Apakah pernah ada negara yang mengalami kebalikan dari inflasi?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Saya jawab dengan satu contoh ya, misalnya Jepun. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi. Harga barang akan turun. Penyebabnya, seringkali dikarenakan oleh angka kelahiran yang rendah. Memang angka kelahiran bukanlah satu-satunya faktor, secara Singapore dan Hong Kong juga memiliki angka kelahiran rendah tetapi tetap saja mengalami inflasi. Tetapi, ya ini salah satunya saja yah, supaya penjelasannya tidak panjang.
Jepun itu negara yang unik. Tingkat belanja warga negaranya cukup rendah, padahal penghasilannya besar. Mereka hanya membeli barang yang mereka perlukan. Sisanya, mereka tabung. Bahkan tingkat investasi (pembelian saham) di Jepun juga rendah. Mereka sukanya menabung. Semua suka menabung, pemerintah juga bingung. Sampai suku bunga bank di Jepun itu sudah memakai negative interest rate. Semakin lama menabung, uangnya semakin sedikit. Pinjam uang dari bank, di satu sisi, ketika mengembalikan uangnya malahan totalnya bisa di bawah total uang yang dipinjam (dengan catatan bukan pinjaman konsumtif yah..). Bingung, kan?
Negative Interest Rates Are Not Working in Japan
Japan’s negative interest rate policy has failed to generate economic growth, but the central bank keeps trying to print up prosperity.
https://www.investopedia.com/articles/markets/080716/why-negative-interest-rates-are-still-not-working-japan.asp
Lalu, mengapa turunnya angka kelahiran menyebabkan deflasi?
Begini, saya tidak mau membahas kenapa angka kelahiran bisa turun, tetapi dampak yang ditimbulkannya. Katakanlah angka kelahiran turun dari 1000 unit menjadi 800 unit. Seiring berjalannya waktu, bayi-bayi yang lahir akan menjadi bocil-bocil yang lucu. Dulu, ketika angka kelahiran masih 1000, ada begitu banyak bocil. Tetapi, ketika angka kelahiran menjadi 800, dalam beberapa tahun selanjutnya, jumlah bocil terasa berkurang. Siapa yang pertama kali merasakan dampaknya?
Produsen baju bayi / anak kecil yang pertama kali merasakannya. Lalu, sekolah juga mulai merasakan dampaknya. Persaingan sekolah dalam memperebutkan murid menjadi begitu ganas, sedangkan para murid menjadi lebih gampang untuk masuk ‘sekolah biasa’. Sampai-sampai, ada sekolah yang hanya memiliki satu murid baru dalam tahun akademiknya.
Sudah tahu ya ceritanya? Ketika sudah menjadi lebih besar, pihak kereta api Jepun sampai harus membuat ‘jadwal khusus’ yang disesuaikan dengan sang anak agar ia tak terlambat ke sekolah.
OK, lalu apa implikasinya?
Nah, begini. Tadi kan sudah diceritakan, bahwa produsen baju bayi yang pertama kali terdampak. Selanjutnya, mungkin produsen mainan anak, buku, tas, juga akan terdampak. Lalu, baju dan celana orang dewasa, kosmetik, dll. juga akan mengalami penurunan. Mengapa begitu? Karena konsumennya berkurang, akibat angka kelahiran yang turun.
Akibatnya? Perusahaan dengan produk sejenis akan berkompetisi memperebutkan konsumen yang jumlahnya semakin turun. Apalagi orang Jepun secara umum adalah tipe orang yang hanya mengeluarkan uang untuk barang yang diperlukan. Cara paling klasik untuk meningkatkan jumlah konsumen adalah dengan menurunkan harga. Tetapi, jika perusahaan A menurunkan harga, perusahaan B yang menjual produk sejenis takkan tinggal diam. Demikian juga dengan perusahaan C, D, dll. Dari sini sudah terlihat, semakin lama harga semakin turun, karena produsen ramai banting harga, perang harga. Ini penjelasan sederhana mengenai deflasi.
Sekilas, sepertinya konsumen diuntungkan, yah? Betul, karena harga menjadi kompetitif. Masalahnya, ini adalah ilusi semu. Menurunkan harga berarti perusahaan akan mengalami penurunan keuntungan. Untuk itu, perusahaan akan melakukan penghematan. Bagaimana? Dengan mem-PHK sebagian karyawan, menggunakan tenaga paruh-waktu, memakai jasa outsorcing, memakai jasa Yakuza (ini sulit diceritakan), sampai mengotomasi prosesnya dengan robot. Singkatnya, akan terjadi PHK. Orang yang tetap bekerja pun akan kerja bagai kuda. Bagi yang di-PHK, kehilangan pekerjaan berarti hilangnya penghasilan, yang artinya hilangnya konsumen perusahaan. Yang masih bekerja akan bekerja keras, karena takut di-PHK. Sampai di rumah udah loyo, mau bikin anak udah habis tenaga. Yang di-PHK bisa aja bikin anak, tapi tidak berani, mau dikasih makan apa nanti? Baik yang masih kerja atau sudah ditendang, yamg manapun itu, mereka akan kuatir untuk memiliki anak, dengan alasan berbeda. Tingkat kelahiran akan makin rendah lagi, dan siklus lingkaran setan akan berlanjut.
Padahal, sebagian perusahaan masih harus membayar kredit ke bank. Biasanya, jaminannya adalah properti. Lazimnya, harga properti akan selalu naik, tetapi di sebagian Jepun harga properti juga turun. Hanya 20 kota yang nilai propertinya naik. Mengapa bisa begitu? Ya karena misalnya emak-bapaknya si Miyabi hanya memiliki satu anak, dan suaminya Miyabi juga anak tunggal. Setelah menikah, mereka tidak bisa tinggal di kedua rumah tersebut, apalagi jika berada di kota yang berjauhan kan? Apalagi jika orangtuanya telah tiada, maka secara kolektif jumlah rumah kosong semakin banyak, peminatnya sedikit. Harga properti turun. Ohya, di kota besar seperti Tokyo Osaka Yokohama Nagoya Kyoto dkk, hal ini tidak berlaku yah.
Sekarang kembali lagi. Perusahaan mendapat pinjaman dengan mengagunkan tanah. Tetapi apa yang terjadi jika nilai agunannya malah menyusut? Perusahaan akan dipaksa membayar kredit lebih cepat, terutama jika total kreditnya memiliki nilai di atas nilai aset yang diagunkan. Padahal, pemasukan perusahaan berkurang. Pusing kan? Perusahaan pusing, pemerintah pusing, semua pusing. Banyak PHK, yang tetap bekerja juga seperti romusha di negara sendiri. Banyak orang stress.
Ada yang bunuh diri, ada juga yang stress lalu membunuh orang lain, ada yang jadi terganggu kejiwaannya, ada yang mencari ‘jalan lain’ untuk meredakan stress, seperti pergi ke taman, makan, main game, nonton anime, atau….. lainnya… beberapa juga ada yang melakukan demo.
tuntutan demo di Jepun juga membuat orang lain mangap………..
Ya, intinya begitu, beberapa negara memang mengalami deflasi, dan ini membuat pemerintah Jepun sakit kepala. Solusi mudah adalah menaikkan pajak. Tapi ini membuat masalah baru, jadi pemerintah harus kreatif. Jadi, apakah yang direncanakan oleh pemerintah Jepun untuk keluar dari situasi ini? Saya tidak bisa bahas di sini. Bahkan jawaban saya ini sudah terlalu panjang untuk pertanyaan yang ditanyakan. Jadi, kapan-kapan akan saya tuliskan ceritanya.
Terima kasih sudah berkenan mampir ke sini. Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan atau pemilihan kata yang kurang berkenan.