Mari kita pecah menjadi dua kebijakan yang berbeda: meningkatkan angka imigrasi dan fokus pada peningkatan angka kelahiran.
**A. Menaikkan Angka Imigrasi**
Mengizinkan lebih banyak imigran untuk masuk bisa meningkatkan populasi Jepang, namun hal ini juga memiliki sisi negatif. Imigran membawa budaya dan kebiasaan yang berbeda. Jika jumlah mereka sangat banyak dan tidak berusaha untuk berintegrasi dengan masyarakat lokal, ada risiko budaya Jepang bisa tergerus atau bahkan hilang. Globalisasi berusaha menyamakan budaya yang berbeda, tetapi ciri khas masing-masing budaya sulit dihilangkan. Ketika prinsip budaya yang berbeda bertemu, sering kali terjadi bentrokan dan kesulitan dalam penyesuaian.
**B. Peningkatan Angka Kelahiran**
Ini adalah isu yang kompleks. Di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang dan Korea, memiliki keturunan merupakan bagian dari nilai-nilai Konfusius yang mendalam. Namun, dengan biaya hidup yang terus meningkat, banyak orang mungkin merasa kesulitan untuk memiliki anak. Biaya pendidikan, perumahan, dan kesehatan yang tinggi dapat menjadi hambatan besar bagi keluarga yang ingin menambah jumlah anggota keluarga mereka.
Kurva pekerja wanita di Jepang yang berbentuk huruf M (M-Shaped) menunjukkan fenomena menarik di pasar tenaga kerja Jepang. Kurva ini mengindikasikan bahwa partisipasi wanita dalam angkatan kerja mengalami penurunan signifikan pada rentang umur 30 hingga 40 tahun, lalu meningkat kembali setelah usia 44 tahun.
Fenomena ini terjadi karena banyak wanita Jepang keluar dari pekerjaan mereka pada usia tersebut untuk fokus mengurus anak. Setelah anak-anak mereka lebih mandiri atau setelah anak-anak mereka memasuki sekolah, banyak wanita yang kembali ke dunia kerja. Hal ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh wanita dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
Melihat kurva tahun 2017, nampaknya Jepang berangsur-angsur mulai keluar dari kurva model M.
Memang benar bahwa wanita dan pria di Jepang menghadapi dilema antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga. Banyak wanita yang memilih untuk terus bekerja karena kebutuhan finansial, dan sebagai akibatnya, mereka sering kali menunda atau menghindari memiliki anak. Di sisi lain, pria juga fokus pada pekerjaan untuk mendukung keluarga, yang seringkali mengakibatkan kurangnya waktu untuk terlibat dalam pengasuhan anak.
Orang Jepang umumnya menganggap memiliki anak sebagai beban finansial besar, bukan sebagai sumber kebahagiaan atau keberuntungan tambahan. Oleh karena itu, mereka cenderung menilai biaya dan tanggung jawab yang terlibat dalam membesarkan anak sebagai faktor penghambat dalam keputusan untuk memiliki anak.
Dalam konteks kebijakan imigrasi, Jepang cenderung berhati-hati karena tantangan dalam mengintegrasikan imigran ke dalam masyarakat yang sangat homogen. Kasus-kasus seperti kematian Wishma Sandamali memperburuk persepsi tentang bagaimana imigran diterima di Jepang. Korea Selatan juga menghadapi tantangan serupa terkait penerimaan imigran dan mungkin memiliki sikap yang lebih rasis.
Peningkatan angka kelahiran, meskipun sulit, bisa menjadi solusi yang lebih realistis dibandingkan dengan membuka pintu imigrasi yang mungkin tidak praktis atau diterima oleh masyarakat. Untuk mendorong peningkatan angka kelahiran, pemerintah bisa fokus pada membuat biaya hidup dan biaya pengasuhan anak lebih terjangkau. Selain itu, kebijakan kerja yang mendukung wanita untuk terus bekerja sambil mengurus anak, seperti cuti melahirkan yang lebih baik dan fleksibilitas kerja, juga dapat membantu meningkatkan angka kelahiran dan partisipasi wanita dalam angkatan kerja.
Catatan Kaki
[1] Japan’s female labor force set to toss out M-curve
[2] Why Does Japan Make It So Hard for Working Women to Succeed? (Published 2018)
[3] Death of Wishma Sandamali – Wikipedia
[4] The Observers – Expatriates in South Korea accuse bars and nightclubs of racism and exclusion