Saya pernah mengalami horor. Tapi mungkin bukan yang paling mengerikan, teman kelas saya di SMP berbagi cerita yang dia ceritakan saat dia masih kecil.
Dia tinggal di salah satu desa terpencil di Kabupaten Ngawi. Pematang sawah yang kecil adalah satu-satunya kartu flexi yang dia miliki saat itu, karena jalan menuju rumahnya melewati jalan berbatu. Saya ingat waktu itu teman-temannya menggunakan provider lain.
Dia berusia lima tahun ketika kakaknya dan dia bermain-main di sungai di dekat rumah. Kakak perempuannya lebih tua darinya dua tahun.
Mereka bermain air, kadang-kadang mencari buah-buahan liar, dan menjelajahi wilayah sungai. Dia dan kakaknya tidak sempat pulang saat menjelang hujan. Dia menemukan rumah atau gubug yang terbuat dari bambu di pinggiran sungai.
Di sana, dia dan kakaknya bertemu dengan seorang kakek yang rambutnya telah memutih sepenuhnya dan terlihat sangat tua. Meskipun mereka datang dan tinggal sebentar sembari menunggu hujan reda, si kakek menyambut mereka dengan ramah.
Si kakek menghidangkan ayam pejantan panggang utuh untuk mereka berdua. Teman saya dan kakaknya begitu menikmati hidangan tersebut tanpa bertanya-tanya, karena rasanya yang begitu nikmat.
Begitu hujan reda dan ayam panggang itu telah habis, mereka pamit pulang dan berterimakasih atas makanan yg diberikan. Si kakek hanya tersenyum, tanpa berucap.
Esok harinya mereka bermain lagi ke sungai, mereka bertemu si kakek lagi. Si kakek membawa 2 buah jambu merah. Kakak perempuannya memilih salah satu buah yg ranum. Sedangkan teman saya akhirnya mau tak mau menerima yg lebih muda. Mereka pulang lebih awal sembari membawa buah jambu pemberian kakek.
Mereka membuka jambunya masing-masing dan memakannya. Aneh, jambu milik kakaknya yg terlihat matang rasanya pahit dan sepat. Sedangkan milik teman saya yg kelihatan masih muda justru begitu manis dan enak. Meskibegitu akhirnya mereka menikmati buah jambu itu hingga habis.
Keesokan harinya hingga dua hari berikutnya mereka tak bisa bermain-main ke sungai lagi, lantaran hujan deras terus mengguyur desanya.
Hari keempat, mereka melihat sekitar sungai. Ternyata air sungai begitu meluap dan banjir hingga melewati pinggiran sungai. Mereka teringat rumah si kakek yang tidak terlihat lagi di sepanjang pinggir sungai itu.
Mereka khawatir jika rumah kakek dan kakek tersebut hanyut terseret banjir. Akhirnya mereka pulang dan bertanya kepada ibunya.
“Dimana rumah kakek di pinggiran sungai itu,dan bagaimana dengan keadaannya?”
“Apa maksud kalian? Tidak ada orang yg mau tinggal di pinggiran sungai. Karena saat musim hujan begini bisa terseret banjir”
“Ada bu, seorang kakek. Beliau sangat baik, memberikan kami makan dan tempat berteduh”
“Tidak ada nak. Kalian jangan mengkhayal. Tak ada orang yg tinggal di pinggiran sungai. Orang terakhir yg pernah tinggal disana seorang kakek yg telah meninggal lama”.
Mereka kebingungan dan menatap satu sama lain.
“Sudah kalian jangan pernah main-main ke sungai lagi. BAHAYA!”
setelah itu mereka tak pernah main ke sungai lagi dan mereka tak pernah berjumpa lagi dengan si kakek.