Uang dan waktu luang
Mari kita mulai dengan mengakui bahwa matematika tidak seluas yang Anda pikirkan.
Itu benar. Tidak seperti yang Anda kira, matematika tidak terlalu inklusif. Bahkan sebagian besar pendiri matematika dan matematikawan terkenal dari abad ke-18 dapat berhasil dalam karirnya karena mereka memiliki modal “privilege” berikut :
- Waktu yang melimpah (jadi bisa memproses konsep-konsep sulit senyaman dan selama yang dia mau)
- Bakat
- Harta yang melimpah (jadi tidak perlu kerja)
Untuk privilege terakhir ini, kendati seseorang itu berbakat tetap saja perlu baginya untuk berkomitmen belajar matematika dan berlatih. Seperti Ramanujan misalnya.
Kamu bisa saja berbakat dalam matematika tapi kalau hobimu bermain tenis meja terus, kamu tidak akan dicatat di dalam sejarah sebagai tokoh pionir matematika. Kalau kamu hobi tenis meja, peluang kamu berkarir sebagai atlet tenis meja tentu lebih besar.
Dulu, para bangsawan di abad ke 18 itu memilih belajar matematika dengan sesamanya. Jadi bisa dibilang exclusivity dalam mempelajari math itu sendiri cukup kental. Betapa tidak, belajar matematika itu sendiri dipandang sebagai privilege sebab hanya kalangan tertentu saja yang memiliki modal —baik itu kesejahteraan, waktu, atau bakat —yang layak mempelajarinya.
Dan saya mengutip
[1]
:
In fact, through most of the history of mathematics, math skills were taught to a society’s elite: priests, rulers, and selected others. Much of this education most closely resembled an apprenticeship, in which a priest or private tutor taught a student either individually or in very small groups.
Di masa itu, kelas matematika didominasi oleh dua kelompok besar: Si banyak uang dan si banyak waktu luang.
Untuk masuk ke kelas matematika, hanya mereka yang memiliki banyak uang (seperti anak bangsawan, konglomerat, jenderal, gubenur, atau walikota) dan banyak waktu luang (seperti pemuka agama atau bangsawan yang sakit) yang layak.
Tidak seperti sekarang, di ITB dulu, teman seangkatan saya di jurusan selalu bekerja untuk menjual kue kering dan pulsa. Ada yang sangat aktif dalam himpunan dan bisnis kecil. Ada beberapa orang yang membutuhkan pengalaman untuk mengajar. Orang-orang tertentu harus bertahan hidup hanya dengan 300 ribu rupiah per bulan, dan mereka harus, hampir tidak mungkin, bertahan hidup secara nomaden dengan berganti-ganti biaya karena mereka tidak mampu menyewa.
Kendati mereka semua adalah bukti bahwa ilmu matematika saat ini semakin inklusif, namun bisa dibilang secara ‘modal’ mereka semua luput: Mereka tidak kaya, mereka sibuk luar biasa, dan, ini debatable, but let just be honest: tidak semua dari mereka berbakat dalam hal matematika.
I mean, well yes they’re good at it but not ‘Isaac Newton good’. Mereka cuma fokus gimana caranya dapat IPK 3 koma biar bisa internship di Bank Indonesia atau di bank BUMN. And that’s about it.
Satu hal yang tak kalah menarik adalah ketika saya masih di tahap TPB, saya membuka buku kalkulus karangan Purcell dan di setiap bab selalu diawali dengan kisah dari para pionir matematika.
Ambil contoh di bab limit, di situ kita bisa baca sejarah salah seorang tokoh bernama Augustin-Louis Cauchy seorang profesor dari Ecole Polytechnique, Sorbonne, dan College de France yang ikut menstandardisasi konsep-konsep dasar kalkulus.
Mengapa harus distandardisasi? Kenapa tanyamu? Kendati kalkulus telah muncul di akhir abad ke-17, namun dasar-dasarnya masih nggak karuan dan inkonsisten hingga akhirnya Cauchy bersama Gauss, Abel, dan Bolzano sepakat menginisiasikan suatu standar bermatematika.
Dikisahkan bahwa si Monsieur ini sering sakit-sakitan. Akibatnya dia jadi banyak menghabiskan waktunya rebahan di atas ranjang. Orang tuanya pun kemudian mengarahkannya untuk belajar matematika.
Cauchy muda, yang juga adalah seorang pemeluk katolik, melewati hari-harinya merenung dan memproses kalkulasi serta teorema njelimet di kamarnya dengan nyaman.
Kebiasaan ini lambat laun menjadi hobi. Seperti yang kita tahu, waktu yang melimpah dan bakat adalah kombinasi yang mematikan bagi para calon matematikawan. Publikasi ilmiah sudah seperti bernafas bagi Cauchy sampai-sampai Academy Paris sendiri membatasi jumlah makalah yang ditulis olehnya. Gokil kan?
Thanks to tulisan-tulisan Cauchy akhirnya kita bisa memperoleh definisi ilmu kalkulus yang lebih ajeg dan detil terutama tentang konsep limit dan analisis kompleks yang menjadi standar di seluruh dunia hingga saat ini.
Kesimpulan:
Matematika itu tidak se-inklusif yang kita kira. Untuk mempelajarinya setidaknya diperlukan uang, bakat, dan waktu luang. Namun yang amat sangat disayangkan di masa ini adalah banyak dari mereka para anak sultan memilih untuk belajar ilmu hukum, bisnis, komunikasi, manajemen, ataupun ilmu sosial lainnya. Padahal satu dari 3 modal untuk bisa survive di kelas matematika sudah di tangan mereka loh. Sementara mereka yang underprivilege malah banyak yang masuk kelas sains dan belajar matematika lanjut. Makin babak belur tuh mereka. Like how did it come to this yaa??
Oke, saat ini kamu mungkin gatel untuk menyebutkan contoh penyangkalnya “ah, si X ngga tuh yada yada yada” tapi percayalah, fakta bahwa mereka adalah satu dari sejuta yang sukses merupakan bukti bahwa matematika masih belum se-inklusif yang kita kira.
Semoga berkenan,
AL
Catatan Kaki