NABAU PUAKA
Ada banyak cerita yang menggambarkan nabau puaka. Sebagai penduduk asli Kalimantan Barat yang lahir di desa dan hidup sebagai suku dayak asli, saya sangat tertarik dengan Nabau Puaka. Saya telah mendengar cerita tentang mereka sejak kecil. Saya tidak tahu namanya. Apakah gambar menyerupai siluman, hewan buas, atau ular biasa dengan ukuran yang sangat besar? Itu tidak jelas.
Orang-orang sering mengatakan bahwa Nabau Puaka tinggal di Sungai Kapuas, Melawi, dan beberapa sungai lain di Kalimantan. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa karena ukurannya yang luar biasa, makhluk satu ini terletak di kota A, badannya di kota B, dan ekornya di kota C. Kebayang gak kalau aku meninggal saat melihat makhluk ini?
Kebayang gak kalau ketemu makhluk yang satu ini, kalian baru liat aja udah meninggal ku rasa. Karena kalau seperti yang diceritakan oleh orang kebanyakan, berarti nabau tidak perlu ngapa²in kalian, cukup lewat aja, udah menghancurkan beberapa kota. Mengerikan.
Tapi satu yang menjadi patokan, yang mungkin bisa mempermudah menemukan gambarannya adalah, Nabau Puaka bersisik seperti ular.
Ada yang bilang Nabau bertanduk, dan bertaring, bisa memanjangkan tubuhnya dalam hitungan detik, bisa mengecil, bisa juga muncu dengan ukuran yang pendek.
Aku punya cerita jika seperti itu gambaran nya.
Dari kecil aku senang nyari ikan ke sungai. Air pasang pun aku turun ke sungai selama ada kawan. Karena itu, dari kecil aku sudah terbiasa bawa tanggok (di desa ku namanya semansai) setiap kali turun ke sungai.
Suatu hari aku mengajak adikku nanggok (nyari ikan pake tanggok) ke sungai. Padahal malam nya hujan, udah pasti air di sungai naik/pasang. Tinggi air kurang lebih selutut.
Adik ku tidak suka nyari ikan, apalagi nanggok. Tapi karena gak mau main dirumah sendirian, dia pun mau ikut dengan ku.
Kami berangkat dari rumah setelah makan siang. Sampai sungai aku langsung mulai nanggok. Adikku hanya berani di pinggir sungai aja, biar gampang naik kalau dingin, katanya.
Aku berjalan lebih dulu di depannya. Jarak kami kurang lebih 5 meter.
Di depan ku ada lubuk (air dalam). Biasanya itu di air ini lah yang pertama kami injak kalau nyari ikan dengan orang² dewasa.
Ketika sedang milih mana udang mana daun dalam tanggok, aku dengar suara melihat gelembung air di depan ku besar, seolah ada yang mau keluar dari dalam air.
Aku sudah takut disitu, takut ular, tapi tidak langsung lari. Aku perhatikan dulu, siapa tau itu hanya gelembung air biasa, bukan sesuatu yang bahaya.
Tiba tiba dari dalam air, muncul binatang bersisik seperti ular, tubuhnya sebesar lele jumbo, sisiknya warna abu muda dan terlihat lebih tebal dari sisik ular, ada 2 tanduknya di kepala, dan ada 4 taringnya, atas dan bawah. Binatang itu membuka mulutnya dan langsung bergerak ke arah ku. Barulah aku lari dari sana dan meneriaki adekku “lari dek. Ada ular” dia pun dengan cepat melempar tanggoknya, meraih akar yang melilit di jembatan, dan berhasil naik dalam sekejap.
“cepat kak cepat” dia mengulurkan tangannya, membantu ku naik.
Tanggok ku tinggal begitu saja. Hampir saya tumitku di kunyah binatang itu. Gerakannya sangat cepat dan menghilang dalam sekejap.
Aku sempat mikir, tinggal aja kali tanggok nya, takut mau turun lagi ke air. Tapi gak mungkin juga, bisa kena marah nanti. Akhirnya aku memberanikan diri turun pelan² dari jembatan.
Udah gemetar kaki tangan ku disitu, membayangkan kalau seandainya binatang tadi nunggu di bawah jembatan, trus tiba² melahap, tamatlah aku. Taring sama tanduknya ngeri banget. Taringnya panjang, kayak gak sesuai sama badannya. Tapi Puji Tuhan selamat, aku tidak melihat ada pergerakan di sekitar ku. Dengan cepat aku melempar tanggok kami dari bawah, habis itu aku naik ke jembatan, kemudia kami lari sampai tiba dirumah. Napas udah cengap cengap, hampir lewat tenggorokan.
“kenapa kalian ? Mana liat, dapat gak ?” tanya abang ku.
Kami langsung cerita panjang lebar. Tapi orang rumah gak ada yang percaya. Mana ada ular bertanduk, bertaring, apalagi ukuran cuma sebesar lele jumbo. Belum pernah ku dengar ada ular seperti itu bentuknya. Nah disitu bapak kayak berusaha mengingat ingat sesuatu sambil bercerita, ular yang bertanduk, bertaring, itu mungkin nabau. Ah tapi gak mungkin iya, tapi bisa jadi juga, katanya ragu. Kami nanya, emang bapak pernah liat nabau ? Bapak bilang tidak pernah. Tapi bapak pernah diceritakan oleh orangtua, nabau itu memang seperti ular, bisa memanjang, mengecil, dan bisa membuat tubuhnya jadi pendek. Bahkan di kampung ku ada bukit yang hingga sekarang tidak pernah dipake berladang, namanya Bukit peluncur nabau atau Bukit yang pernah dilewati nabau. Ada cerita yang meluas dan dipercaya hingga sekarang (didesa ku), bukit itu tempat persembunyian nabau. Katanya disana ada lubang besar yang tertutup batu (bukan sengaja ditutup), di dalam lubang itu ada mata air yang terhubung ke sungai2 kecil disekitaran bukit.
Ada rumor lain yang bilang pelangi adalah jembatan nabau. Nah ini jadi makin bingung. Nabau tinggalnya dalam tanah, dalam air, atau di langit, mana yang bener nih. Kalau belum pernah ada yang liat, kenapa bisa legenda nabau ini biss hidup dan bahkan di percayai oleh banyak orang.
Dulu mak bapak masih nanam padi disawah (di desa ku disebut Banit). Di tengah sawah itu ada sungai besar, lebar sungai itu kira² 5–6 meter. Airnya dangkal, kalau pun air pasang, air paling tinggi diatas lutut orang dewasa. Air sungai nya bersih dan jernih. Aku dan kedua adek ku biasa main disungai ini. Pokoknya kalau ikut ke sawah, sanggup berenang sampai kelaparan, kedinginan. Seru mandi dan bermain disini.
Pernah suatu hari, kami bertiga ikut lagi ke sawah, tapi hari itu mak bapak panen sawit, bukan mau kerja disawah. Sawah nya memang di kelilingi sawit, itulah yang di panen mak bapak. Jadi kami tetap bisa main di sungai, kalau saja, tidak ada yang aneh disana. Karena langkah kami terhenti melihat pelangi setengah lingkaran (seperti yg biasa kita lihat), dari kejauhan seperti turun ke sungai. Eh apa ya nama nya, ya pokoknya kayak ujungnya di sungai. Aku langsung kayak wih,, dek, tengok itu dek, ada pelangi. Kayaknya turun disungai sana. Liat yok. Kata ku sambil nunjuk. Mamak langsung mukul tangan ku “heh. Pamali. Gigit ujung telunjukmu” katanya. Katanya pamali. Karena di percaya kalau ada pelangi, artinya nabau turun, dan nabau akan menyumpahi orang yang menunjuk ke arahnya, bisa celaka.
Mak bapak juga melarang kami pergi ke sungai. Karena katanya, ada nabau sedang mandi disitu. Air sungai yang sudah di singgahi nabau, tidak boleh di sentuh lagi oleh manusia. Alasannya sama, bisa celaka. Misalnya tiba² sakit kulit.
Ketika selesai panen, kami udah mau pulang, mak bapak ngajak mutar dari jalan lain, menghindari lewat sungai itu.
Dari ketinggian, kami bisa melihat pelangi yang pelan² hilang. Kami juga liat perubahan warna air sungainya. Tidak lagi jernih. Ada warna kuning cerah, pink kemerahan, dan warna hijau yang hampir nyaru dengan rerumputan disekitaran pinggir sungai.
Di sebrang sungai itu ada sawah kakek ku (saudara ipar kakek dari pihak mamak). Beberapa hari setelah turun pelangi itu, kakek pergi ke sawah seorang diri. Sore harinya, ketika sedang duduk di gubuk, dia melihat dari kejauhan, ada yang bergerak disungai. Awal nya dikira trenggiling. Tapi kok panjang banget. Supaya bisa jelas terlihat, kakek berdiri. Ternyata yang dilihatnya ular berukuran besar. Yang terlihat jelas hanya bagian kepala dan setengah badannya saja, dari bagian tubuh ular yang dilihatnya, dia memperkirakan, beratnya diatas 30kg. Kakek tau, belum pernah ada ular berukuran besar seperti itu disana , apalagi sungai ini jadi tempat permandian kami sebelumnya. Kalau memang ada ular sebesar itu disana, tidak ada tempat sembunyi yang sesuai ukurannya ditempat itu. Ini rawa, semuanya ditanami padi sampai ke sudut², tidak ada hutan belantara area situ. Karena takut tiba² diserang, kakek pun meninggalkan gubuknya. Kakek tidak sekampung dengan kami, rumahnya cukup jauh dari situ. Di perjalanan pulang, kakek bertemu 3 orang ponakan nya (udah bapak² semua). Mereka baru pulang dari berburu. Kakek langsung cerita ada ular besar di sawahnya. Ketiga ponakan nya ini sepemikiran, mau menembak ular itu. Mereka juga ada bawa parang masing². Akhirnya lari lah mereka ke sana, sedangkan kakek tetap pulang, kali² ponakan² nya ini butuh bantuan nanti nya, jadi kakek mau ngasi tau warga dulu. Biar rame² kesana. Sesampainya di rumah, kakek langsung cerita bahwa ada ular besar di sawah nya, sekarang 3 ponakan nya sedang mengejar ular itu. Ayo kita susul, mungkin mereka butuh bantuan. Tapi belum sempat mereka nyusul, ketiga ponakan nya udah datang, mereka bilang tidak ada apa² disana. Mereka gak berani mau liat ke sungai meski bawa senapan, karena mereka melihat dari gubuk kakek, warna air sungai yang tidak biasa (seperti yg kami lihat tempo hari). Jadi gak ada yang berani ke sungai. Kalau pun ular itu masih disana, pastilah sembunyi, masuk ke lubang². Tidak mungkin. Gak ada lubang besar disana. Ular nya besar, sangat besar. Lebih besar dari badan mu (nunjuk ponakan nya yg gendutan). Ah, gak ada ular sebesar itu. Batang pohon hanyut mungkin yang dilihat paman tadi. Aduh. Sumpah. Aku melihat dia bergerak. Aku sudah setua ini, tentu bisa bedakan mana ular mana kayu. Aku yakin itu bukan ular buas biasa. Aneh, ini aneh.
Karena takut, kakek gak pernah ke sawah lagi. Nenek sama bibi yang terakhir kesana, tapi karena sungai ini lumayan deras, sempat hujan selama semingguan juga, padinya sudah rata di sapu air. Mereka gagal panen tahun itu. Sedangka mak bapak, hanya dapat 5 karung padi dari hasil panen itu. Mak bapak masih bisa panen, karena sawahnya berada di hulu sungai. Tendangan air tidak melebar sampai ke sudut², hanya melebar sedikit dari ukuran sungai. Tahun berikutnya mak bapak menjual sawit, termasuk rawa itu juga, ke seorang pendatang. Jadi kami gak pernah lagi ke sana. Sedangkan tanah kakek juga dijual karena kakek sakit, butuh uang untuk berobat.
Lokasi lainnya yang dipercaya di huni nabau ada sungai bakui. Sungai ini di kelilingi sawit di kiri dan kanannya. Dulunya sungai ini juga tempat permandian, terutama kalau musim kemarau.
Di sini aja jembatan yang masih kami lewati hingga saat ini. Nah, didalam air dibawah jembatan itu, ada lubang besar, besar lubang itu kurang lebih 40diameter. Entah seberapa dalam lubang nya. Waktu kecil kami sering lompat dari jembatan ini. Apalagi kalau air pasang. Suatu ketika, air sungai kembali pasang, kami (anak² semua) mau mandi dan main kejar kejaran disini. Semakin besar air, semakin banyak teman, semakin seru melompat dari jembatan. Ada teman ku namanya wini. Dia yang pertama lompat dari jembatan, trus dia berenang, kemudian berenang lalu berpegangan di kayu yang tumbuh di pinggir sungai, tiba tiba dia teriak “jangan ada yang lompat! Bantu aku naik ke daratan”
Tapi telat. Kami sudah terlanjur lompat semua. Dia makin teriak kenceng “naik kalian naik. Cepat ke daratan”
Kami jadi panik, dan bantu untuk bisa naik ke daratan.
“kita pulang aja. Udah mainnya. Cepat!” wini lari lebih dulu masuk ke persawitan. Kami pun menyusulnya. Setelah jauh dari sungai, dia bilang ada ular besar melilit batang sawit di pinggir sungai tadi. Kawan² yang cowok malah menertawakan nya. Mereka bilang wini bohong karena sebenarnya sudah lapar. Wini marah diketawain, dia mengaja kami yang cewek² untuk pulang. Pulang aja kita, biarkan mereka mati dimakan ular itu. Bukan aku yang lapar, tapi ular nya. Kalau gak percaya pergilah kesana. Ih wini, pamali nyumpahin kawan kayak gitu. Kata yang cowok². Mereka jadi takut mau balik ke sungai. Sampai rumah aku dan adik² langsung cerita ke mak bapak. Udah pasti mereka marah karena kami gak ada takut² nya. Apalagi air nya besar. Tidak ada takutnya kalian ini dengan air, dibawah jembatan itu ada lubang nabau. Air pasang seperti ini pasti memancing semua binatang keluar, nyari makan. Apalagi sejenis nabau. Karena itu, kami gak ada lagi yang mandi disana. Penampakan ular besar yang dipercaya bahwa itu beneran nabau, juga pernah diliat kakak sepupu ku pada saat dia sedang nyuci di hulu jembatan. Papan cuciannya pas dibawah jembatan, dekat banget dengan lubang besar itu. di ujung papan cucian itu juga ada drum minyak yang jatuh dari mobil, dan dibiarkan gitu aja di air. Kakak gak tau kalau ada lubang besar di bawah jembatan, baru tau setelah melihat drum bergerak seperti ditabrak sesuatu dari dalam air. Kakak langsung menjauh dari sungai. Tapi karena penasaran, dia lari ke jembatan. Dari atas jembatan dia bisa liat ada yang melingkar, berwarna hitam, tapi dia tidak liat mana ekor/kepalanya. Susah diliat dari atas jembatan juga, karena warna air merah lebih ke maroon. Dari celah dedauan sawit, cahaya matahari menembus air, barulah dia liat, makhluk air itu bersisik. Drum berisi air itu semakin bergeser ke bawah jembatan m, dia pun lari dari sana meninggalkan cuciannya. Baru berani balik ke sungai setelah dikawankan suami nya. Sampai sungai, drum sudah di tengah² di bawah jembatan. Apa yang dilihat nya di ceritakan lagi ke teman2 pergosipannya. Jadilah sungai ini tidak lagi jadi tempat permandian, mau air pasang/surut.
Sungai lain dijuga dipercaya di huni nabau, namanya sungai binang. Sungai ini sangat jauh dari kampung. Harus pake motor kalau mau ke sungai ini.
Sungai ini panjang, airnya jernih. Dulu setiap musim kemarau, air ini tidak sempat jernih karena orang² bergantian nanggok nyari ikan kesini. Disungai ini banyak sekali teratai. Ikan dan udang disini besar² dan bersih. Tapi beberapa orang pernah melihat ular besar disini. Dipercaya, ular besar itu adalah nabau. Seperti yang dilihat teman ku wini. Lagi lagi wini yang liat. Ceritanya pada saat musim kemarau, kami pergi ke sungai ini untuk nyari ikan (nanggok. Didesa ku namanya mansai). Jumlah kami ada 6, 5 cewek 1 cowok.
Kami berangkat dari siang. Kesana nya jalan kaki. Dulu jalan ke sungai ini masih mudah dilewati, karena memang banyak orang bergantian nyari ikan ke sini. Tiap hari ada aja yang nyari ikan ke sini.
Sampai sana kami mulai nanggok di pinggir2 sungai dulu secara pelan pelan, karena banyak kayu tajam didalamnya.
Makin lama kami nanggok, makin banyak ikan yang bermunculan, mabuk karena air keruh. Karena ikan nya udah pada bermunculan, kami memutuskan untuk di satu titik aja, gak usah menyusuri sungai lagi, disini udah banyak ikannya, mudah di tangkap juga.
Saking banyaknya ikan, kami lupa kalau udah kelamaan disungai. Hingga sore kami masih belum ada yang ngeh ada yang aneh. Wini yang udah dapat banyak ikan, memutuskan untuk nunggu di daratan aja, udah dingin banget katanya. Aku dan ke 5 teman ku masih semangat nangkap ikannya. Dari daratan wini bilang, makin keruh air makin banyak ikan yang mabuk, makin dalam juga ku tengok airnya. Teman kami yang cowok baru sadar, eh iya ya. Kok jadi dalam. Perasaan tadi sebetis, ini kok udah selutut, naik aja kita yok. Cepat. Kami yang cewek² jadi panik, dengan cepat kami naik ke daratan. Wini kemudian meneriaki kami, supaya menjauh dari tepian sungai. Eh liat, apa itu ? Sini kalian jangan diam tepi sungai. Cepat naik, liat itu itu. Apa itu. Kami langsung naik dan melihat lagi ke air yang keruh tadi. Airnya langsung jernih, dan terlihat pasir didalam air kayak diputar dari dalam. Kami lari agak jauh lagi dari air. Semua nya bingung, kok jadi berpasir ya, padahal tadi berlumpur. Tiba² wini teriak, eh itu itu lari .. lari..ayo lari.
Kami gak sempat nengok apa yang diliatnya. Dia nunjuk ke pohon besar yang ditumbuh tepi sungai, pas di titik kami nyari ikan tadi. Kami lari kayak orang kesetanan sampai ke persawitan. Disana baru wini bilang, ada ular berkepala besar yang kayak ngintip kami dari batang pohon.
Kejadian itu kami ceritakan lagi ke orangtua masing². Sudah pasti kami dilarang lagi kesana.
Cerita lain datang dari orang² dewasa yang biasanya serombongan nyari ikan kesana.
Mereka bilang, bahwa dibawah batang pohon yang melintang ditengah air, dibawahnya itu lumpur dalam. Batang pohon yang jadi jembatan ini tumbang kena air, akarnya ada dalam air. Nah, di bawah akar kayu itu katanya ada lubang nabau. Mereka percaya, lumpur dan lubang itu tempat hunian nabau. Khawatir nabau akan muncul, orang2 pada takut mau kesana lagi. Bahkan hingga saat ini pun, belum ada yang mau coba lagi untuk kesana. Padahal musim panas kemarin, banyak yang udah berencana mau rame² kesana. Tapi sampai musim hujan melanda, gak ada yang kesampaian kesana, karena takut dan ragu.
mungkin pembaca disini ada yang berasal dari kalimantan, dan familliar dengan makhluk legend satu ini, boleh ditambahin kekurangan dari cerita ku.
Sekian dan terimakasih🙏