Nah, ini namanya straw man salah satu logical fallacy. Logical fallacy ini alih-alih menyanggah suatu argumen, ia membuat “straw man” untuk pengalihan isu dan seolah-olah kalau straw man-nya benar maka argumen “asli”nya benar, padahal terdapat perbedaan yang cukup signifikan diantara kedua subjek yang dibicarakan.
LGBT dan Alkohol (miras) bukan hal yang sama, meskipun sama-sama haram.
Contohnya gimana? Saya bawa logika dulu saja:
- Sementara homoseks membutuhkan setidaknya dua orang untuk mengalami kerusakan, alkohol hanya merusak orang yang mengonsumsinya. Lebih parahnya lagi, jika dia tidak menemukan “lawan main” yang homo, dia mendorong orang lain untuk menjadi homo.
- Alkohol tidak 100% menyebabkan kegagalan kehamilan. Homo? Lah gimana,” bro, katanya kita disuruh nyari ovum, ini kita dimana?” Kata sperma paling depan berenangnya. “Oh tenang, kita bisa adopsi”, kata para homo, lah kalau mau adopsi kan berarti dari pasangan heteroseksual, artinya konsep homoseks sudah gagal dari get-go-nya.
- Alkohol bisa menyebabkan sakit ginjal (dan mungkin sakit yang lain), yang kemungkinan besar bisa disembuhkan (sampai titik tertentu). Homoseks, khususnya gay, paling ringannya rusak fungsi pembuangan kotoran dan biasanya ga stop sampai kena AIDS.
- Alkohol, paling jauh cuma “ngajak” misal,” minum yuk”, homo, ya liat deh gerakan LGBT internasional sampai-sampai bisa mengubah peraturan pemerintahan.
Dari perspektif agama, ya, kita tahu dari agama Abrahamik tentang kisah Nabi Luth atau Lot, di mana kota dibalik atau dinuklir, entah karena siapa pun yang melihatnya buta, jadi kita percaya saja. Di dalam Islam, ada tiga ayat dengan jeda waktu yang mengharamkan alkohol, atau khamr.
Jadi gitu penjelasannya. Tapi bro/sis, kalau serius nanya kenapa miras diperbolehkan di Indonesia, jangan di attach di grup LGBT, jawabannya jadi gini deh.