“Menikah dan memiliki anak tidak untuk menderita, tetapi untuk bahagia.” • Epictetus (228)
Memiliki anak memang sumber kebahagiaan yang besar, tetapi jika tidak siap dengan biaya pendidikannya ke depan, hal ini malah bisa menjadi sumber kekhawatiran. (4)
Secara teori, seharusnya anak dan orang tua saling membahagiakan. Namun, dalam praktiknya, ini tidak selalu terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi, termasuk perbedaan konsep kebahagiaan antara individu.
Setiap orang memiliki persepsi yang unik tentang kebahagiaan dan tidak dapat dianggap sama atau dihakimi begitu saja. Namun, miskonsepsi tentang kebahagiaan bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
**Konsep Kebahagiaan dalam Filsafat Stoa**
Mari kita telaah konsep dasar dari filsafat Stoa. Filsafat ini mengajarkan adanya dikotomi kendali. Ada dua kategori: pertama, hal-hal yang dapat dikendalikan seperti persepsi, opini, perasaan, reaksi terhadap emosi, dan sikap, yang semuanya berkaitan dengan aspek internal individu. Kedua, hal-hal yang tidak dapat dikendalikan seperti apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan orang lain.
Menurut filsuf Stoa, sumber kebahagiaan terletak dalam diri individu itu sendiri. Kebahagiaan lebih merupakan ketenangan batin yang dapat dicapai melalui pengelolaan persepsi dan nalar pribadi, bukan dengan menggantungkan kebahagiaan pada faktor eksternal.
Filsuf Stoa berpendapat bahwa menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang di luar kendali adalah tindakan tidak rasional, karena hal tersebut tidak selalu berjalan sesuai harapan dan bisa hilang kapan saja. Dengan fokus pada ketenangan batin, seseorang dapat tetap merasa baik meski hal-hal eksternal tidak ada atau tidak sesuai keinginan.
Jika kita hanya merasa bahagia dengan hal-hal yang ada di luar kendali kita, ini sama saja dengan menyerahkan kebahagiaan dan kedamaian hidup kita ke pihak/orang lain. (47)
Sekali lagi, membebankan tanggung jawab untuk kebahagiaan pribadi kepada orang lain adalah tidak rasional. Kita tidak dapat mengharapkan orang lain, termasuk anak, untuk selalu membahagiakan kita atau tidak menyakiti kita. Kita juga tidak bisa mengatur orang lain untuk mengikuti kehendak kita secara mutlak.
Beberapa tindakan dan ucapan orang lain mungkin memang menyakitkan, tetapi sebenarnya sumber luka adalah persepsi kita terhadap tindakan atau ucapan tersebut. Ingatlah bahwa kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain katakan, tetapi kita sepenuhnya bisa mengendalikan bagaimana kita memandang dan meresponsnya.
Dengan mengendalikan persepsi dan sikap kita terhadap berbagai situasi dan tidak menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, kita akan dapat mencapai ketenangan batin.
Bagaimana hal ini berkaitan dengan anak dan kebahagiaan orang tua? Pertama, penting untuk memahami bahwa meskipun anak lahir dari kita, ia tetaplah individu yang berbeda. Anak memiliki hak dan kehidupan sendiri yang perlu dihormati. Selama masa kecilnya, kita bisa membantunya dalam membuat keputusan, namun ada batasan pada seberapa banyak kita dapat mengatur hidupnya.
Anak akan tumbuh dan berkembang menjadi remaja, dewasa, dan akhirnya tua. Ia akan mengalami berbagai pengalaman hidup dan mengembangkan kematangan psikologis serta kognitif. Seiring waktu, ia akan semakin mampu membuat pilihan dan keputusan sendiri. Kita tidak bisa membatasi atau menuntutnya untuk selalu mengikuti kehendak kita.
Berdasarkan prinsip kendali, hal-hal yang dapat dikendalikan orang tua meliputi nutrisi, pendidikan, kesehatan, dan beberapa aspek lain yang mendukung perkembangan anak. Namun, hal-hal seperti kesehatan anak, minat, hobi, aspirasi, pilihan pasangan, dan kehidupan setelah menikah berada di luar kendali orang tua.
Meskipun hampir semua orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, kadang-kadang keinginan tersebut dapat terpengaruh oleh obsesi atau dendam pribadi. Orang tua sering kali berusaha keras untuk membentuk anak mereka menjadi yang terbaik, namun penting untuk menyadari bahwa usaha ini sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan tuntutan atau ekspektasi yang berlebihan.
Contoh yang sering kita lihat adalah orang tua yang sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Mereka berusaha memberikan pengalaman pendidikan terbaik mulai dari memilih sekolah, kurikulum, metode pembelajaran, hingga lingkungan yang mendukung. Namun, beberapa orang tua memaksakan kehendak mereka, misalnya dengan memaksa anak untuk memilih jurusan tertentu, kuliah di kampus yang spesifik, atau menguasai berbagai bidang tanpa batas.
Bahkan, ada orang tua yang selalu menuntut lebih dari anaknya. Meskipun anak sudah mencapai prestasi yang luar biasa, orang tua mungkin tidak pernah merasa puas dan terus-menerus menginginkan pencapaian yang lebih tinggi. Mereka mungkin melakukannya karena mereka sendiri memiliki impian yang tidak tercapai di masa lalu dan kini terobsesi untuk menjadikan anaknya sebagai bintang. Sayangnya, dalam prosesnya, mereka lupa bahwa anak juga manusia yang memerlukan istirahat, perhatian, dan pemahaman.
Dari situ, bisa kita simpulkan bahwa tidak peduli seberapa banyak usaha yang dilakukan anak, orang tua yang memiliki obsesi seperti ini tidak akan pernah merasa bahagia. Mereka cenderung menggantungkan kebahagiaan mereka pada pencapaian anak dan berharap anak selalu berada di bawah kendalinya. Namun, bahkan setelah pencapaian tersebut tercapai, kepuasan orang tua mungkin tidak akan pernah terpenuhi, karena mereka terus menuntut lebih dan tidak pernah puas dengan hasil yang ada.
Saya sering mendengar teman yang frustrasi karena nilai ulangan mereka hanya mencapai 90. Bagi banyak orang yang hanya bersyukur dengan nilai yang memenuhi standar kelulusan, nilai 90 adalah sesuatu yang patut dirayakan. Namun, teman saya merasa tertekan karena orang tuanya menetapkan standar minimum yang harus dicapai, dan jika tidak terpenuhi, akan ada konsekuensi serius. Hal ini tentu saja sangat menyedihkan.
… bahwa kita harus bersiap terhadap kekecewaan, kemarahan, air mata, dan rasa frustasi ketika kita memelihara ilusi bisa mengendalikan kehidupan anak yang tidak berada di bawah kendali kita. (221)
Tapi dia adalah anakku, dan aku sudah banyak berkorban untuknya. Bukankah wajar jika aku berharap dia memberikan prestasi dan perilaku yang baik sebagai balasannya?
“… rasa berhak/entitlement adalah sifat narsis yang sangat merusak, menempatkan orang pada risiko frustasi, tidak bahagia, dan kecewa akan hidup….” (103)
Sebagai anak, ketika orang tua telah memberikan yang terbaik, anak akan secara alami merasa terdorong untuk membalas dengan cara terbaik yang bisa dia lakukan, tanpa perlu diminta. Namun, jika balasan itu dipaksa atau diminta secara eksplisit, anak mungkin merasa enggan dan tidak tulus dalam membalasnya. Dan bukankah orang tua yang mengharapkan balasan atas semua pengorbanan mereka juga menunjukkan ketidakikhlasan?
“Kamu salah jika kamu melakukan kebaikan pada orang dan berharap dibalas … kita manusia diciptakan untuk membantu sesama. Dan ketika kita membantu sesama, kita melakukan apa yang sudah dirancang untuk kita. Kita melakukan fungsi kita.” • Marcus Aurelius (155)
Para orang tua, mungkin ada yang tidak sepakat dengan pendapat ini, tetapi penting untuk diingat bahwa anak bukanlah investasi yang dapat diharapkan hasilnya di masa depan. Anak bukanlah ladang yang bisa kita tanami tanpa memperhitungkan kondisi dan cuaca, lalu berharap dapat panen yang melimpah. Anak juga bukan kayu yang bisa dipahat untuk menghasilkan karya seni dan keuntungan. Anak bukan robot yang bisa memenuhi semua ambisi dan kebanggaan orang tua. Dan anak bukan boneka yang dapat selalu memberikan aura positif dan kekayaan.
… bahwa menyayangi dan merawat anak kita dalam kondisi apa pun adalah hal yang selaras dengan Alam dan juga sudah semestinya dilakukan oleh orang tua yang menyayangi anak kita. Jika kita memutuskan menjadi orang tua, dengan melahirkan jiwa baru ke dunia ini, maka merawat dan menyayangi mereka sudah menjadi konsekuensinya—terlepas apakah anak kita akan membalasnya atau tidak. (231)
Orang tua yang mengharapkan anak hadir, maka sudah seharusnya ia merawat, menjaga, mendidik, dan memberi bekal baginya untuk meniti kehidupan. Itu sudah menjadi tanggung jawab orang tua. Perihal anak itu berprestasi atau tidak, sukses dalam pekerjaan atau tidak, menghormati kita atau tidak, sepenuhnya berada di luar kendali.
Saya percaya bahwa hukum alam bekerja sebagaimana mestinya. Jika kita mendidiknya dengan baik, anak akan baik kepada orang tua pula. Bahkan tanpa diminta.
Sebelum menuntut anak menjadi sempurna, sudahkah kita menjadi orang tua sempurna untuknya? Banyak orang tua yang merasa sudah benar dalam mendidik, padahal anaknya setiap hari makan hati. Ketika anak melakukan kesalahan, langsung disudutkan dan diungkit kesalahannya. Seolah anak seburuk itu. Namun, ketika anak menuntut kesempurnaan dari orang tuanya, beralibi bahwa “tidak ada sekolah orang tua. Kami masih dalam tahap belajar, jadi wajar jika melakukan kesalahan!”😩
Anak memang bisa diharapkan untuk berlaku sopan dan hormat kepada orang tua. Namun, jika dia tidak melakukannya, kita tidak perlu berusaha membuatnya merasa bersalah (guilt trip) dengan mengungkit-ungkit segala hal yang memang sudah semestinya kita lakukan sebagai orang tua. (231)
- Dia anak yang nakal. Setiap hari selalu membuatku marah. Aku tidak pernah dibuat bahagia olehnya.
… kemarahan bisa begitu memuncak hanya dari penyebab awal yang remeh. (172)
Ketika bibit-bibit kemarahan itu mulai mencuat, coba tahan selama setidaknya 10 detik. Pikirkan apa penyebabnya. Apakah memang dia salah? Jika iya, apa perlu diamuk? Apakah masih bisa diperbaiki? Seberapa buruk kesalahannya atau seberapa besar kerugian yang ditanggung atas kesalahannya? Atau jangan-jangan aku yang terlalu menuntut anak? Apakah aku pernah mendengarkan apa yang dia mau dan mampu? Atau aku hanya menempa tanpa mempedulikan perasaannya?
Marah itu wajar, tapi tidak harus diekspresikan dalam ledakan dan caci maki. Menyimpan kemarahan hanya memicu sesak. Membiasakan kemarahan juga sama tidak baiknya, membuat kita lupa cara untuk bahagia.
Bagaimana anak bisa menghormati dan membahagiakan, jika orang tua setiap hari kerjanya cuma marah-marah dan menuntut banyak hal?
Akhir kata:
Parenting itu adalah memilih untuk berdamai dengan hal-hal yang bisa kita kontrol atau tidak. Kita bisa mempersiapkan yang terbaik untuk dia semampu kita. Itu bisa kita kontrol. Dan hal yang paling dasar yang bisa kita kontrol adalah kita bisa membuat mereka merasa diterima apa pun wujud mereka. • Aghstried Piethers (Psikolog Anak dan Perempuan)
Inti dari pembahasan ini:
- Anak adalah individu. Dia memiliki hak untuk merdeka.
- Orang tua wajib dan bertanggung jawab memberikan yang terbaik untuk anaknya.
- Apa yang anak beri kepada orang tuanya (sikap, perkataan, prestasi, rasa hormat, dll), berada di luar kendali orang tua.
- Bedakan hal-hal di dalam dan di luar kendali kita.
- Jangan menuntut anak menjadi sempurna karena kita belum tentu orang tua yang sempurna.
- Keikhlasan dan ketulusan akan dibalas oleh kebaikan pula. Tanpa diminta.
- Anak bukan media penyalur obsesi, ambisi, dan gengsi.
- Kebahagiaan adalah tanggung jawab pribadi. Kebahagiaan orang tua bukan tanggung jawab anak.
catatan:
Saya tahu rasanya sebagai anak yang dituntut dan dibebankan kebahagiaan orang tuanya. Namun, kita juga tidak dapat menghakimi mereka begitu saja karena barangkali (kemungkinan besar) orang tua tidak memahami konsep bahagia ini.
Referensi: Filosofi Teras karya Henry Manampiring.