Saya memiliki salon kecantikan khusus wanita yang baru saya rintis selama hampir dua tahun. Terkadang saya merasa frustasi dengan situasi ini, mungkin karena saya masih muda, baru berusia 22 tahun. Rasanya ingin sekali berteriak, “Tidak heran mereka hidup di bawah garis kemiskinan… begini caranya!” Maaf jika saya terdengar tidak sopan atau menyinggung, tapi saya merasa kesal setiap kali menerima chat seperti ini. Saya berjuang merintis usaha ini dengan modal yang tidak sedikit, dan ilmu yang saya dapatkan juga memerlukan biaya, bahkan saya sampai harus sekolah salon di luar kota. Merintis salon ini benar-benar penuh perjuangan dan air mata. Jadi, tolonglah, kalau belum punya uang, lebih baik menunggu sampai ada daripada berutang, karena saya jadi harus menagih-nagih pembayaran.
Kadang saya berpikir, kasihan Pak Jokowi yang sampai harus berutang ke negara lain, tapi masyarakat malah menghabiskan bantuan untuk hal-hal seperti ini. Saya lebih setuju jika bantuan diberikan dalam bentuk sembako, subsidi BBM dan listrik, atau langsung disalurkan ke sekolah dalam bentuk tas, sepatu, dan lainnya.
Yang membuat saya makin gemas adalah ini teman saya sendiri, dan menurut saya perilakunya tidak etis. Saya sendiri tidak pernah melakukan hal serupa kepada teman yang sedang merintis usaha, malah saya sering memberi lebih karena menghargai usaha mereka. Apalagi ini soal mengelola gaji suami—memang benar gaji suami untuk istri, tapi dia juga punya anak balita yang kebutuhannya harus diprioritaskan, terutama menjelang Lebaran ketika pengeluaran semakin banyak. Kenapa tidak berpikir dari sudut pandang suaminya juga? Kalau memang sudah disetujui oleh suaminya untuk pergi ke salon, tunggu saja sampai gajinya cair. Rasanya gemas sekali melihat situasi seperti ini.