Saya adalah anak tunggal karena memang sengaja diinginkan oleh orang tua saya. Dulu, ibu saya dijodohkan dengan almarhum ayah saya. Selama hidupnya, ayah saya menderita depresi dan rutin minum obat dari psikiater.
Ibu saya terpaksa menikah dengan almarhum ayah saya dengan harapan bisa “menyembuhkan” depresinya. Namun, ternyata usaha tersebut tidak berhasil, ayah saya tetap bergantung pada obat psikiater hingga akhirnya beliau meninggal dunia.
Keluarga dari pihak ayah meminta ibu saya untuk menggunakan alat kontrasepsi agar saya tidak memiliki adik. Ibu saya menurut dan rutin menggunakan suntikan KB selama 15 tahun pernikahan kami.
Dari pengalaman saya, menjadi anak tunggal itu menyenangkan jika memang keluarga kita hidup dalam kecukupan dan kekayaan yang berasal dari orang tua sendiri, bukan dari kakek nenek atau kerabat lainnya.
Berikut adalah pengalaman hidup yang saya alami sebagai anak tunggal:
1. Saya tidak pernah merasa bersaing dengan siapa pun di rumah. Namun, saya memiliki sepupu yang kurang mampu, yaitu anak dari kakak ibu saya. Oleh karena itu, saya selalu berbagi mainan dan pakaian bekas dengan sepupu saya ini.
2. Saya masih tidur di kamar yang sama dengan orang tua sampai kelas 6 SD, dan baru saat SMP saya pindah ke kontrakan dan memiliki kamar sendiri.
3. Karena masa kecil saya tinggal di rumah nenek yang juga dihuni oleh keluarga bibi saya, saya kadang merasa iri karena sebagian besar rumah nenek dikuasai oleh keluarga bibi saya. Sementara itu, ibu dan saya seperti pembantu gratis. Ibu saya membantu mengurus nenek, memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, dan memberi makan anak-anak bibi saya tanpa mendapatkan bayaran.
4. Saya sering menyaksikan almarhum ayah saya bertengkar dengan bibi saya mengenai pembayaran listrik, bahkan saya pernah mendengar salah satu anaknya mengutuk ayah saya sampai tujuh turunan. Sungguh tidak menyenangkan!
5. Rumah warisan almarhum ayah saya akan menjadi milik saya di masa depan. Ibu sempat menikah tanpa memiliki anak, tetapi sekarang ibu saya tinggal sendirian lagi.
6. Saya bukanlah tipe anak tunggal yang dimanja, sebaliknya saya sangat diandalkan untuk bisa keluar dari kemiskinan.
7. Dalam keluarga besar ayah saya, saya sering terlupakan dan tidak dianggap kecuali jika saya memiliki prestasi.
8. Keluarga besar ibu saya diabaikan, bahkan setelah ayah meninggal, salah satu sepupu ibu sibuk menjual motor warisan ayah satu-satunya. Padahal ibu belum mau menjualnya.
9. Saya tidak mampu merawat ibu sendirian tanpa bantuan. Karena saya harus menjadi tulang punggung keluarga ditambah suami yang menganggur dan kesulitan mencari pekerjaan.
10. Seringkali saya berpikir apakah bisa membuat ibu bahagia? Tidak memiliki saudara yang bisa berbagi. Tetapi jika saya memiliki kakak atau adik, itu tidak menjamin bahwa kami bisa berbagi kesulitan juga.
11. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa orang tua tidak selamanya ada di dunia ini, ayah telah beristirahat dengan tenang dan ibu semakin menua. Segera tiba giliran saya untuk merawat ibu. Mungkin juga waktu saya bersama ibu semakin sedikit.
12. Saya menyadari bahwa saya harus menghadapi kerasnya hidup sendirian. Oleh karena itu, saya harus menjadi lebih kuat, lebih cerdas, lebih sehat, dan meningkatkan potensi yang ada agar bisa bertahan hidup!
Secara keseluruhan, saya masih bersyukur menjadi anak tunggal karena hanya saya yang bisa merasakan kebahagiaan dan penderitaan dalam satu waktu. Saya juga sedang berusaha memperkuat diri untuk menghadapi dunia yang gila ini! Semoga saya bisa bertahan di dunia yang penuh dengan kegilaan ini!
Hai kamu yang menjadi anak tunggal di luar sana, kamu harus bangga karena kamu memiliki bahu yang kuat yang Tuhan percayai untuk menanggung tanggung jawab keluarga dan kehidupanmu sendiri! Jangan pernah merasa kesepian, aku selalu ada di belakangmu!