Karena biayanya akan lebih tinggi.
Buku dengan cover hard biasanya tebal dan memiliki lebih dari 400 halaman. Buku dengan cover hard biasanya dijual dengan harga di atas 100 ribu rupiah.
Oleh karena itu, beberapa penerbit memilih buku dengan cover tebal untuk mengurangi biaya dan mendapatkan cover buku dengan kualitas terbaik. Namun, buku yang lebih tebal akan lebih mahal, bukan?
Tapi ketika kita memiliki buku dengan hard cover, kita akan memiliki perasaan yang berbeda ketika kita menyentuhnya. Ini juga berarti mendapatkan cover buku dengan kualitas terbaik. Karena itu, pepatah Jawa “ana rega ana rupa” (ada harga ada rupa) akan berlaku jika kita berbicara kenapa buku A yang halamannya berjumlah sama dengan buku B bisa memiliki harga lebih mahal.
Buku Sejarah Estetika (kiri) dan buku Polemik Kebudayaan (kanan). Buku tersebut sama-sama menggunakan hard cover. (Dokumentasi pribadi)
Untuk dua buku hard cover yang saya miliki, buku Sejarah Estetika dan Polemik Kebudayaan, harganya hampir 300 ribu rupiah saat saya membelinya. Namun, meskipun harganya relatif mahal, kualitas hard covernya sangat baik, melindungi bagian atas, samping kiri, dan bawah buku dengan sangat baik.
Untuk buku Polemik Kebudayaan, buku tersebut memang anomali. Ketika buku yang lain dengan harga yang sama atau bahkan sedikit lebih mahal dari buku tersebut menggunakan soft cover, tapi buku Polemik Kebudayaan ini menggunakan hard cover.
Buku Polemik Kebudayaan menggunakan kertas putih, bukan kertas berwarna kekuningan, dan memiliki 223 halaman, yang menunjukkan bahwa buku tersebut tidak terlalu tebal. Buku Polemik Kebudayaan mungkin yang terbaik di kelasnya dengan harga di bawah sembilan puluh ribu.
Terima kasih telah membaca ini.