Saya termasuk saksi hidup suasana krisis. Saat itu saya berumur 24 tahun, PNS Kementerian Keuangan, dan sedang melanjutkan kuliah di Depok.
Suasananya kurang lebih sbb :
- Pecahan Rp. 25 dan Rp. 50 menjadi tidak berharga krn harga barang termurah menjadi berlipat2. Sebelum krisis, ongkos metro mini masih Rp. 400, dan menjadi Rp. 1.000 setelah krisis dan terus naik shg uang pecahan Rp. 100 lama2 tdk berharga lagi
- Harga2 barang melambung tinggi dalam waktu yang singkat, termasuk harga makanan. Tadinya di dekat kantor harga nasi rames padang masih Rp. 2.500,- tahu2 menjadi Rp. 5.000,- dlm hitungan bulan di tahun yg sama. Harga BBM juga melonjak tajam yg tadinya Rp. 700/ltr (solar) menjadi ribuan rupiah/ltr dlm hitungan bulan.
- Banyak okb yang menikmati kenaikan kurs valas yg menggila dan kenaikan bunga simpanan yg juga tinggi
- Lalu lintas sepi. Lalin sebelum krisis dari rumah ke kantor dan dari kantor ke kampus saat sore biasanya macet parah, tahu2 dalam hitungan bulan menjadi lengang. Bukan karena kerusuhan, libur panjang krn hari raya atau program pembatasan kendaraan, tapi benar2 terasa jauh berkurang kemacetan di jalan
- Banyak kredit macet krn bunga pinjaman melonjak menjadi puluhan persen. Tambah macet kalau kredit dalam bentuk valas
- Papa saya saat itu harus pp ke Singapura untuk negosiasi restrukturisasi hutang ke bank kreditur. Untuk menghemat biaya perjalanan, Beliau dan teman2nya membawa air mineral dr Indonesia krn harga air mineral di Singapura bisa 10x lipat dari harga di Indonesia (saat itu belum dilarang bawa cairan di kabin pesawat)
- Suasana politik sangat panas. Mulai dari referendum Timor Leste, penolakan pertanggungjawaban Presiden Habibie, Pemilu di tengah krisis (untung saja internet masih mahal saat itu shg hoaks tdk begitu masif), isu presiden perempuan saat PDIP menjadi pemenang pemilu, dll.
Di atas adalah suasana krisis 1998 yang saya ingat sampai sekarang. Hyper inflasi, kurs valas yg menggila, bunga tinggi, dan chaos.