Mengapa anda memutuskan cutloss atau jual rugi dalam instrumen investasi (saham, crypto, komoditas maupun properti)?
Ahmad Al-farizProfessional
Mengapa anda memutuskan cutloss atau jual rugi dalam instrumen investasi (saham, crypto, komoditas maupun properti)?
Share
Bayangkan anda menjadi seorang direktur perushaan pembuat pesawat dimana diberikan dana sebesar 10 juta USD untuk membuat sebuah pesawat yang tidak terdeteksi radar atau dengan kata lain, pesawat siluman.
50% dana sudah digunakan namun ternyata perusahaan saingan sudah selesai membuat pesawat siluman dimana pesawat mereka ternyata lebih cepat dan lebih irit dibanding pesawat rancangan perusahaan anda. Menurut perhitungan tim anda, sangat susah mengalahkan pesawat tersebut mengingat pesawat tersebut lebih baik, lebih murah dan sudah dipasarkan terlebih dahulu.
Pertanyaanya. Maukah anda menghabiskan sisa dana anda untuk melanjutkan pembuatan pesawat siluman anda?
lebih dari 80% responden menjawab MAU. Mereka akan menghabiskan sisa dana untuk melanjutkan pembuatan pesawat tersebut meskipun pesawat lain ternyata jauh lebih baik.
Sekarang bayangkan anda baru ditunjuk menjadi direktur sebuah perusahaan pembuat pesawat. Sebelum anda menjabat, proyek pembuatan pesawat siluman sudah berjalan dan sudah menghabiskan 50% dana. Salah satu karyawan anda mengatakan bahwa proyek ini sebaiknya dilanjutkan dengan menggunakan sisa dana yang ada.
Namun menurut perhitungan dan data data yang disediakan, sangat susah membuat pesawat yang jauh lebih baik dan bersaing dalam penjualan dengan kompetitor perusahaan anda.
Sebagai direktur mau kah anda menggunakan sisa dana untuk menyelesaikan proyek tersebut?
Hampir 80% responden mengatakan bahwa mereka tidak mau mengikuti saran bawahan mereka untuk menghabiskan dana tersebut.
Pertanyaan nya sama, namun kenapa keputusan yang dihasilkan justru berbeda?
Semua ini karena sudut pandang. Di cerita pertama anda adalah direktur yang memulai proyek tersebut. Anda menghabiskan waktu, uang dan tenaga untuk proyek tersebut sehingga jika anda menghentikan proyek tersebut, semua usaha anda sia sia.
Di cerita pertama, anda bukan lah direktur yang memulai proyek tersebut. Anda hanya seorang direktur yang baru menjabat. Anda tidak menghabiskan dana, tenaga dan waktu sebagaimana direktur di cerita pertama. Ini membuat anda lebih objektif dalam mengambil keputusan mengingat anda tidak memiliki ikatan emosional dalam proyek tersebut.
Dalam hal ini, direktur di cerita pertama mengalami salah satu bias dalam psikologi yang disebut Sunk Cost fallacy
Jadi akibat sunk cost fallacy ini, seseorang cenderung akan tetap bertahan atau mungkin malah mengeluarkan modal atau tenaga lebih meskipun keadaan sudah tidak memungkinkan.
Cerita ini menjadi salah satu alasan saya melakukan cutloss. Jika sesuatu sudah tidak berjalan sesuai harapan, atau dalam hal ini harga saham sudah turun melebihi batas toleransi saya,entah karena faktor fundamental atau faktor faktor lainnya maka saya akan segara melakukan cutloss.
Ini saya lakukan agar saya tidak terdampak sunk cost fallacy diatas dimana jika saya tetap bertahan meskipun harga saham sudah turun melebihi target, maka kemungkinan kerugian yang diderita bisa lebih banyak.
Contoh:
Ini adalah grafik harga saham sebuah perusahaan dengan fundamental sangat baik.
Harga penutupan terakhir ada di 7625. Anggap lah saya berniat berinvestasi disini dan membeli di harga 7625 dan saya akan cutloss jika harga sampai 5%.
Ternyata harga sahamnya malah turun
Harga sahamnya menjadi 7200. Average saya adalah 7625 sehingga kerugian saya adalah 6% kurang lebih. Ini tentu sudah melebihi batas toleransi saya yaitu 5%.
Namun saya sudah menghabiskan waktu dan tenaga menganalisa saham ini. Saya pun yakin bahwa ini adalah perusahaan bagus walaupun teman saya mengatakan bahwa perusahaan ini sudah terlalu besar untuk bisa tumbuh lagi.
Tidak ingin semua usaha saya sia sia saya memutuskan untuk average down atau membeli lagi saham ini. Jadi saya membeli lagi di harga 7200. Anggaplah sekarang average saya menjadi 7300 Sehingga kerugian saya hanya sebesar -4%. Aman lah pikir saya.
Namun ternyata ini yang terjadi.
harga turun terus hingga ke 5625. Kerugian saya adalah 22% dari average 6300. Mau cutloss juga sayang karena loss 22 % itu besar. Sebagai catatan, jika saya cutloss di 22% maka return yang saya butuhkan untuk balik modal adalah 28%
Namun jika saya cutloss sebelumnya saat kerugian masih sebatas 6%, maka return yang saya butuhkan untuk balik modal hanya 6,3%. Ilustrasi berikut mungkin bisa membantu:
Cutloss Vs balik modal
5% – – – – – – 5.3%
10% – – – – – – 11.1%
15% – – – – – – 17.6%
20% – – – – – – 25.0%
25% – – – – – – 33.3%
30% – – – – – – 42.9%
35% – – – – – – 53.8%
40% – – – – – – 66.7%
45% – – – – – – 81.8%
50% – – – – – – 100.0%
55% – – – – – – 122.2%
60% – – – – – – 150.0%
65% – – – – – – 185.7%
70% – – – – – – 233.3%
75% – – – – – – 300.0%
80% – – – – – – 400.0%
85% – – – – – – 566.7%
90% – – – – – – 900.0%
95% – – – – – – 1900.0%
Jadi makin dalam cutloss, makin tinggi return yang dibutuhkan untuk balik modal. (Bayangkan jika cutloss di 50%, saya butuh return 100% untuk balik modal) Ujung ujungnya saya menyesal kenapa tidak cutloss saja dulu. Ini semua akibat sunk cost fallacy diatas.
Jadi jika saya cutloss di 4% tadi maka saya bisa menyelamatkan modal saya dari kerugian yang lebih besar.
Tentu akan ada asumsi bahwa tunggu saja harga sahamnya naik lagi. Namun pertanyaannya, ini asumsi berdasarkan data atau harapan di hati kecil kita?
Jika ternyata harga sahamnya lama tidak naik, maka uang kita malah menjadi uang mati. Mereka yang menginvestasikan uang nya di instrumen yang lebih aman seperti obligasi atau deposito mungkin sudah untung duluan tanpa melakukan analisa yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga seperti yang kita lakukan.
Semoga membantu. Maaf jika ada salah kata dan penyampaian. Sekedar jawaban saya sebagai pemula.
https://www.behavioraleconomics.com/resources/mini-encyclopedia-of-be/sunk-cost-fallacy/