Sebelum memahami perbedaannya, kita perlu mengetahui arti dari religius dan spiritual terlebih dahulu.
Religius berarti mempercayai keberadaan Tuhan berdasarkan pengalaman dan ajaran orang lain, dengan fokus pada keyakinan, ketaatan, dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemimpin agama.
Spiritual, di sisi lain, adalah keyakinan terhadap kehadiran Tuhan berdasarkan pengalaman pribadi, dengan fokus pada pencarian, pengalaman langsung, dan upaya untuk mewujudkan sifat spiritual sejati dalam diri, serta menyatu dengan higher-self.
Sumber: Satsangati.
Sebelum lanjut lebih dalam, ada yang pernah melihat quote dari David Bowie ini?
Sumber: Idle Hearts.
Banyak orang yang memeluk agama dengan alasan-alasan umum yang sering kita jumpai, seperti:
– Takut masuk neraka.
– Menghindari hukuman dosa.
– Mempercayai bahwa hidup harus dijalani dengan kesucian.
Namun, tahukah kamu bahwa…
– Seseorang menjadi spiritual karena pernah merasakan penderitaan yang begitu mendalam dan berhasil melewatinya?
– Seseorang menjadi spiritual karena telah mengalami proses “kematian dan kelahiran kembali” dalam hidupnya?
– Seseorang menjadi spiritual karena mengalami kebangkitan batin (awakening) yang mengarah pada pencerahan (enlightenment)?
– Seseorang menjadi spiritual ketika menyadari bahwa Tuhan ada di dalam dirinya, bukan hanya di luar?
– Seseorang menjadi spiritual ketika menemukan arti sebenarnya dari “rumah” dalam dirinya?
Sayangnya, banyak yang salah paham, menganggap spiritual itu sesat, bahkan menyamakannya dengan hal-hal supernatural atau gaib.
Padahal, spiritualitas dan religiusitas sebenarnya berkaitan. Namun, ajaran agama di Indonesia dan negara-negara religius lainnya sering kali ditekankan pada dogma, doktrin, dan norma yang berpusat pada ego.
Ego adalah produk dari pikiran sadar manusia, yang mengidentifikasi diri kita dalam kehidupan dualitas—menganggap ada perbedaan tajam antara dua hal, seperti:
– Surga vs. neraka
– Suci vs. dosa
– Jujur vs. bohong
Manusia lalu membentuk identitas berdasarkan salah satu dari dualitas ini, dan inilah yang menjadi asal dari dogma, doktrin, serta norma yang dijalani dalam agama. Misalnya:
– Hidup suci, masuk surga.
– Berdosa, masuk neraka.
– Jujurlah dalam hidup, atau tanggung akibatnya.
Semua ini adalah doktrin agama yang berakar dari identitas dan ego yang membelah hidup menjadi dualitas.
Namun, jika kita merenung sejenak:
– Apakah ada di antara kita yang benar-benar suci?
– Apakah kita semua bebas dari penderitaan “neraka dunia”?
– Apakah kita selalu jujur sepanjang hidup?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengarahkan kita pada kesadaran bahwa terlalu melekat pada satu sisi identitas bisa membuat kita dikendalikan oleh ego, yang justru menyesatkan hidup kita.
Mengajar agama dengan menekankan konsep surga dan neraka, suci dan dosa, kebaikan dan keburukan, pada dasarnya adalah pengajaran yang berakar pada ego. Bahkan upaya memperbanyak pengikut dengan klaim membawa seseorang bertobat sering kali berakar dari ego.
Ketika agama lebih menekankan ego, ia bisa menjadi sumber konflik, bukannya kedamaian. Fase spiritual awakening sering kali membukakan mata bahwa yang dicari manusia sebenarnya adalah cinta kasih—dengan menggali lebih dalam ke dalam diri sendiri, bukan semata mengikuti ajaran agama yang menekankan ego.
Sumber: A-Z Quotes.
Sekarang, sudah paham ajaran agama yang sebenarnya?
Berikut adalah versi parafrase dari teks yang Anda berikan:
—
Ajaran agama yang membuat seseorang menjadi religius berakar pada cinta kasih, bukan pada dogma, doktrin, atau norma yang bersumber dari identitas dan ego yang justru bisa menyesatkan seseorang dalam hidupnya.
Jelas, ya?
Baik.
Sekarang, mari kita lihat 30 perbedaan antara religiusitas dan spiritualitas:
1. Orientasi: Religiusitas menekankan pentingnya komunitas, di mana kelompok berkumpul dan saling mendukung agar terhubung dengan Yang Ilahi. Spiritualitas lebih menekankan hubungan personal dengan Yang Ilahi, nyaman dalam kesendirian.
2. Sumber: Religiusitas mengandalkan pengetahuan dari kitab suci yang berisi sejarah peperangan, perdamaian, dan keajaiban. Spiritualitas mengandalkan kebijaksanaan sebagai pembelajar seumur hidup dengan fokus pada filosofi kehidupan.
3. Kerangka: Religiusitas berfokus pada ketaatan dan keselamatan kekal untuk mengendalikan ego. Spiritualitas menekankan cinta, kebebasan, dan penerimaan menuju pencerahan hidup.
4. Basis: Religiusitas mendasarkan pada pikiran agar aturan agama dijalankan dengan benar. Spiritualitas mendasarkan pada perasaan untuk menemukan jalan hidup sejati yang selaras dengan jiwa.
5. Tuhan: Religiusitas mencari Tuhan di luar diri dalam bentuk simbol dan sosok. Spiritualitas melihat Tuhan sebagai cinta tanpa syarat di dalam diri.
6. Filosofi: Religiusitas berorientasi pada harapan akan masa depan surga. Spiritualitas fokus pada menjadi manusia seutuhnya di masa kini.
7. Pemahaman: Religiusitas menekankan melayani, mematuhi, dan menyembah Tuhan yang dianggap lebih suci. Spiritualitas menekankan kasih sayang, kesatuan, dan esensi yang menyamakan diri dengan Ilahi.
8. Peraturan: Religiusitas mengikuti aturan formal yang berwujud ritual. Spiritualitas mengikuti aturan non-formal yang selaras dengan panggilan jiwa melalui inner work.
9. Tujuan: Religiusitas berfokus pada pengabdian dan pelayanan kepada sesama. Spiritualitas berfokus pada kebahagiaan, kasih sayang, dan spontanitas untuk menjalani hidup seutuhnya.
10. Tanggung Jawab: Religiusitas memiliki tanggung jawab tinggi dengan fokus pada komitmen kepada pemimpin agama. Spiritualitas lebih bersifat pribadi dengan tanggung jawab pada diri sendiri.
11. Penilaian: Religiusitas menilai hidup berdasarkan dogma dan doktrin moralitas. Spiritualitas menilai berdasarkan kemanusiaan dan kesadaran spiritual.
12. Rancangan: Religiusitas mengikuti rancangan sosial sejak lahir. Spiritualitas mengikuti rancangan kesadaran dan perjalanan spiritual pribadi.
13. Alur: Religiusitas mengikuti garis lurus kehidupan dari penciptaan hingga kiamat. Spiritualitas melihat hidup sebagai siklus berulang, seperti reinkarnasi.
14. Metode: Religiusitas mengutamakan mendengar doa dan dakwah. Spiritualitas mengutamakan penglihatan dalam meditasi, yoga, dan sejenisnya.
15. Sasaran: Religiusitas berdoa untuk menghapus dosa dan terhubung dengan Tuhan yang jauh. Spiritualitas berdoa untuk menyatu dengan Tuhan yang ada dalam diri.
16. Hidup: Religiusitas melihat hidup sebagai ujian. Spiritualitas melihat hidup sebagai pelajaran kebijaksanaan.
17. Kebaikan: Religiusitas menyebarkan kebaikan melalui komitmen dan pengorbanan dalam komunitas. Spiritualitas menekankan penerimaan dan pelepasan untuk penyembuhan batin.
18. Kebenaran: Religiusitas menekankan kebenaran dari sumber eksternal seperti kitab suci. Spiritualitas menekankan kebenaran dari nilai batin pribadi.
19. Acara: Religiusitas menggelar acara keagamaan untuk memperingati sosok yang dihormati. Spiritualitas merayakan kehidupan dengan festival budaya atau ulang tahun.
20. Amal: Religiusitas menganggap amal sebagai kewajiban untuk pertumbuhan komunitas. Spiritualitas menganggap amal sebagai tindakan sukarela untuk pertumbuhan jiwa.
21. Pahlawan/Guru: Religiusitas memandang guru sebagai panutan kuasa Ilahi. Spiritualitas melihat diri sebagai guru untuk mengalami kasih Ilahi.
22. Intisari: Religiusitas meyakini Tuhan harus dicari untuk bertemu. Spiritualitas percaya Tuhan hadir dan dirasakan bersama kita.
23. Sifat: Religiusitas menonjolkan simbol dan identitas suci yang memisahkan. Spiritualitas merangkul alam sebagai ekspresi kesatuan Tuhan.
24. Kelayakan: Religiusitas fokus pada ibadah untuk merasakan lega. Spiritualitas berfokus pada keseluruhan tindakan untuk merasakan kedamaian batin.
25. Perbuatan:Religiusitas berfokus pada cara beribadah. Spiritualitas berfokus pada makna di balik perbuatan.
26. Bencana: Religiusitas melihat bencana sebagai peringatan untuk kembali ke jalan Tuhan. Spiritualitas melihat bencana sebagai transformasi untuk identitas baru tanpa ego.
27. Kesempurnaan: Religiusitas menekankan kesempurnaan milik Tuhan dan tidak pantas dimiliki manusia. Spiritualitas merangkul kesempurnaan bersama Tuhan dalam dualitas sifat.
28. Penggambaran:Religiusitas menggambarkan pencarian Tuhan sebagai sesuatu yang terbatas. Spiritualitas menggambarkannya sebagai tanpa batas.
29. Nafsu: Religiusitas menekan nafsu untuk menghindari kekacauan. Spiritualitas merangkul nafsu sebagai keseimbangan hidup.
30. Kasih: Religiusitas berwujud simpati yang menawarkan saran dan solusi. Spiritualitas berwujud empati yang merangkul dan berbagi penderitaan.
Inilah 30 perbedaan antara religius dan spiritual. Mana yang harus dipilih? Jawabannya ada di tanganmu. Karena, sesungguhnya yang dicari manusia adalah…
Sumber: Quote Fancy.
Berikut adalah parafrase dari teks tersebut:
Inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lain, yaitu kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) yang hanya dimiliki manusia.
Jika kamu percaya pada pemuka agama yang mengajarkan agama dengan cinta kasih, maka religius mungkin lebih cocok untukmu.
Sebaliknya, jika kamu meyakini bahwa Tuhan dapat ditemukan dengan menyelami diri sendiri sebagai sumber cinta tanpa syarat, maka spiritual mungkin lebih cocok untukmu.
Beberapa pemikiran sebelum berpisah:
Orang sesat adalah mereka yang menyimpang dari tuntunan hati nurani, bukan dari apa yang disampaikan oleh pemuka agama yang sering menekankan hukuman neraka.
Orang beriman adalah mereka yang menjalankan nilai-nilai batin yang fleksibel, tidak kaku, dalam memahami kehidupan dan ketuhanan berdasarkan tuntunan hati nurani. Jika keyakinanmu didasarkan pada apa yang dikatakan pemuka agama tentang kitab suci, maka kamu lebih tepat disebut rasional, bukan beriman.
Dosa bukanlah melanggar kehendak Tuhan, tetapi saat kamu melakukan sesuatu yang menurutmu akan membuatmu bahagia berdasarkan pemikiran yang salah.
Orang yang mengalami penglihatan surga atau neraka, khususnya saat mengalami Near-Death Experience (NDE), sering memiliki keterikatan dengan agama dan latar belakang religius. Sebaliknya, mereka yang spiritual biasanya mengalami sensasi damai dan tenang, dengan roh melayang dari tubuhnya dan mendengar suara lembut yang mengatakan belum waktunya mereka meninggal.
Hijrah menuju jalan Tuhan berarti mengikuti hati nurani, bukan sekadar mengikuti tren kebangkitan agama tertentu karena perasaan berdosa.
Tuhan tidak bisa dijelaskan atau digambarkan melalui simbol atau ibadah karena Tuhan bersifat mutlak. Ketika sesuatu yang mutlak dijelaskan, ia menjadi relatif. Semakin manusia mencoba menjelaskan Tuhan, semakin jatuh ia pada ego manusia. Cara terbaik untuk memahami Tuhan adalah melalui pengalaman spiritual pribadi.
Tuhan adalah alam semesta, dan alam semesta adalah Tuhan. Tuhan adalah sumber energi yang meresapi segala yang ada, termasuk manusia.
Spiritual berfokus pada roh yang netral, sementara agama berurusan dengan aspek jasmaniah. Karena itu, spiritualitas sangat terkait dengan konsep reinkarnasi.
Orang beragama belum tentu memiliki spiritualitas yang baik, dan seseorang dengan spiritualitas tinggi bisa berasal dari kalangan beragama atau tidak beragama. Inilah sebabnya negara religius sering mengalami kemunduran, sementara negara maju memiliki masyarakat dengan spiritualitas yang tinggi tanpa campur tangan agama.
Dalam Islam, spiritualitas dikaitkan dengan golongan sufi. Sayangnya, sufi sering dianggap sesat oleh kaum Islam puritan, yang banyak mendominasi di Indonesia dan meningkatkan intoleransi.
Indonesia dikenal sebagai negara religius namun dengan spiritualitas yang rendah, kecuali di Bali yang memiliki spiritualitas tinggi.
Suku Semit, leluhur orang Arab dan sumber agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam), memiliki tiga masalah: tribalisme, sektarianisme, dan faksionalisme, yang membuat mereka sering berperang sejak ribuan tahun lalu. Mereka juga memiliki tradisi “honor killing” atau membunuh demi kehormatan, yang bisa menyasar anggota keluarga sendiri. Jadi, jangan membawa penyakit ini ke Indonesia dengan ideologi Pancasila yang didasarkan pada prinsip spiritual.