Mengapa Taiwan menolak menjadi bagian dari Tiongkok yang sangat makmur?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Sebelumnya, “Tiongkok yang sangat makmur” akan malu melihat Taiwan di sini:
Karena saya bukan orang Taiwan saya tidak dapat mewakili masyarakat sana, yang saya yakini memiliki beragam pandangan kontradiktif tidak hanya antar partai politik saja tapi juga antar masing-masing individu.
Untuk diketahui, tidak mudah bagi masyarakat Taiwan atau tepatnya RoC (Republic of China) secara psikis menerima segala perubahan drastis yang terjadi sejak Perang Sipil 1927–1949 melanda.
Selepas Dinasti Qing, China secara resmi berada di bawah kekuasaan RoC. Tapi sayangnya Perang Sipil muncul dengan upaya kudeta melalui pemberontakan masif dari Partai Komunis dan Tentara Merah. Bermodalkan narasi korupnya pemerintah RoC telah gagal menyejahterakan wong cilik, dukungan petani dan buruh berhasil didapat hingga akhirnya memaksa pemerintahan resmi RoC mengungsi ke pulau kecil bernama Taiwan atau Formosa pada tahun 1949.
Sudah diusir dari rumahnya sendiri oleh pemberontak yang telah berbentuk negara (Tiongkok/PRC), tahun 1971 RoC harus sekali lagi diusir kali ini oleh PBB dan dilarang merepresentasikan nama China di PBB. Lengkaplah rasa kehilangan dan kepedihan untuk yang kesekian kalinya.
Bak bertubi-tubi, datang lagi paksaan agar RoC menyerah dan tunduk saja pada Tiongkok. Pertanyaannya, sanggupkah mental manusia RoC menerima segala kenyataan ini?
Bayangkan kita memiliki sebuah holding perusahaan besar dan holding tersebut direbut oleh seorang anak buah beserta antek-anteknya. Sebagai pendiri dan pemilik, kita terusir dan kini hanya memiliki 1 perusahaan kecil independen bekas subsidiari holding tersebut. Lalu sang holding menginginkan perusahaan kecil kita yang tinggal satu-satunya ini masuk kembali ke dalamnya. Dengan kata lain, si anak buah akan menjadi atasan kita sang mantan pemilik dan pendiri.
Sanggupkah mental manusia normal menghadapi ini? Menjadi bawahan dari mantan anak buah yang dulu menjahatinya? Sebagian besar tentu tidak akan sudi! Alasannya, mending jadi pemilik perusahaan kecil daripada harkat-martabat harus diobral begitu.
Dan begitulah pengandaian jika saya memposisikan diri sebagai orang Taiwan. Tidak ada yang salah atau betul dengan sikap Taiwan tersebut karena bagaimanapun juga kita adalah warga dunia yang netral, bukan warga Taiwan maupun Tiongkok.
Catatan Kaki
[1] Chinese Civil War – Wikipedia
[2] United Nations General Assembly Resolution 2758 – Wikipedia