentuk Tiongkok modern seperti sekarang.
Perlu dicatat bahwa ulasan ini bukanlah pembelaan terhadap Mao. Pendapat kita tentang Mao—baik itu membenci, mencaci, atau mengagumi—tidak akan mengubah fakta sejarah yang telah terjadi. Mao tetap dianggap sebagai pahlawan di Tiongkok, seorang pembebas dari tirani militer yang didukung AS, yang represif, korup, dan brutal. Antrean panjang manusia di depan mausoleumnya menggambarkan betapa besar arti Mao bagi rakyat Tiongkok, lebih dari pendapat kita atau pendapat orang luar lainnya. Dengan demikian, apakah kita suka atau tidak suka terhadap Mao, sebaiknya menjadi urusan pribadi dan tidak perlu diperdebatkan.
Tulisan ini bertujuan untuk berbagi pengetahuan, berdasarkan pengalaman penulis saat bekerja di lembaga penelitian Jerman dan menangani proyek-proyek di Tiongkok. Melalui pengalaman ini, penulis mengenal Tiongkok dengan lebih mendalam. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang ingin memahami Tiongkok dengan lebih baik.
Membaca pengalaman negara lain juga bisa memperkaya wawasan kita sendiri dan memberikan pelajaran dari pengalaman tetangga di kawasan Asia.
**Mao Zedong**
Berbeda dengan pemahaman banyak orang, Mao bukanlah pendiri Partai Komunis Tiongkok (PKC), yang dikenal secara resmi sebagai Communist Party of China (CPC; 中国共产党; Zhōngguó Gòngchǎndǎng). Pendiri PKC sebenarnya adalah Chen Duxiu dan Li Dazhao. Mereka berdua adalah tokoh-tokoh yang membangun PKC menjadi besar.
Mao juga bukan kader PKC yang dididik dan dipersiapkan sebagai pimpinan partai. Sebelum terlibat dalam politik, Mao adalah seorang guru di Universitas Changsha, Hunan.
Pada saat itu, Tiongkok menghadapi krisis sosial dan politik. Mao muda memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dan bergabung dengan Kuomintang (中國國民黨, Zhōngguó Guómíndǎng) yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat-sen, sosok pemimpin nasional yang sangat dihormati dan menjadi inspirasi bagi Mao.
Perjalanan politik Mao dimulai sebagai kader yang dididik oleh Dr. Sun Yat-sen. Dr. Sun melihat bakat dalam diri Mao dan mempersiapkannya sebagai pengurus cabang Kuomintang di Shanghai. Cabang Shanghai merupakan tulang punggung Kuomintang, dengan sumber dana utama berasal dari para pemilik bank, industrialis, dan pebisnis kaya di Shanghai. Sebagai orang kepercayaan Dr. Sun, Mao memiliki hubungan personal yang dekat dengan Dr. Sun dan keluarganya.
Foto di bawah ini menunjukkan Mao muda (berdiri di baris kedua, ketiga dari kanan) bersama para aktivis Kuomintang di Shanghai.
Mao Zedong baru meninggalkan Kuomintang setelah kematian Dr. Sun Yat-sen dan penunjukan penggantinya, Chiang Kai-shek, yang melancarkan operasi pembersihan kelompok-kelompok kiri, dikenal sebagai Pembantaian Shanghai pada tahun 1927. Chiang Kai-shek, dengan dukungan AS, menerima bantuan dari Jenderal Joseph Stilwell, yang diutus oleh Washington untuk mendampingi Chiang sebagai penasihat dalam “pembersihan kelompok-kelompok kiri dan potensi kiri.”
Pada masa itu, pucuk pimpinan Kuomintang dan pemerintah Tiongkok didominasi oleh individu-individu dengan sentimen anti-kiri yang sangat kuat. Kebijakan Chiang Kai-shek, yang didukung penuh oleh AS, menguasai Kuomintang, pemerintahan, dan militer. Sebagai Generalisimo, Chiang Kai-shek memiliki kontrol militer yang lengkap di seluruh Tiongkok. Dengan dukungan AS, Chiang memiliki tentara yang kuat dengan persenjataan modern.
Atas desakan Stilwell, Chiang Kai-shek memerintahkan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh buruh, petani, dan organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap kiri, dengan anggota PKC sebagai target utama. Pembunuhan meluas ke desa-desa karena rakyat miskin dianggap “berpotensi menjadi kiri.” Eksekusi dilakukan secara brutal di jalan-jalan, dan korban mencapai ratusan ribu jiwa.
Di tengah krisis politik ini, Mao meninggalkan Shanghai dan kembali ke kampung halamannya di Hunan. Dari Hunan, Mao bergabung dengan PKC untuk melawan rejim militer Chiang Kai-shek. Pada saat itu, PKC adalah satu-satunya organisasi politik dan militer di Tiongkok yang cukup mapan dan kuat untuk melawan rejim Chiang.
Kebrutalan militer Chiang Kai-shek mendorong rakyat Tiongkok untuk mendukung perlawanan PKC, yang dipandang sebagai upaya pembebasan dari rejim militer yang didukung AS, korup, represif, dan brutal. Perlawanan PKC mendapatkan dukungan dari rakyat jelata dan kelompok-kelompok militer yang menentang Chiang Kai-shek.
Fakta bahwa hanya sekitar 1,2 juta orang, atau sekitar 0,22% dari total populasi 541,67 juta, yang pindah ke Taiwan menunjukkan sikap dan respons rakyat Tiongkok terhadap rejim Chiang Kai-shek saat itu. Angka 0,22% ini menggambarkan sejauh mana dukungan terhadap Chiang Kai-shek di antara rakyat Tiongkok.
Kelompok-kelompok militer yang membangkang ini kemudian menjadi cikal bakal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Awalnya dikenal sebagai Tentara Merah Tiongkok dari tahun 1928 hingga 1937, PLA berganti nama pada tahun 1938. Senjata-senjata yang digunakan oleh Tentara Merah Tiongkok pada masa itu didominasi oleh senjata buatan AS, mirip dengan senjata yang digunakan oleh Tentara Nasional Tiongkok di bawah Chiang Kai-shek, sementara sisanya adalah senjata buatan Jepang hasil rampasan.
Pada tahun 1928, jumlah Tentara Merah Tiongkok sekitar 200.000 orang. Jumlah ini menyusut menjadi sekitar 10.000 orang pada saat mereka meraih kemenangan pada tahun 1949, menunjukkan betapa berat dan sengitnya perjuangan mereka selama periode tersebut.
Karier politik Mao Zedong di Partai Komunis Tiongkok (PKC) mengalami perkembangan yang cemerlang, dengan Mao merangkak naik hingga menjadi Ketua PKC, posisi yang ia pegang hingga akhir hayatnya. Di panggung politik nasional, Mao hanya menjabat sebagai presiden dan kemudian Ketua Republik Rakyat Tiongkok pada periode 1949–1959. Setelah periode tersebut, Mao tidak memegang jabatan pemerintahan dan menghabiskan masa tuanya di Zhongnanhai, Beijing, sebuah kompleks perkantoran yang nyaman dan dilengkapi dengan kolam renang. Kegiatan pagi Mao dimulai dengan berenang sebelum melanjutkan pekerjaan di kantornya hingga sore atau malam hari.
Di Zhongnanhai, Mao banyak membaca, menulis, serta menerima tamu-tamu dari berbagai negara dan menghadiri berbagai kegiatan sosial. Meskipun dia dianggap sebagai “Sesepuh,” “Penasehat,” atau “Pemimpin Utama” Tiongkok, Mao tidak memiliki wewenang eksekutif langsung; pemerintahan sepenuhnya merupakan ranah Perdana Menteri.
Bagi Tiongkok, Mao lebih dari sekadar Ketua PKC atau tokoh partai; ia adalah pahlawan nasional yang mendirikan Republik Rakyat Tiongkok dan membebaskan negara dari tirani militer dukungan AS. Mao juga dikenal sebagai pendiri dasar yang kokoh bagi Tiongkok modern.
Meskipun Mao tidak sempurna dan banyak melakukan kesalahan, seperti yang sering diklaim, beberapa kesalahan tersebut termasuk klaim mengenai “Lonjakan Besar” yang dianggap sebagai hoax media Barat. Revolusi Kebudayaan, di sisi lain, disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan oleh “Geng Empat” yang dipimpin oleh Jiang Qing. Mereka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sementara Jiang Qing memilih bunuh diri. Pemerintah Tiongkok juga memberikan kompensasi kepada korban Revolusi Kebudayaan.
Rakyat Tiongkok memahami baik jasa maupun kesalahan Mao dan menerima keduanya apa adanya. Ini terlihat dari banyaknya orang yang terus mengunjungi mausoleum Mao sebagai bentuk penghormatan, menunjukkan bukti yang tidak terbantahkan tentang pengaruhnya yang besar.
Empat Kebijakan Strategis Mao yang Mengubah Tiongkok:
- Demokrasi Parlemen Multipartisan
Kedekatan Mao dengan Dr. Sun Yat-sen dan Kuomintang menjelaskan mengapa setelah kemenangan PKC, Kuomintang dan berbagai partai lainnya tetap eksis dan aktif di Tiongkok Daratan. Kuomintang beroperasi di bawah nama baru, Komite Revolusioner Kuomintang Tiongkok, untuk membedakan dirinya dari Kuomintang Taipei di bawah Chiang Kai-shek. Ini menunjukkan bahwa musuh PKC sebenarnya adalah rejim Chiang Kai-shek, yang dianggap Mao sebagai “budak imperialis Barat.” - Kepemimpinan Madame Soong Ching-ling
Madame Soong Ching-ling, istri Dr. Sun Yat-sen, menjadi Ketua Komite Revolusioner Kuomintang. Pada tahun 1959, ia menggantikan Mao sebagai Kepala Negara dan Ketua Republik Rakyat Tiongkok untuk periode 1959-1975. Ini menegaskan bahwa Republik Rakyat Tiongkok pernah dipimpin oleh seorang wanita dari Kuomintang, bukan hanya dari PKC. - Keberadaan Partai Non-PKC
Hingga saat ini, Kuomintang dan tujuh partai politik non-PKC lainnya aktif di arena politik Tiongkok. Mereka bersama dengan wakil etnis minoritas menguasai sekitar 29% kursi di Kongres Rakyat Nasional, parlemen Tiongkok, menunjukkan keberagaman politik yang ada di negara tersebut.
Dalam analisis mengenai politik dan ekonomi Tiongkok, beberapa poin kunci dapat disorot dari pernyataan yang diberikan:
- Peran Partai Non-PKC dalam Politik Tiongkok:
- Terdapat banyak pejabat tinggi Tiongkok yang berasal dari partai-partai non-PKC atau minoritas etnis, seperti Chen Zhu, Wan Gang, Wan Exiang, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tiongkok bukanlah negara satu partai dengan pemerintahan tunggal oleh PKC seperti yang sering dianggap. Sebaliknya, Tiongkok memiliki struktur politik yang lebih kompleks dan inklusif.
- Tradisi Sentralisasi Pemerintahan:
- Tiongkok memiliki tradisi pemerintahan yang sentralistik sejak era Kaisar Qin Shi Huang. Sistem ini dianggap efektif dalam mengelola pembangunan di negara besar seperti Tiongkok dan mencegah pembangkitan kekuatan regional yang dapat menghambat kemajuan nasional. Pemerintah pusat di Beijing berfungsi sebagai lokomotif yang mendorong kemajuan, sementara pemimpin daerah harus bekerja keras untuk mengikuti irama pembangunan.
- Kombinasi Pemerintahan Meritokratik dan Demokrasi Multiparty:
- Struktur politik Tiongkok adalah gabungan antara meritokrasi yang sentralistik dan demokrasi parlementer multiparty. Pejabat tinggi pemerintah dipilih, diangkat, dan bertanggung jawab kepada Majelis Parlemen. Presiden dan Perdana Menteri bertanggung jawab kepada Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (SC-NPC), sedangkan Gubernur bertanggung jawab kepada Majelis Parlemen Provinsi. Ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintahan sentralistik, ada kontrol parlementer yang menghindarkan Tiongkok dari kediktatoran.
- Kebijakan Mao dan Transisi Ekonomi:
- Mao Zedong menghentikan Revolusi Proletariat yang bertujuan membentuk masyarakat komunis dan memilih untuk membangun ekonomi nasional berdasarkan sosialisme. Mao memprioritaskan pembentukan Xiaokang Society (Masyarakat Moderat Makmur) yang lebih realistis daripada membentuk Masyarakat Komunis. Ini mencerminkan pendekatan Konfusianisme dalam kebijakan Mao, berbeda dengan Marxisme.
- Pembangunan Ekonomi dan Peran Chen Yun:
- Ekonomi Tiongkok mulai tumbuh sejak awal dekade 1960-an, jauh sebelum era reformasi Deng Xiaoping. Chen Yun adalah tokoh kunci di balik strategi pembangunan ekonomi Tiongkok. Meskipun ada masa pemulihan pasca perang, pertumbuhan ekonomi mulai pesat pada tahun 1963, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sekitar 10%. Chen Yun dan timnya berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cepat selama lebih dari lima dekade.
- Usulan Pembukaan Ekonomi ke Pasar Global:
- Chen Yun mengusulkan agar Tiongkok membuka ekonominya untuk memanfaatkan pasar global, sebuah ide yang awalnya ditentang oleh kelompok konservatif. Chen Yun menekankan pentingnya pasar global untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan menulis surat kepada Deng Xiaoping untuk mendapatkan dukungan atas ide tersebut.
Secara keseluruhan, analisis ini menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki struktur politik dan ekonomi yang kompleks dan tidak sesederhana pandangan bahwa negara ini hanya dikendalikan oleh satu partai dengan sistem pemerintahan terpusat. Pendekatan Mao dalam menghentikan Revolusi Proletariat dan fokus pada pembangunan ekonomi menunjukkan transisi dari ideologi komunis murni ke model pembangunan sosialisme yang lebih pragmatis.
Pernyataan mengenai Deng Xiaoping, Chen Yun, dan kebijakan pembangunan di Tiongkok menguraikan bagaimana kebijakan dan keputusan strategis mereka membentuk kemajuan ekonomi dan sosial negara tersebut. Berikut adalah rangkuman dan penjelasan dari poin-poin utama:
- Peran Deng Xiaoping dalam Keterbukaan Ekonomi:
- Deng Xiaoping, setelah menggantikan Mao Zedong, mendukung integrasi ekonomi Tiongkok ke pasar global. Deng meyakinkan kelompok konservatif garis keras di PKC dan juga mendekati Presiden Jimmy Carter di Amerika Serikat untuk mendapatkan dukungan bagi keanggotaan Tiongkok di WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Meskipun ada harapan di AS bahwa keterbukaan Tiongkok akan menyebabkan liberalisasi politik dan menjadikannya pro-AS, kenyataannya tidak ada perubahan signifikan dalam rejim politik Tiongkok.
- Dampak Masuknya Tiongkok ke WTO:
- Setelah bergabung dengan WTO pada 11 Desember 2001, Tiongkok mengalami ledakan produksi dan kreativitas yang signifikan. Ekspansi ini berkontribusi pada pertumbuhan GDP yang sangat cepat, menjadikannya satu-satunya negara yang GDP-nya meningkat 185 kali lipat dari basis 1970 dalam lima dekade. Ini menunjukkan keberhasilan kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Chen Yun dan timnya, serta dampak positif dari keterbukaan ekonomi.
- Masyarakat Tanpa Kasta dan Kesetaraan Sosial:
- Mao Zedong memfokuskan upaya untuk membangun masyarakat tanpa kasta dengan menempatkan hak minoritas setara dengan mayoritas dan menyetarakan hak wanita. Contoh dari upaya ini adalah kisah Paman Kurban, seorang buruh tani Uyghur yang menjadi simbol penyetaraan hak minoritas. Mao juga mengimplementasikan Kebijakan Minoritas yang dilindungi oleh Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok.
- Hak Wanita dan Kesetaraan Gender:
- Mao juga berupaya menyetarakan hak wanita dengan memastikan akses pendidikan yang sama untuk anak perempuan dan kesetaraan gaji untuk wanita. Data menunjukkan bahwa posisi senior manajemen di Tiongkok didominasi oleh wanita, menjadikannya negara dengan proporsi wanita dalam manajemen tertinggi di dunia.
- Pembangunan Sumber Daya Manusia:
- Mao menekankan pentingnya pendidikan sebagai kunci kemajuan bangsa. Sebagai seorang guru dan Confucianis, ia percaya bahwa pendidikan yang baik akan memajukan masyarakat dan mengurangi manipulasi elit. Pendekatan ini memfasilitasi pengembangan sumber daya manusia yang lebih terdidik dan berkualitas.
Secara keseluruhan, analisis ini menyoroti bahwa kemajuan ekonomi dan sosial Tiongkok tidak hanya hasil dari reformasi Deng Xiaoping tetapi juga dari kebijakan strategis Chen Yun, serta upaya Mao Zedong dalam membangun masyarakat yang lebih setara dan terdidik. Tiongkok berhasil menggabungkan kebijakan sentralistik dengan keterbukaan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan yang luar biasa dan pembangunan sosial yang inklusif.
Pendidikan, pembangunan masyarakat tanpa kasta, dan solidaritas global adalah aspek penting dari warisan Mao Zedong dan dampaknya terhadap Tiongkok modern. Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai masing-masing poin:
Pendidikan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia
1. Pendidikan Wajib dan Aksesibilitas:
- Di bawah kepemimpinan Mao Zedong, Tiongkok menerapkan kebijakan pendidikan wajib selama 12 tahun untuk semua warganya. Guru-guru muda diwajibkan bekerja di desa-desa dan daerah terpencil untuk memastikan pendidikan menyentuh masyarakat miskin di pedesaan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan dan meratakan kesempatan belajar di seluruh negeri.
2. Fokus pada Sains, Matematika, dan Teknologi:
- Sistem pendidikan di Tiongkok direformasi dengan penekanan pada sains, matematika, dan teknologi. Setelah pendidikan dasar, siswa yang menunjukkan kecakapan akademik bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan mereka yang lebih tertarik pada keterampilan praktis bisa memasuki akademi atau pusat pelatihan kerja. Pendekatan ini menghasilkan angkatan kerja yang sangat terampil, dengan sekitar 200 juta pekerja terampil, termasuk 50 juta yang memiliki status Master Skilled Worker pada tahun 2022.
3. Ketrampilan Tinggi dan Dominasi Teknologi:
- Tingkat ketrampilan pekerja di Tiongkok mendukung posisinya sebagai “world factory.” Keterampilan tinggi dan produktivitas pekerja berkontribusi pada dominasi Tiongkok dalam publikasi ilmiah dan paten teknologi. Ini menunjukkan bagaimana reformasi pendidikan dan pelatihan profesional berperan dalam kemajuan sains dan teknologi negara.
Masyarakat Tanpa Kasta dan Kesetaraan Sosial
1. Pembangunan Masyarakat Tanpa Kasta:
- Mao Zedong berkomitmen untuk membentuk masyarakat tanpa kasta, yang berarti membagi masyarakat tanpa memandang kelas sosial, etnis, atau gender. Salah satu langkah penting adalah menempatkan hak minoritas setara dengan mayoritas. Contoh yang sering disebut adalah Paman Kurban, seorang buruh tani Uyghur yang mendapatkan tanah dan status politik berkat kebijakan land-reform.
2. Kesetaraan Gender:
- Mao juga mempromosikan kesetaraan gender dengan memastikan akses pendidikan yang setara untuk anak perempuan dan menetapkan standar gaji yang sama untuk wanita. Ini menghasilkan proporsi wanita yang tinggi dalam posisi manajerial di Tiongkok, menjadikannya negara dengan angka tertinggi dalam manajemen senior oleh wanita.
3. Collective Leadership dan Representasi Minoritas:
- Tiongkok menerapkan model Collective Leadership di mana pengambilan keputusan dilakukan oleh kelompok pemimpin senior yang mencakup berbagai etnis, termasuk Uyghur, Tibet, Mongolia, dan Zhuang. Model ini memastikan bahwa berbagai kelompok etnis merasa terwakili dalam kepemimpinan, memperkuat solidaritas dan stabilitas nasional.
Solidaritas Global
1. Dukungan terhadap Negara-Negara Lemah:
- Warisan Mao juga mencakup solidaritas global dalam kebijakan luar negeri, di mana Tiongkok memberikan dukungan kepada negara-negara yang lemah dan menjadi korban imperialisme Barat. Kebijakan ini berakar pada prinsip bahwa Tiongkok harus memberikan kontribusi besar bagi umat manusia.
2. Contoh Dukungan:
- Salah satu contoh konkret adalah dukungan Tiongkok terhadap Palestina, yang mencerminkan prinsip-prinsip solidaritas global yang diwariskan Mao. Mao sendiri menulis strategi gerilya yang digunakan oleh Tentara Merah Tiongkok dalam perjuangan melawan rejim Chiang Kai-shek. Kebijakan luar negeri Tiongkok saat ini terus mengikuti garis-garis yang ditetapkan Mao dengan mendukung negara-negara yang mengalami penindasan imperialisme Barat.
Kesimpulan
Warisan Mao Zedong, baik dalam pendidikan, masyarakat tanpa kasta, maupun kebijakan luar negeri, telah membentuk Tiongkok modern dengan cara yang signifikan. Pendidikan yang inklusif dan fokus pada keterampilan, kebijakan kesetaraan sosial, serta solidaritas global adalah kunci dari keberhasilan dan stabilitas Tiongkok saat ini. Mao telah membentuk dasar yang solid untuk Tiongkok sebagai bangsa yang bersatu, terdidik, dan berkomitmen pada prinsip-prinsip global yang adil.
Kehadiran Buku Mao dalam Gerakan Perlawanan Global
1. Inspirasi dari Buku Mao:
- Buku Mao, termasuk “Little Red Book,” telah menjadi sumber inspirasi bagi berbagai gerakan perlawanan di seluruh dunia. Di Timur Tengah, misalnya, gerilyawan Palestina dari kelompok Fatah, yang kini menguasai Tepi Barat, terpengaruh oleh ajaran Mao. Buku-buku Mao diterjemahkan ke berbagai bahasa dan digunakan dalam pelatihan serta strategi gerilya.
2. Dukungan China terhadap Fatah:
- Pada tahun 1980, pasukan Israel menemukan dokumen yang membuktikan bahwa China telah membiayai, melatih, dan mempersenjatai gerakan Fatah sejak didirikan pada tahun 1959. Ini termasuk kamp pelatihan di China dan penggunaan buku-buku Mao oleh gerilyawan Palestina. Poster Mao bahkan ditemukan di ruang kerja salah satu pemimpin Fatah, Bassam Abou Cherif.
3. Interpretasi Mao dalam Gerakan Perlawanan:
- Walaupun Mao menjadi inspirasi bagi gerilyawan Palestina, ini tidak berarti bahwa mereka secara ideologis komunis atau “wumao” (istilah untuk pendukung garis keras Cina di luar negeri). Mao memberikan panduan strategis dan filosofis tentang perjuangan gerilya, yang dianggap relevan oleh berbagai gerakan perlawanan.
4. Solidaritas dan Dukungan Global:
- Mao melihat Palestina sebagai korban imperialisme Barat dan menganggap bahwa Tiongkok, sebagai kekuatan besar yang juga mengalami kekejaman kolonialisme, harus memberikan dukungan. Pernyataan Mao, “China ought to make a greater contribution to humanity,” mencerminkan prinsip solidaritas yang mendasari kebijakan luar negeri Tiongkok.
5. Konsistensi Dukungan Tiongkok terhadap Palestina:
- Dukungan Tiongkok kepada Palestina tetap konsisten sejak masa Mao hingga hari ini. Tiongkok terus mendukung gerakan-gerakan yang melawan apa yang mereka anggap sebagai imperialisme Barat, mencerminkan pandangan Mao yang mendalam tentang ketidakadilan global.
Kesimpulan
Mao Zedong dan ajaran-ajarannya, khususnya dalam konteks gerilya dan perlawanan, telah memiliki dampak yang luas di berbagai belahan dunia. Dukungan Tiongkok terhadap gerakan perlawanan seperti Fatah di Palestina adalah salah satu contoh bagaimana prinsip-prinsip Mao diterjemahkan ke dalam kebijakan luar negeri dan solidaritas internasional. Mao tidak hanya meninggalkan warisan politik domestik tetapi juga memberikan inspirasi bagi banyak gerakan perlawanan di tingkat global, menjadikan Tiongkok sebagai pemain kunci dalam solidaritas internasional.
Inisiatif Beijing dalam Mendukung Palestina
- Dukungan China untuk Palestina:
- Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menyatakan dalam pertemuannya dengan Xi Jinping pada 14 Juni 2023 bahwa China adalah teman dan mitra terpercaya Palestina, mendukung hak-hak nasional Palestina, dan bekerja untuk solusi yang adil dan berkelanjutan untuk masalah Palestina. China juga mendukung upaya Palestina untuk mendapatkan keanggotaan penuh di PBB dan memberikan bantuan kemanusiaan serta dukungan rekonstruksi.
- Inisiatif Beijing:
- Beijing menunjukkan keseriusannya dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina dengan mengundang Mahmoud Abbas dan Benjamin Netanyahu untuk berdialog. Langkah ini menunjukkan upaya China untuk memainkan peran aktif dalam diplomasi Timur Tengah.
- Peran Chuck Schumer:
- Xi Jinping juga mengundang Chuck Schumer, Senator Yahudi senior AS yang berpengaruh dalam kebijakan Timur Tengah. Langkah ini menandakan bahwa Beijing memahami pentingnya melibatkan lobi Yahudi dalam negosiasi damai, mengingat pengaruh Washington terhadap kebijakan Israel.
- Tantangan dan Motif di Gaza:
- Krisis Gaza saat ini menunjukkan ketegangan yang mendalam dalam konflik ini. Penulis mengasumsikan bahwa krisis ini mungkin merupakan respons terhadap tekanan internasional dan berupaya membuat solusi dua negara menjadi tidak relevan. Ada kekhawatiran bahwa tindakan keras di Gaza bisa jadi langkah untuk mengubah dinamika politik dan geografis di wilayah tersebut.
Kesimpulan
Saat ini, belum jelas bagaimana hasil akhir dari upaya Beijing dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Namun, langkah China untuk mengundang pemimpin dari kedua belah pihak dan melibatkan tokoh kunci dalam lobi politik menunjukkan niat Beijing untuk menjadi mediator yang signifikan. Tekanan dari Beijing, ditambah dengan dinamika internal Israel dan Palestina, membuat situasi ini kompleks dan perlu diperhatikan dengan hati-hati.
Dukungan China untuk Palestina dan Afrika: Warisan Mao yang Berkelanjutan
- Kunjungan Wang Yi ke AS:
- Saat ini, Wang Yi sedang berkunjung ke AS untuk merundingkan penghentian agresi ke Gaza dengan para Senator Yahudi dan pemerintah AS. Upaya ini adalah bagian dari strategi China untuk memainkan peran aktif dalam diplomasi Timur Tengah dan menunjukkan komitmen Beijing terhadap penyelesaian konflik.
- Dukungan China untuk Afrika:
- Pada awal 1960-an, Mao Zedong memberikan dukungan signifikan kepada negara-negara Afrika yang baru merdeka. Ketika Presiden Julius Nyerere dari Tanzania dan Presiden Kenneth Kaunda dari Zambia menghadapi kesulitan dalam mendapatkan dana untuk membangun jalan kereta api dari Lusaka ke Dar es Salaam, Mao menawarkan bantuan meskipun China pada saat itu masih miskin.
- Proyek Tazara:
- Proyek Tazara, yang menghubungkan pelabuhan Dar es Salaam dengan Kapiri Mposhi, merupakan proyek kereta api sepanjang 1.860 km yang dibangun dengan bantuan China. Proyek ini memakan biaya sekitar $3 miliar (nilai saat ini) dan menjadi simbol kerjasama antara China dan Afrika. Kerja sama ini melibatkan teknisi China dan pekerja Afrika, dan Tazara Memorial Park di Lusaka menghormati para pekerja China yang meninggal dunia selama pembangunan.
- China dan Afrika Saat Ini:
- Saat ini, China adalah mitra utama dalam pembangunan infrastruktur di Afrika. Beijing terlibat dalam berbagai proyek pembangunan di benua ini dan berperan dalam membebaskan beberapa negara Afrika dari utang mereka. Laporan dari Chatham House menegaskan bahwa keterlibatan China di Afrika sering kali memberikan solusi yang lebih efektif dibandingkan dengan isu “debt trap” yang sering dibahas.
- Warisan Mao:
- Pemikiran Mao tentang solidaritas global dan dukungan kepada negara-negara yang terpinggirkan masih berlanjut hingga hari ini. Upaya China untuk membantu Palestina dan Afrika mencerminkan prinsip-prinsip yang ditanamkan oleh Mao. Warga China menghormati Mao tidak hanya karena revolusi yang dipimpinnya, tetapi juga karena visi globalnya yang masih relevan dalam kebijakan luar negeri China saat ini.
Penutup: Mao Zedong telah meninggalkan warisan yang mendalam dalam kebijakan luar negeri China. Dukungan terhadap Palestina dan Afrika merupakan contoh konkret dari pemikiran dan filosofi Mao yang masih mempengaruhi kebijakan China hingga kini. Melalui berbagai inisiatif ini, China terus menunjukkan komitmennya untuk mendukung negara-negara yang membutuhkan bantuan dan memperkuat hubungan internasionalnya berdasarkan prinsip solidaritas dan bantuan.