Bagaimana rasanya tinggal di negara-negara Skandinavia?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Saya pernah tinggal selama 11 bulan di sebuah kota kecil bernama Vasteras yang berjarak sekitar 100 km dari Stockholm. Saat itu saya sedang bekerja untuk salah satu perusahaan engineering disana. Masa kerja saya seharusnya satu tahun/12 bulan, namun berkurang menjadi 11 karena kekonyolan pegawai kedutaan besar Swedia yang salah kirim kartu visa saya.
Kota ini dibaca Westeros (seperti di film Game of Thrones).
Vasteras merupakan kota kecil yang penduduknya kebanyakan adalah orang-orang yang sudah berkeluarga dan juga penduduk senior yang hobi sekali mancing di danau (bahkan saat musim dingin). Di Vasteras hanya ada satu gedung pencakar langit bernama Skrapan yang kurang lebih memiliki 20 lantai (kalau tidak salah). Skrapan, Västerås – Wikipedia
Meskipun sebenarnya ada beberapa gedung apartment yang juga memiliki 10 lantai atau lebih, namun penduduk Vasteras sudah terbiasa menyebut gedung Skrapan ini sebagai satu-satunya gedung pencakar langit di kota mereka. Bandingkan dengan Jakarta yang memiliki ratusan gedung tinggi.
Tinggal di kota ini merupakan salah satu pengalaman hidup berharga untuk saya karena saya jadi lebih bisa menghargai sinar matahari…
Cuaca di Swedia pastinya sangat berbeda dari Indonesia dan setiap tahun mayoritas penduduk Swedia di kota manapun itu pasti sangat menanti datangnya musim panas agar bisa segera berjemur. Saya bahkan pernah melihat sekumpulan orang yang berjemur di satu titik di satu sudut kota Vasteras dikarenakan hanya disitulah sinar matahari berhasil menembus awan dan mencapai tanah (saat itu sedang musim dingin). Mungkin itu juga alasannya kenapa orang-orang dari negara 4 musim senang sekali berkunjung ke negara tropis dengan 2 musim.
Hampir setiap hari mendung disana seperti foto dari apartment saya di atas.
Setelah melihat sekumpulan orang itu berjemur, saya bersyukur lahir di negara tropis seperti Indonesia. Silahkan anda berjemur esok hari agar tidak kekurangan vitamin d.
Dari segi pekerjaan, jujur di Swedia jauh lebih santai dibandingkan Indonesia. Contohnya saat banyak dari rekan2 kerja saya yang kalau datang ke kantor selalu di jam 9 pagi dan pulang jam 3 sore. Sesuatu yang agak mustahil dilakukan di Jakarta atau kota2 lain di Indonesia. Datang jam 9 pagi pun tidak langsung kerja, ada 30 menit yang biasanya dialokasikan untuk “Fika” atau ngopi2 santai. Jadi biasanya yang saya perhatikan, datang jam 9 pagi, ngopi sampai jam 9.30, lalu kerja sampai jam 11.00. Lalu turun untuk makan siang sampai jam 12. Sesampai di kantor ngopi2 lagi paling tidak sekitar 15–30 menit. Jadi dari jam 12.15/12,30 baru dilanjutkan bekerja sampai jam 15.00.
Bagi yang sudah memiliki anak, jam 15.00 biasanya sudah bisa pergi untuk jemput anaknya di daycare dan langsung pulang ke rumah setelahnya. Bagi yang belum atau memang masih ada kerjaan lain biasanya akan tetap di kantor sampai jam 16.00 atau 16.30, lalu pulang atau melakukan kegiatan lain. Hampir tidak pernah saya melihat rekan2 kerja saya lembur sampai jam 8/9 malam.
Untuk potongan pajak di Swedia juga sangat fair. Saya mendapatkan tax return (pengembalian pajak) sebanyak 2 kali dalam masa kerja 11 bulan. Saat saya kaget karena mendapatkan tax return dari pemerintah sana, rekan2 kerja saya tertawa karena baru sekali melihat orang yang baru pertama kalinya juga mendapatkan pengembalian pajak.
Dikarenakan masa kerja saya dipotong sebulan menjadi 11, saya tidak mendapatkan Personnummer (ID Number) yang biasanya diberikan kepada orang yang tinggal satu tahun atau lebih. Sebagai gantinya saya diberikan Samordingsnummer (Coordination Number). Bagi siapapun yang tertarik untuk tinggal di Swedia, saya sarankan (jika memungkinkan) untuk mendapatkan Personnummer karena hidup anda akan jauh lebih mudah. Hampir semua masalah administrasi akan jauh lebih cepat diselesaikan jika memiliki Personnummer.
Sunset di Stockholm.
Dari segi biaya hidup, Swedia cukup mahal. Namun jika dibandingkan dengan Norwegia atau Denmark, Swedia masih lebih murah. Beruntung saya memiliki stok Indomie yang cukup banyak (3 dus) & rendang kering 5 kg yang dibawakan kakak saya saat berkunjung, jadi biaya makan juga bisa dikurangi. Satu porsi makanan Chinese di restoran dekat apartment saya itu sekitar 50–70 Krona (kalau Rupiah sekitar 75–100k, 1 SEK di angka 1,500 IDR). Kebab yang murah sekitar 49 Krona. Makanan India dekat apartment saya itu satu porsi minimal 90 Krona. Alhasil saya pun lebih sering masak sendiri meskipun tidak terlalu mahir. Selagi saya disana, saya pun selalu beli salmon karena memang disana murah.
Untuk transportasi saya cukup beruntung. Dikarenakan saat itu saya masih berusia di bawah 26 tahun, maka biaya transportasi jadi lebih murah dari harga normal (semua moda transportasi). Hal ini tentunya sangat membantu jika saya sedang berpergian ke kota lain. Harga tiket kereta, pesawat, dan bus jadi lebih terjangkau.
Salah satu hal yang paling berkesan untuk saya adalah saat memotret foto di bawah.
Menurut rekan kerja saya, pasir tersebut diimpor dari negara tropis agar saat musim panas datang, ada kesan hangat bagi warga yang sedang berkunjung kesana. Foto tersebut saya ambil saat musim dingin dan ombak2 kecil terlihat membeku sebelum menyentuh daratan.
Secara keseluruhan, tinggal di Swedia merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam hidup saya. Dan saran saya bagi yang tertarik untuk tinggal sambil kuliah/kerja disana, bawalah Indomie yang banyak.