Apa sajakah “unpopular opinion” Anda tentang pendidikan di Indonesia?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Mengutip pernyataan Melinda Gates, ketika ditanya pelajaran berharga apa yang dia dapatkan selama melakukan kegiatan di yayasannya, khususnya di bidang pendidikan:
Jadi yang berperan sangat besar dalam pendidikan di mana saja itu sebenarnya adalah pengajarnya, tapi sayang rekrutmen guru dan dosen di Indonesia kurang profesional, alumni jauh lebih diterima daripada lulusan kampus yang grade-nya lebih tinggi, lowongan guru dan dosen seringnya tertutup, gaji tidak ada standarnya bahkan untuk sekolah negeri.
Selanjutnya berdasarkan pengamatan saya sendiri, kebanyakan guru di sekolah negeri mengawali karirnya sebagai guru honorer yang gajinya sangat kecil, manusia manapun— meskipun guru dijuluki tanpa tanda jasa, akan sangat susah memaksimalkan potensi jika dirinya tidak dihargai, dalam hal ini tidak dihargai dengan gaji yang layak.
Ironisnya untuk bisa menjadi guru honorer yang gajinya kecil itu, calon guru harus sikut kanan sikut kiri dulu. Kalau anda pinter, tapi nggak kenal sama kepala sekolahnya ya nggak usah berharap banyak. Kalau anda nggak pinter-pinter amat, tapi kenal kepala sekolah ya nggak usah khawatir 🙂
Apakah ini terjadi di dunia sekolah saja? Oh tidak sayang, saya akan berbagi pengalaman saya mendaftar sebagai dosen di daerah.
Setelah saya lulus S2, saya melamar sebagai dosen di beberapa kampus negeri dan swasta. Dengan polosnya saya mendatangi kampus-kampus tersebut membawa amplop coklat berisi lamaran kerja, saya titipkan ke bagian kepegawaian, kalau tidak beruntung saya hanya bisa berikan kepada satpam kampus.
Setelah akhirnya saya mendapat satu tempat kerja, saya berkesempatan bertemu dengan kakak teman saya yang merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi negeri (tapi bukan di bawah kemenristek— iykwim), yang kebetulan saya sempat masukkan lamaran kesana.
Kakak teman saya tertawa saat tahu saya menaruh lamaran kerja ke kampus itu, katanya, “lah wong calon dosen lainnya sebelum lulus udah pesen kursi, kamu kok ngirim lamaran, dibuang lamaranmu kayaknya hahaha”
Wow saya terkaget-kaget, karena ketika saya melamar di salah satu PTNBH dan dua kampus swasta dengan reputasi bagus, mereka mengirim balik lamaran saya disertai keterangan penolakan.
Setelah itu, saya kepo lagi, emang kalau mau pesen kursi harus bayar berapa? Teman saya jawab kurang lebih 150 juta. Dan saya hanya bisa melongo. Itu kalau jadi dosen harus dapat hibah berapa judul proposal baru bisa balik modal :)) saya langsung merelakan kampus itu dan tidak lagi tertarik menjadi bagiannya.
Satu semester setelah saya menaruh lamaran disana, saya ditelpon Wakil Dekan 1 kampus itu, tapi saya menolak karena sudah masuk ke kampus negeri yang menjadi tempat kerja saya yang sekarang.
Saya masuk tempat kerja yang sekarang juga bukannya tanpa pertanyaan orang-orang karena saya bukan alumni kampus dan bukan rekrutmen dari CPNS. Begitu tahu saya dosen baru, ada dosen yang langsung ‘nembak’ saya nanya saya kenal dosen siapa? Karena dia ingin memasukkan anaknya ke kampus saya tapi tidak pernah ada lowongan untuk jurusan anaknya.
Waktu itu saya bahkan nggak ingat nama Dekan dan Wakil Dekan Fakultas saya, jadi saya hanya bisa geleng-geleng ditanya begitu.
Ada tambahan soal standar gaji dan transparansi, kecuali PNS, jarang ada yang tahu pasti gaji di sebuah kampus berapa karena standarnya bukan UMR, melainkan standar kampusnya.
Wajarnya sih, semakin bagus reputasi kampus, semakin tinggi gajinya, tapi terkadang kampus masih membayar sekenanya, khususnya untuk dosen luar biasa (DLB), sistem gajinya juga bukan rutin sebulan sekali, kadang ada yang tiga bulan sekali, satu semester sekali. Ngenes kan kalau ingat perjuangan untuk kuliah dan mengerjakan tesis/ disertasi, apalagi lulusan dalam dan luar negeri tidak berbeda tarifnya.
Guru honorer dan dosen luar biasa dituntut kreatif agar memperoleh pendapatan lain selain dari mengajar untuk menutupi biaya hidup. Sayangnya hal ini akhirnya akan mempengaruhi profesionalitas dan kualitas mereka ketika mengajar. Saya yakin pasti ada satu dua Quoran yang belajar di sekolah negeri pernah punya guru yang secara langsung atau tidak langsung mempromosikan jualannya di kelas, atau mungkin pernah tahu ada guru pasang imej killer, lalu buka les-lesan, biar murid yang les di guru itu nilainya tinggi. Itu dampak kecil-kecilnya aja ya, dampak besarnya bisa sampai pungli, korupsi, dll.
Ingat, guru dan dosen punya power di mata murid dan mahasiswanya, ada tuh anak yang lebih takut pada guru dan dosen daripada orang tuanya. Makanya, sebelum abuse of power berkelanjutan, lebih baik tes psikologi untuk guru dan dosen dinaikkan lagi standarnya.
Demikian, semoga Pak Nadiem membaca 🙂