Berdasarkan data tahun 2019, jumlah penduduk asli di Taiwan sebanyak 569.000 jiwa atau sekitar 2,38 persen dari jumlah penduduk Taiwan. Angka ini jelas menunjukkan bahwa penduduk asli Taiwan mengalami peningkatan. Bandingkan dengan data VOC tahun 1650 yang saat itu hanya berpenduduk sekitar 68.600 jiwa. Jika dilihat dari wajah dan aksesorisnya, terlihat jelas bahwa orang Taiwan adalah orang Austronesia.
Pribumi Taiwan
Mereka bermigrasi ke Kepulauan Pasifik, termasuk Indonesia, sekitar 4.000 tahun yang lalu; Misalnya orang Jawa termasuk dalam rumpun Austronesia, seperti tertulis,
Javanese is a member of the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family. Its closest relatives are Malay, Sunda, Madura, and Bali.
Sebagai bagian dari Asia, Taiwan mungkin akan mengalami nasib serupa dengan Filipina, yang pernah dijajah oleh Spanyol selama kurang lebih 333 tahun dari tahun 1565 hingga 1898. Taiwan mungkin akan mengalami nasib yang sama seperti negara kepulauan; dimana Belanda hadir selama 346 tahun, yaitu. 1595–1941. Namun nasib Taiwan berbeda karena China memilih jalur militer untuk membebaskan Taiwan dari kolonialisme. Kisah Taiwan dimulai sebagai koloni Spanyol di ujung utara pulau Taiwan pada tahun 1626-1642. Sekarang dikenal sebagai Kota Keelung di Taiwan.
Peninggalan Spanyol yang masih ada adalah nama Formosa yang berasal dari Isla Formosa yang berarti pulau indah dengan pemerintahan kolonial Gobernación de Formosa Española, Pemerintahan Spanyol di Formosa. Begitu pula dengan nama Kepulauan Penghu adalah Pescadores yang artinya “nelayan”. Nama-nama tersebut masih digunakan hingga saat ini, terutama dalam dokumen resmi internasional seperti Deklarasi Kairo tahun 1943 dan Deklarasi Potsdam tahun 1945. Kedua deklarasi tentang nasib Taiwan ini disebut Taiwan Formosa dan Penghu Pescadores.
Taiwan & Penghu
Perang China – Belanda, 1622–1661
Belanda baru tiba di Taiwan pada tahun 1622. Setelah mereka gagal merebut Makau dari Portugis. Dia kemudian mendarat di Kepulauan Penghu dan membangun benteng di Fengui Shetoushan, kota Makung di Penghu.
Benteng Belanda di Fengui Shetoushan
Menurut James Davidson, pembangunan benteng ini memakan biaya sekitar 1.500 warga Penghula yang bekerja sebagai budak. Mereka semua meninggal karena kekurangan makanan dan kelelahan membangun kastil. Kematian para pekerja ini memicu permusuhan antara Belanda dan penduduk asli, sehingga mengakibatkan terbunuhnya seluruh penumpang dan awak kapal Belanda De Gouden Leeuw (Singa Emas) yang tiba di Penghu. Pembantaian ini merupakan balas dendam atas kematian teman-teman mereka yang membangun benteng.
De Gouden Leeuw
Tujuan VOC mendirikan basis di Penghu adalah untuk memonopoli perdagangan antara Tiongkok dan Jepang. Hal ini terlihat atas permintaan Gubernur Penghu VOC Martinus Sonck. Saat itu Tiongkok berada di bawah kekuasaan Dinasti Ming dan gubernur Fujian adalah Shang Zhouzuo (Shang Chou-tso). Gubernur Martinus Sonck meminta Gubernur Shang membuka pelabuhan Fujian kepada Belanda, mengalihkan monopoli komersial kepada VOC, dan mengusir Portugis dari Makau. Jika ketiga hal tersebut ditolak, Belanda akan menyerbu Fujian. Kali ini Belanda mendapat lawan tangguh karena Tiongkok tidak mudah ditekuk. Gubernur Shang dengan tegas menolak, dengan mengatakan: “Kami tidak dapat mengorbankan semua mitra bisnis yang telah kami kenal sejak lama hanya untuk Anda.” Selain itu, Gubernur Shang dengan tegas meminta Belanda segera pergi karena Penghu dan Taiwan merupakan wilayah Tiongkok. Jika tidak, Tiongkok akan memaksa mereka untuk mundur. Perang antara Tiongkok dan Belanda dimulai pada tahun 1622-1661. Tanggapan Belanda adalah dengan menyerang Xiamen pada tanggal 19 September 1622. Namun Kolonel Li-Kung-hwa dari pasukan Ming telah siap dengan barisan meriam di tepi pantai agar serangan Belanda dapat dikalahkan. Enam kapal Belanda ditenggelamkan, sisanya mundur. Pada saat yang sama, Christian Francs, komandan militer Belanda, adalah seorang tahanan yang terungkap di hadapan Kaisar Chongzhen dan rakyat Beijing sebelum dia dieksekusi.
Gubernur Shang mempersiapkan serangan balik pada bulan Juli 1623. Jenderal Wang Meng-xiong, di bawah komando 50 kapal perang dan 5.000 tentara, menyerang Penghu dan mengepung benteng Belanda di Fengui Shetoushan di Makung. Pertempuran itu tidak berlangsung lama; mendapati dirinya kalah jumlah dan dikepung dengan ketat. Gubernur VOC Martinus Sonck segera menyerah dan mundur ke Batavia.
Koloni Belanda, 1624 – 1661
Pada tahun 1624, Belanda kembali, kali ini mendarat di Tainan, Taiwan dan membangun Benteng Zeelandia di kawasan Anping. Taiwan kemudian mencoba menguasai pulau itu, menyingkirkan Spanyol. Belanda berinisiatif menyerang kubu Spanyol Santo Domingo di wilayah Tamsui pada tahun 1630. Namun Spanyol terlalu kuat sehingga Belanda berhasil dipukul mundur.
Benteng Santo Domingo
Belanda kembali mengulangi serangannya pada tahun 1641, dimana pada saat itu Spanyol sedang sibuk berperang untuk mengatasi perlawanan penduduk asli Filipina, sehingga Benteng Santo Domingo tidak dapat dipertahankan ketika pasukannya ditarik ke Filipina. Belanda dengan mudah mengambil alih koloni Spanyol di Formosa dan kemudian menjadi penguasa tunggal Taiwan selama 2 dekade. Setelah Belanda menguasai Taiwan, mereka membentuk pemerintahan Formosa, dengan Gouverneur van Formosa dan Martinus Sonck ditunjuk sebagai gubernur pertama. Kebijakan mengkonversi penduduk asli dan komunitas Han-Cina kemudian diterapkan, yang mencapai pantai, membawa misionaris ke sana. Reaksi komunitas Tionghoa Han terhadap upaya konversi ini umumnya baik. Artinya perlawanan tanpa kekerasan berbentuk ketidakpedulian, ketidaktahuan, dan sebagainya. Respons seperti ini sering disalah artikan sebagai kurangnya perlawanan, sehingga Belanda tidak melihatnya sebagai perlawanan.
Selain itu, Belanda sangat membutuhkan orang Tionghoa Han untuk menggerakkan roda perekonomian Taiwan, dan kebutuhan ini mendesak karena dukungan finansial merupakan faktor perlindungan yang sangat penting. Alhasil, tekanan masyarakat Han untuk masuk Kristen tidak menimbulkan konflik berarti. Kisah Taiwan jauh berbeda. Upaya untuk masuk Kristen dianggap sebagai ancaman serius, yang ditanggapi dengan perlawanan bersenjata. Klimaksnya tercapai ketika sekelompok misionaris Belanda yang dipimpin oleh Daniel Hendrick dibantai karena apa yang mereka yakini sebagai pelanggaran agama, termasuk penodaan tempat suci penduduk asli. Belanda membalasnya dengan operasi militer. Belum ada informasi resmi mengenai jumlah penduduk asli yang menjadi korban. Satu hal yang pasti, angka kematian pasti tinggi. Misalnya saja penduduk asli Pulau Liuqiu yang kini dikenal dengan nama Liuqiu Kecil, Xiaoliuqiu, sebuah pulau wisata di Taiwan selatan. Pulau ini berukuran hampir sama dengan Pulau We di lepas pantai Banda Aceh. Seluruh penduduk asli Liuqiu dibantai pada tahun 1642 oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Francois Caron.
Si Kecil Liuqiu (Xiaoliuqiu)
Senasib dengan Nusantara
Di sini penulis berspekulasi, karena belum mendapatkan bukti yang meyakinkan dan meyakinkan. Bahwa masyarakat adat Taiwan mengalami nasib yang sama dengan masyarakat adat kepulauan Indonesia di bawah VOC, yaitu depopulasi akibat pembunuhan massal dan perbudakan. Karl Marx adalah ilmuwan sosial Eropa pertama dan mungkin satu-satunya pada saat itu yang secara terbuka mengkritik kekejaman VOC di kepulauan Indonesia. Marx menulis bahwa di mana pun VOC memasuki nusantara, terjadi kehancuran dan depopulasi yang parah. Misalnya politik Jan Pieterzoon Coen di Bandasaar. Pada tahun 1609, ketika Belanda mendarat di Banda, terdapat 15.000 penduduk asli. Pada tahun 1621, penduduk asli dilaporkan hanya berjumlah 1.000 orang.Nasib sekitar 14.000 orang adalah mereka yang melawan disiksa dan dibunuh, sedangkan mereka yang menyerah diperbudak. VOC menyewa samurai dari Jepang untuk memenggal kepala pemimpin penentang Banda.
Pembantaian di Banda
(Sumber gambar Bandanese Massacre, 1621)
Artinya kepulauan Indonesia juga mempunyai perbudakan serupa dengan Afrika. Para penculiknya terorganisir dengan baik. Orang-orang yang diculik ditempatkan di penjara khusus dan kemudian diangkut dengan kapal. Mereka mungkin dikirim ke berbagai pemukiman Belanda di seluruh dunia. Digunakan di perkebunan masyarakat. Tunjukkan peta Kerajaan Belanda.
Beginilah orang Belanda menjadi kaya, tidak hanya dengan rempah-rempah yang keuntungannya 500%, seperti yang selalu kita dengar di sekolah. Tapi juga dari penjualan budak. Dalam Bagian I Das Kapital, Marx menulis:
…………………Nothing is more characteristic than the Dutch system of stealing men to get slaves from Java. The men stealers were trained for this purpose. The thief, the interpreter, and the seller, were the chief agents in this trade, native princes the chief sellers. The young people stolen, were thrown into the secret dungeons until they were ready for sending to the slave-ships.……………
Macassar is full of prisons, one more horrible than the other, crammed with unfortunates, victims of greed and tyranny fettered in chains, forcibly torn from their families.…………..
Wherever the Dutch set foot, devastation and depopulation followed. Banjuwangi, a town in east Java, in 1750 numbered over 80,000 inhabitants, in 1811 only 18,000….
Perbudakan di Nusantara
Dengan demikian, besar kemungkinan nasib masyarakat adat Taiwan akan sama dengan nasib masyarakat adat nusantara. Yang melawan langsung dibunuh, yang menyerah dijadikan budak untuk keperluan wilayah jajahan VOC atau diperjualbelikan di pasar budak. Meskipun penduduk asli melakukan perlawanan dalam bentuk beberapa serangan balik, namun serangan tersebut hanya bersifat sporadis dan terbatas. Satu-satunya perlawanan besar adalah Peristiwa Hamada Yahei pada tahun 1648, yang menewaskan 20 tentara Belanda oleh penduduk asli. Satu-satunya masyarakat adat yang selamat dari permusuhan adalah kelompok-kelompok kecil yang terdesak ke pegunungan. Informasi yang tercatat dalam dokumen VOC karya Gouverneur van Formosa tahun 1650 menyebutkan terdapat 315 desa adat dengan jumlah penduduk 68.600 jiwa.
“…315 tribal villages with a total population of around 68,600”
Sebaliknya, masyarakat Tionghoa Han yang biasanya tinggal di kota-kota pesisir jauh lebih beruntung. Meskipun Belanda memusuhi pemerintah Tiongkok dan masyarakat Tionghoa Han tidak bersahabat dengan Belanda. Namun Belanda sangat membutuhkan mereka untuk bekerja di industri, perkebunan dan untuk menghidupkan kembali bisnis Taiwan saat itu. Hasilnya, komunitas Tionghoa Han di Taiwan berkembang pesat. Salah satu alasan utamanya adalah kebijakan Belanda yang mengimpor pekerja Han Cina, terutama orang Hokkian, untuk mengembangkan perekonomian Taiwan.
Serangan Balik Ming
Belanda melangkah lebih jauh. Laksamana Hans Putmans berusaha menguasai Selat Taiwan dengan bantuan bajak laut, yaitu dengan mengumpulkan “upeti”; Kapal dagang milik pengusaha Cina di Fujian. Tindakan ini membuat Gubernur Fujian sangat marah. Dalam suratnya kepada Beijing, Gubernur Fujian meminta bantuan keuangan untuk operasi militer membersihkan Selat Taiwan dari “bajak laut pirang dan barbar”. Pada tahun 1643, Laksamana Zheng Zhilong (鄭芝龍) menyisir Selat Taiwan dan menemukan armada Laksamana Hans Putman sedang berlabuh di Teluk Liaoluo. Zheng Zhilong (鄭芝龍) mengawasi armada tersebut dan melihat 8 kapal Belanda dan sekitar 30 kapal bajak laut.
Zheng Zhilong (鄭芝龍) memerintahkan anak buahnya fokus menyerang delapan kapal Belanda. Broeckerhaven, Slooterdijck, Wieringen, Perdam, Zeeburg, Koudekerke, Zalm dan Bleiswijk dan mengabaikan bajak laut lokal. Armada Mingpun segera mulai menyerang delapan kapal Belanda. Pertempuran sengit pun terjadi, namun pada akhirnya kedelapan kapal Belanda tersebut terbakar dan tenggelam atau rusak parah. Tentu saja hal ini merupakan kerugian besar bagi VOC.
Pertempuran Teluk Liaoluo
Hans Putmans berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke Batavia. Kekalahan di Liaolu tak hanya mengakhiri upaya VOC menguasai Selat Taiwan. Namun hal itu juga membatasi pergerakan VOC di Asia Timur. Setelah kekalahan Liaoluo, Gubernur Jenderal Batavia saat itu Hendrik Brouwer memerintahkan untuk menghindari seluruh pelabuhan Tiongkok. Bagi Dinasti Ming, kemenangan Liaolu mengukuhkan kekuatan laut dalam mempertahankan kedaulatan Ming di Laut Cina Timur dan Selatan. Konsep Dinasti Ming ini bertahan hingga saat ini. Namun invasi mematikan Dinasti Ming baru terjadi pada tahun 1661. Saat itu, armada Ming yang terdiri dari sekitar 200 kapal dan 10.000 tentara mendarat di Tainan dan menyerang benteng Zeelandia. Serangan ini dipimpin oleh Zhèng Chénggōng (鄭成务), yang dikenal sebagai Pangeran Yanping, putra Laksamana Zheng Zhilong. Di Barat, ia dikenal sebagai Koxinga.
Jatuhnya Fort Zeelandia
Belanda Menyerah
Orang Taiwan sepenuhnya menerima dan mendukung Zhèng Chénggōng (鄭成功), yang melihat invasi tersebut sebagai kesempatan untuk membalas dendam. Penduduk asli juga mengerahkan tentara untuk bergabung dengan pasukan Dinasti Ming di Benteng Zeelandia. Selain penduduk asli, komunitas Tionghoa Han yang tinggal di Taiwan juga ikut berperang melawan Belanda. Artikel Miles Bryan di bawah menyatakan bahwa Jenderal Thomas Pedel dan tentaranya meninggalkan Benteng Zeelandia untuk berperang melawan Zhèng Chénggōng (鄭成功). Thomas Pedel harus menghadapi gabungan kelompok Tionghoa Han yang menetap di Taiwan. Merekalah yang berperang melawan tentara yang dipimpin Jenderal Thomas Pedel.
Gabungan tentara Ming dan penduduk asli Taiwan mengepung Benteng Zeeland dan membombardir Benteng Belanda dengan bola meriam. Pertempuran sengit pun terjadi dan tentara Belanda bertahan mati-matian. Namun pada akhirnya Belanda kehabisan amunisi, makanan, air dan obat-obatan. Karena armada Zhèng Chénggōng (鄭成务) menerapkan blokade penuh dan menenggelamkan atau menangkap kapal yang membawa bantuan logistik ke koloni Belanda Dejima di Jepang. Akhirnya Gubernur VOC Frederick Coyett memutuskan untuk menyerah dan meninggalkan wilayah Tiongkok sepenuhnya. Jatuhnya Benteng Zeelandia merupakan kejutan bagi Belanda. Bagaimana negara terbelakang dengan teknologi canggih bisa mengalahkan kekuatan militer Barat? Apalagi negara terbelakang ini mengalahkan Belanda di Xiamen pada tahun 1622, di Penghu pada tahun 1623, di Liaoluo pada tahun 1643, dan kini pada tahun 1661 mereka menaklukkan benteng Zeelandia yang dilengkapi dengan senjata yang sempurna dan unggul. Secara teknis.
Untuk pertama kalinya, kekuatan teknologi tinggi Eropa mengalahkan negara Asia. (Catatan: The battle of Tsushima saat Jepang mengalahkan Russia terjadi pada tanggal 27–28 Mei 1905).
Van Groesen menulis bahwa kekalahan ini dirasakan oleh Belanda sebagai “national disgrace” untuk waktu yang lama.
Setelah Taiwan lepas; koloni-koloni Belanda lainnya menyusul lepas satu demi satu. Dimulai dengan Brazil tahun 1654 karena Belanda kalah melawan Portugis. New Netherlands di Amerika yang mencakup New York, Delaware, New Jersey, and Connecticut direbut Inggris pada tanggal 29 September 1664. Setelah itu menyusul Afrika Selatan, India dan Sri Lanka yang jatuh ketangan Inggris melalui Anglo – Dutch Treaty.
Koloni Dejima, sebuah pulau di lepas pantai Nagasaki ditinggalkan Belanda tahun 1858 pada saat Treaty Kanagawa berakhir. Malacca termasuk yang lama dikuasai Belanda yaitu 184 tahun (1641–1825) lepas karena Kesultanan Johor tidak bersedia memperpanjang Kesepakatan. Selain itu juga Belanda berpikir bahwa jauh lebih menguntungkan Batavia daripada Malacca.
Kepulauan Nusantara adalah paling lama dibawah kekuasaan Belanda yaitu 346 tahun (1595 – 1941). Akhirnya lepas melalui perundingan yang rumit dan panjang. Karena campur tangan AS; Belanda akhirnya melepaskannya dengan ganti rugi yang besar.
Hari ini sisa kejayaan the Dutch Empire hanya tinggal the Netherland Antilles, sebuah negara kepulauan di Karibia, yang masih tetap dipertahankan sebagai bagian dari Kerajaan Belanda.
Kerajaan Maritim Tungning
Kemenangan Zhèng Chénggōng (鄭成功) ini bersamaan dengan peralihan kekuasaan di China Daratan. Dimana dinasti Ming digantikan oleh dinasti Qing. Sebagai loyalis Ming Zhèng Chénggōng (鄭成功) memilih menetap di Taiwan dan mendirikan kerajaan maritim Tungning (東寧國) yang merupakan sebuah dinasti China Han yaitu dinasti Zheng. Taiwanpun memasuki masa damai. Kehadiran masyarakat China Han makin dominan dan sinifikasi budaya makin kuat serta dalam.
Sekaligus untuk penduduk asli. Proses depopulasi pada masa Belanda kini terhenti total. Mereka tumbuh sedikit demi sedikit untuk berkembang kembali Pada tahun 1683, Dinasti Qing mengalahkan Kerajaan Tungning. Status administratif Taiwan diubah menjadi provinsi Tiongkok. Kondisi tersebut masih dipertahankan hingga saat ini. Bahkan saat ini, di tengah konflik ROC vs China. Satu hal yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah bahwa Taiwan adalah provinsi Tiongkok, bukan sebuah negara. Inilah alasan utama mengapa Selat Taiwan tetap damai meski di tengah konflik. Lalu mengapa? Bukankah pemerintah Taipei adalah Republik Tiongkok? Deklarasi kemerdekaan hanya berarti akhir dari kisah Republik Tiongkok dengan Kuomintang. Mereka menjadi Republik Taiwan dan Partai Nasional Taiwan. Sebuah pulau di lepas pantai Fujian. Di luar itu, jalur pulang ke daratan Tiongkok ditutup total.
Jadi jalan yang paling rasional dan strategis adalah rekonsiliasi karena membuka pintu untuk kembali ke Tiongkok Daratan. Sayangnya harus diakui bahwa yang rasional selalu menjadi minoritas, bukan? Kembali ke pertanyaan utama, lebih dari dua ratus tahun pemerintahan Ming, yang kemudian dilanjutkan oleh Qing. Taiwan hidup dengan tenang dan damai. Penduduk asli Taiwan secara bertahap pulih dan berkembang.
Koloni Jepang, 1895 – 1945
Pada tahun 1895 Taiwan jatuh ketangan Jepang melalui perjanjian Shimonoseki dan Taiwanpun menjadi koloni Jepang yang pertama.
Sōtokufu, Kantor Gubernur Jendral Jepang di Taiwan, menetapkan klasifikasi kependudukan yaitu berbudaya, semi-berbudaya dan tidak berbudaya.
Komunitas China Han dan sebagian penduduk asli yang telah menikmati pendidikan masuk kategori berbudaya dan semi berbudaya artinya mereka diakui sebagai warga Taiwan dan dilindungi hukum Jepang.
Sedangkan para penduduk asli yang tinggal di gunung-gunung masuk klasifikasi tidak berbudaya. Artinya, sekalipun secara biologis mereka manusia namun secara budaya mereka sama dengan binatang. Dengan demikian mereka bukan warga Taiwan dan tidak memiliki tanah. Seluruh hutan dan tanah adalah milik Kekaisaran Jepang.
Hasilnya, ia menghabiskan 50 tahun sebagai koloni Jepang. Sering terjadi konflik dengan penduduk asli. Penyebabnya adalah sengketa lahan dan monopoli penjualan hasil hutan yang menjadi pendapatan masyarakat Taiwan. Konflik terbesar adalah Perang Truk pada tahun 1941. Perang tersebut terjadi di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Hualien.
Dalam perang ini tentara Jepang melawan komunitas Truku, yang terdiri dari 35 desa dengan total penduduk sekitar 15,000 orang.
Pejuang Truku
Pasukan Jepang
Gubernur Jendral Taiwan Sakuma Samata mengerahkan 20,000 tentara untuk melawan para pejuang Truku. Para pejuang Truku melawan dengan sengit yang mengakibatkan sekitar 2,300 tentara Jepang gugur dan luka-luka, termasuk Gubernur Jendral Sakuma Samata yang mengalami luka-luka yang serius. Namun pada akhirnya suku Truku harus mengakui keunggulan Jepang.
Dibawah pendudukan Jepang terjadi beberapa kali konflik berdarah dengan penduduk asli. Tercatat sekitar 50,000 jiwa pribumi Taiwan menjadi korban.
Kembali ke Republik China
Dalam bulan Oktober tahun 1945 Taiwan dikembalikan oleh Jepang kepada Republik China. Dibawah pemerintahan Republik China pada tahun 1947 terjadi konflik antara pribumi Taiwan dengan pemerintah masalah monopoli penjualan tembakau. Demonstrasi menjadi rusuh dan pemerintah menyelesaikannya secara militer sehingga sekitar 28,000 jiwa pribumi Taiwan melayang.
Pada tanggal 1 Agustus 2016 presiden Tsai Ing-wen secara terbuka meminta maaf kepada penduduk asli Taiwan atas pembantaian 1947. Dalam pidato presiden meminta maaf dan berjanji mengakhiri “pain and mistreatment,” yang dialami oleh penduduk asli Taiwan.
President Tsai Ing-wen of Taiwan offered a formal apology on Monday to aboriginal peoples for centuries of “pain and mistreatment,” and she promised to take concrete steps to rectify a history of injustice.
Penutup
Boleh dikatakan, warisan Belanda di Taiwan yang bisa dilihat dan dirasakan sampai hari ini. Selain benteng kuno yang menjadi obyek wisata. Adalah merubah keseimbangan populasi Taiwan dari sebuah pulau yang dipenuhi dengan komunitas penduduk asli. Menjadi sebuah pulau dimana komunitas China Han dominan. Kehadiran kerajaan Tungning dan Qing memperkuat dan memperdalam proses tsb.
Penduduk Taiwan telah mengalami perjalanan yang panjang, menyakitkan dan berdarah. Kini dibawah pemerintah Taipei, semoga mereka dapat hidup dengan tenang, aman dan sejahtera. Semoga mereka dapat tumbuh dan berkembang layaknya warga Taiwan yang lainnya.
Sumber:
Siege of Fort Zeelandia – Wikipedia
One of Koxinga’s armored soldiers. On 23 March 1661, Koxinga’s fleet set sail from Kinmen (Quemoy) with hundreds of junks of various sizes, with roughly 25,000 soldiers and sailors aboard. They arrived at Penghu the next day. On 30 March, a small garrison was left at Penghu while the main body of the fleet left and arrived at Tayoan on 2 April. On Baxemboy Island in the Bay of Taiwan, unrelated to the siege, 2,000 Chinese individuals attacked 240 Dutch musketeers, routing them. [7] After passing through a shallow waterway unknown to the Dutch, they landed at the bay of Lakjemuyse [ zh ] . [17] Three Dutch ships attacked the Chinese junks and destroyed several until their main warship, the Hector , exploded due to a cannon firing near its gunpowder supply. The remaining two ships consisted of a yacht and a lesser warship, which could not keep Koxinga from controlling the waters around Taiwan. [10] No further opposition was for the time encountered. The remainder of Koxinga’s men safely landed and built earthworks overlooking the plain. Some were armed with bows and arrows hanging down their backs; others had nothing save a shield on the left arm and a good sword in the right hand; while many wielded with both hands a formidable battle-sword fixed to a stick half the length of a man. Everyone was protected over the upper part of the body with a coat of iron scales, fitting below one another like the slates of a roof; the arms and legs being left bare. This afforded complete protection from rifle bullets and yet left ample freedom to move, as those coats only reached down to the knees and were very flexible at all the joints. The archers formed Koxinga’s best troops, and much depended on them, for even at a distance they contrived to handle their weapons with so great skill that they very nearly eclipsed the riflemen. The shield bearers were used instead of cavalry. Every tenth man of them is a leader, who takes charge of, and presses his men on, to force themselves into the ranks of the enemy. With bent heads and their bodies hidden behind the shields, they try to break through the opposing ranks with such fury and dauntless courage as if each one had still a spare body left at home. They continually press onwards, notwithstanding many are shot down; not stopping to consider, but ever rushing forward like mad dogs, not even looking round to see whether they are followed by their comrades or not. Those with the sword-sticks—called soapknives by the Hollanders—render the same service as our lancers in preventing all breaking through of the enemy, and in this way establishing perfect order in the ranks; but when the enemy has been thrown into disorder, the Sword-bearers follow this up with fearful massacre amongst the fugitives. Koxinga was abundantly provided with cannons and ammunition . . He had also two companies of ‘Black-boys,’ many of whom had been Dutch slaves and had learned the use of the rifle and musket-arms. These caused much harm during
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Siege_of_Fort_Zeelandia
.
Taiwan’s President Apologizes to Aborigines for Centuries of Injustice
“We must tell the truth,” President Tsai Ing-wen said. “And then, most importantly, the government must genuinely reflect on this past.”
https://archive.nytimes.com/www.nytimes.com/2016/08/02/world/asia/taiwan-aborigines-tsai-apology.html
The dark history of slavery and racism in Indonesia during the Dutch colonial period
Slave trading was widely carried out during the Dutch colonial period in Indonesia. Widespread racism and slavery occurred in plantations managed by colonial companies.
https://theconversation.com/the-dark-history-of-slavery-and-racism-in-indonesia-during-the-dutch-colonial-period-141457
Sino-Dutch conflicts – Wikipedia
The Sino-Dutch conflicts were a series of conflicts between the Ming dynasty (and later its rump successor the Southern Ming dynasty and the Ming loyalist Kingdom of Tungning ) of China and the Dutch East India Company over trade and land throughout the 1620s, 1630s, and 1662. The Dutch were attempting to compel China to accede to their trade demands, but the Chinese defeated the Dutch forces. Sino-Dutch conflicts [ edit ] The Dutch East India Company used their military power in the attempt to force China to open up a port in Fujian to their trade. They demanded that China expel the Portuguese from Macau . (The Dutch were fighting in the Dutch–Portuguese War at the time.) The Dutch raided Chinese shipping after 1618 and took junks hostage to coerce China into meeting their demands. All these actions were unsuccessful. [1] [2] [3] The Dutch were defeated by the Portuguese at the Battle of Macau in 1622. That same year, the Dutch seized Penghu (the Pescadores Islands), built a fort there, and continued to demand that China open up ports in Fujian to Dutch trade. China refused, with the Chinese governor of Fujian (Fukien) Shang Zhouzuo (Shang Chou-tso) demanding that the Dutch withdraw from the Pescadores to Formosa (Taiwan), where the Chinese would permit them to engage in trade. This led to a war between the Dutch and China between 1622 and 1624 which ended with the Chinese being successful in making the Dutch withdraw to Taiwan and abandoning the Pescadores. [4] [5] The Dutch threatened that China would face Dutch raids on Chinese ports and shipping unless the Chinese allowed trading on Penghu and that China not trade with Manila but only with the Dutch in Batavia and Siam and Cambodia . However, the Dutch found out that unlike smaller Southeast Asian kingdoms, China could not be bullied or intimidated by them. After Shang ordered them to withdraw to Taiwan on September 19 of 1622, the Dutch raided Amoy on October and November. [6] The Dutch intended to “induce the Chinese to trade by force or from fear” by raiding Fujian and Chinese shipping from the Pescadores. [7] Long artillery batteries were erected at Amoy in March 1622 by Colonel Li Gonghua as a defence against the Dutch. [8] On the Dutch attempt in 1623 to force China to open up a port, five Dutch ships were sent to Liu-ao and the mission ended in failure for the Dutch, with a number of Dutch sailors taken prisoner and one of their ships lost. In response to the Dutch using captured Chinese for forced labor and strengthening their garrison in Penghu with five more ships in addition to the six already there, the new governor of Fujian Nan Juyi (Nan Chü-yi) was permitted by China to begin preparations to attack the Dutch forces in July 1623. A Dutch raid was defeated by the Chinese at Amoy in October 1623, with the Chinese taking the Dutch commander Christian Francs prisoner and burning one of the four Dutch ships. Yu Zigao began an offensive in February 1624 with warships and troops again
https://en.wikipedia.org/wiki/Sino-Dutch_conflicts
Davidson, James W. (1903). The Island of Formosa Past and Present. London and New York: Macmillan & co. OL 6931635M.
In the days of the Dutch – Taiwan Today
Taiwan might easily have become a colony but didn’t because of the immigration of hard-working, land-hungry farmers from the mainland and the military competence of Cheng Cheng-kung. Taiwan could ea…
https://taiwantoday.tw/news.php?unit=20%2C20%2C29%2C35%2C35%2C45&post=25894
Taiwanese indigenous peoples – Wikipedia
Indigenous peoples of Taiwan Taiwanese indigenous peoples , also known as Formosans , Native Taiwanese , Austronesian Taiwanese , [2] [3] Yuanzhumin or Gaoshan people , [4] and formerly as Taiwanese aborigines , are the indigenous peoples of Taiwan , with the nationally recognized subgroups numbering about 569,000 or 2.38% of the island ‘s population. This total is increased to more than 800,000 if the indigenous peoples of the plains in Taiwan are included, pending future official recognition. When including those of mixed ancestry, such a number is possibly more than a million. Academic research suggests that their ancestors have been living on Taiwan for approximately 6,500 years. A wide body of evidence suggests that the Taiwanese indigenous peoples had maintained regular trade networks with numerous regional cultures of Southeast Asia before the Han Chinese colonists began settling on the island from the 17th century, at the behest of the Dutch colonial administration and later by successive governments towards the 20th century. [5] [6] Taiwanese indigenous peoples are Austronesians , with linguistic, genetic and cultural ties to other Austronesian peoples. [7] Taiwan is the origin and linguistic homeland of the oceanic Austronesian expansion , whose descendant groups today include the majority of the ethnic groups throughout many parts of East and Southeast Asia as well as Oceania and even Africa which includes Brunei , East Timor , Indonesia , Malaysia , Madagascar , Philippines , Micronesia , Island Melanesia and Polynesia . The Chams and Utsul of contemporary central and southern Vietnam and Hainan respectively are also a part of the Austronesian family. For centuries, Taiwan’s indigenous inhabitants experienced economic competition and military conflict with a series of colonizing newcomers. Centralized government policies designed to foster language shift and cultural assimilation , as well as continued contact with the colonizers through trade, inter-marriage and other intercultural processes, have resulted in varying degrees of language death and loss of original cultural identity . For example, of the approximately 26 known languages of the Taiwanese indigenous peoples – collectively referred to as the Formosan languages – at least ten are now extinct , five are moribund [8] and several are to some degree endangered . These languages are of unique historical significance since most historical linguists consider Taiwan to be the original homeland of the Austronesian language family . [5] Due to discrimination or repression throughout the centuries, the indigenous peoples of Taiwan have experienced economic and social inequality, including a high unemployment rate and substandard education. Some indigenous groups today continue to be unrecognized by the government . Since the early 1980s, many indigenous groups have been actively seeking a higher degree of political self-determination and economic development . [9] The revival of eth
https://en.wikipedia.org/wiki/Taiwanese_indigenous_peoples#:~:text=Taiwanese%20indigenous%20peoples%20are%20Austronesians,Austronesian%20peoples%20in%20the%20region.
International Work Group for Indigenous Affairs
There are 16 officially recognized indigenous peoples in Taiwan. This number excludes the Indigenous Peoples of Pingpu, whom the Government denies official recognition. Since Taiwan is not a member of the United Nations, it has not been able to officially vote on the UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples or to ratify ILO Convention 169. At the national level, the Government of Taiwan recognized certain rights of Indigenous Peoples through the Fundamental Law of Indigenous Peoples (2005), the Education for Indigenous Peoples Law (2004), the State Law for Indigenous Peoples ( 2001) and the Regulation Recognition of Indigenous Peoples (2002). Indigenous Peoples in Taiwan The officially recognised Indigenous population of Taiwan numbers 571,816 people (2019), or 2.42% of the total population. Sixteen distinct Indigenous Peoples are officially recognised. In addition, there are at least 10 Pingpu Indigenous Peoples who are denied official recognition. Most of Taiwan’s Indigenous Peoples originally lived in the central mountains, on the east coast and in the south. However, nowadays nearly half of the Indigenous population lives in the urban areas of the country. The Indigenous Peoples of Taiwan face the erosion of traditional cultures and languages under the pressure of assimilation of the main society, and due to the policy imposed by the state to use Mandarin Chinese. The government ministry known as the Council of Indigenous Peoples (CIP), created in 1996, works to protect the rights and well-being of Indigenous Peoples. Since 1996, the ministry known as the Council of Indigenous Peoples (CIP) works to protect the rights and well-being of Indigenous Peoples. In addition, the Constitution of Taiwan guarantees political representation for Indigenous Peoples, with eight current indigenous legislators of 113 seats (7%) in the national parliament, and indigenous representation is also guaranteed at the local government level for the six main cities and Many municipal councils. Indigenous Peoples operate and operate the Indigenous Television of Taiwan (TITV) and several radio stations under the national network of public media. Main challenges for the Indigenous Peoples of Taiwan One of the main struggles of the Indigenous Peoples in Taiwan is the constant denial of recognition of the indigenous status to the Pingpu ethnic groups, ten groups of Aboriginal peoples of the low plains. Violations of the rights to land and natural resources by commercial, mining and tourism development are other key challenges that Indigenous Peoples still face in their own land. In that sense, several indigenous activists have held a sustained protest centred on the rights to land and the return of traditional territories during 2017. Possible progress for the Indigenous Peoples of Taiwan In 2017, the Taiwanese Parliament approved the enactment of the law “Indigenous Language Development Law”. This law grants official status to indigenous languages, promotes the
https://www.iwgia.org/en/taiwan.html#:~:text=The%20Indigenous%20World%202023%3A%20Taiwan&text=Sixteen%20distinct%20Indigenous%20Peoples%20are%20officially%20recognized%3A%20Amis%20(also%20Pangcah,Kanakanavu%2C%20and%20Hla’alua.
Army Killed Thousands in ’47 Massacre, Taiwan Admits
The Nationalist government in Taiwan has admitted that its army killed an estimated 18,000 to 28,000 native-born Taiwanese in a 1947 massacre.
https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1992-02-24-mn-2041-story.html#:~:text=The%20Nationalist%20government%20in%20Taiwan,the%20older%20generation%20of%20Taiwanese.
Yasukuni Shrine and the Double Genocide of Taiwan’s Indigenous Atayal: new court verdict
Yasukuni Shrine and the Double Genocide of Taiwan’s Indigenous Atayal: new court verdict by Tanaka Nobumasa Who enshrines the dead? A widely held
https://apjjf.org/-Nobumasa-Tanaka/1928/article.html
Taiwan’s President Apologizes to Aborigines for Centuries of Injustice (Published 2016)
“We must tell the truth,” President Tsai Ing-wen said. “And then, most importantly, the government must genuinely reflect on this past.”