Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa penanya tidak memahami preferensi seksualnya.
Bayangkan hadir di sebuah pesta resepsi pernikahan dengan berbagai jenis makanan.
Anda akan menemukan gubuk yang menyajikan spaghetti, salmon en crouton, sup krim jamur, dan mungkin steak barbeque jika Anda menyukai makanan Eropa.
Mee ayam pangsit, berbagai macam dimsum, sushi, dan makanan Asia lainnya adalah tempat yang harus dikunjungi bagi mereka yang menyukai makanan Asia.
Preferensi seksual pun seperti itu. Taruhlah Anda adalah seorang perempuan heteroseksual. Selera seksual Anda adalah tentunya laki-laki. Tapi, jangan kira semua perempuan suka laki-laki seperti yang Anda suka.
Ada perempuan yang secara seksual tertarik pada laki-laki yang kasar, mendominasi, dan tidak terlalu peduli sopan santun. Ada yang sebaliknya. Lebih suka laki-laki yang lemah lembut, ramah, tidak suka berkonfrontasi dengan orang lain.
Ada perempuan yang suka pada keduanya, sehingga dalam hidupnya perlu memiliki keduanya baik “resmi” maupun “tidak resmi”.
Laki-laki heteroseksual juga demikian. Ada laki-laki yang senang dengan perempuan yang lemah lembut di luar, tapi berubah liar di dalam ruangan tertutup. Ada laki-laki yang senang dengan perempuan yang sepenuhnya memegang kendali atas semuanya.
Ini belum bicara mengenai selera permainan seksual. Rupa-rupa modelnya.
Nah, demikian pula dengan homoseksualitas.
Di dunia kuno, jauh sebelum kehadiran agama Yahudi, apalagi Kristen, homoseksualitas hanyalah sebuah bumbu yang dianggap normal dalam banyak budaya di dunia. Baik di bumi belahan timur maupun barat. Seksualitas manusia yang aneka rupa adalah salah satu kenyataan hidup sehari-hari saja. Untuk memahami ini memang Anda perlu banyak membaca sejarah dunia kuno.
Dan tanpa kekangan Agama, pada dasarnya seksualitas manusia itu bisa dibilang nyaris sama persis dengan selera manusia atas makanan.
Anda tidak suka seafood, misalnya. Ibu Anda, yang juga tidak suka seafood, sangat mewanti-wanti untuk tidak makan seafood. Ketidaksukaan Anda menjadi-jadi.
Tapi suatu hari Anda menemukan sebuah sajian masakan kerang yang Anda belum pernah temukan sebelumnya, dan aromanya sangat membuat Anda berselera.
Mencium itu, Anda penasaran dan, karena kini Anda sudah dewasa, dan mungkin juga punya sedikit sifat terbuka terhadap pengalaman baru, Anda memberanikan diri untuk mencobanya.
Setelah mencobanya, Anda kini menyesal karena tidak mencoba kerang sejak dulu! Kerang ternyata enak sekali! Anda pun kini menjadi bersemangat mencoba seafood lainnya.
Kurang lebih seperti itu.
Nah, karena preferensi seksual itu bukanlah penyakit, maka “sembuh” adalah istilah yang salah kaprah untuk disematkan kepadanya.
“Menjadi” homoseksual itu sama prinsipnya dengan seseorang “menjadi” heteroseksual. Karena keduanya sama-sama preferensi seksual, maka, banyak hal harus bisa diterapkan kepada keduanya. Misal, kalau homoseksual — yang adalah juga preferensi seksual — adalah penyakit yang bisa disembuhkan, maka, heteroseksualitas juga seharusnya bisa disembuhkan.
Pertanyaan yang lebih tepat diajukan adalah: bagaimanakah preferensi seksual ditentukan? Atau, apa saja yang mempengaruhi preferensi seksual seseorang?
Jawaban yang disediakan ilmu pengetahuan terkini adalah 2: genetis (biologis) dan lingkungan. Keduanya. Jadi bukan hanya biologis saja. Juga bukan semata-mata pengaruh lingkungan.
Semoga membantu.
Catatan tambahan:
Saya sudah cukup lama menjalani hidup sebagai seorang homoseksual. Berdasarkan perkembangan terkini, APA (American Psychological Association) lebih menyukai istilah orientasi seksual karena istilah ini tidak mengindikasikan pilihan sukarela atas seksualitas. Sementara istilah yang saya pakai dan memang pilih secara sengaja, yakni preferensi seksual, mengindikasikan pilihan sukarela atas seksualitas. Pasalnya, inilah yang saya yakini berdasarkan banyak telaah pustaka penelitian dan jurnal ilmiah luar negeri dalam bidang psikologi dan biologi/genetika, khususnya — namun tidak terbatas pada — mengenai seksualitas.
AS adalah negara yang masih cukup relijius, tidak seperti Eropa. Untuk populasi di sana, topik LGBT masih sering dibenturkan dengan Agama sama seperti di banyak negara Asia seperti Indonesia. Oleh karena itu, adalah penting bagi organisasi seperti APA untuk menekankan bahwa menjadi LGBT itu tidak sukarela alias sangat ditentukan oleh faktor biologis. Berdasarkan telaah saya, ini boleh jadi tidak benar dan sangat politis. Sayangnya AS, de facto, masih merupakan negara adidaya dan apa saja yang keluar dari AS dipandang otoritatif oleh khalayak.
Membenturkan agama dengan LGBT adalah sesuatu yang saya tidak suka secara pribadi. Menurut pendapat saya, agama tidak perlu, tetapi boleh-boleh saja, “campur tangan” dalam hal LGBT. Selain itu, komunitas LGBT tidak perlu mengubah keyakinan agama mereka tentang preferensi seksual mereka. Bagaimana jika kita jatuh cinta dan menyukai orang yang serupa dengan kita?Bagaimana jika institusi agama tidak menyukai atau menyetujui pilihan kita?
Tidak ada yang dapat mengatakan sejauh mana pikiran Tuhan. Jangan dengarkan orang yang merasa lebih tahu hanya karena mereka membaca “Al-Buku” dengan rajin.