Menurut teman-teman, benarkah kakak tingkat (misalnya dalam OSIS) menggunakan sindiran/kata-kata kasar untuk membangun mental adik-adiknya?
Waqiah SahiraTeacher
Menurut teman-teman, benarkah kakak tingkat (misalnya dalam OSIS) menggunakan sindiran/kata-kata kasar untuk membangun mental adik-adiknya?
Share
Saya akan menceritakan sebuah pengalaman saya ketika SMA mengikuti sebuah organisasi berorientasi keagamaan.
Ketika SMA kelas 10, peraturan sekolah mewajibkan seluruh siswa dan siswi mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan berhak memilih ekskul yang sesuai dengan passion kami.
Saat itu saya bingung dengan dua pilihan, saya ingin masuk ke ekskul PMR dan Rohis. Saya ingin masuk ke ekskul PMR karena sejak SMP saya sangat suka menolong orang sakit, mengobati orang yang sakit dan menolong orang yang kesusahan. Dan alasan saya ingin masuk Rohis karena saya ingin mempelajari agama islam lebih dalam lagi.
Dan ketika itu saya pun memilih rohis, karena menurut saya dengan mengikuti ekskul tersebut saya bisa mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat.
Kupikir, kegiatan rohis di sekolah ku itu hanya belajar ngaji, mendengarkan kajian, belajar kitab, sholawatan atau yang lainnya. Namun dugaanku salah, mentalku benar-benar terguncang. Meskipun bagiku senioritas seperti ini sudah biasa kuhadapi ketika SMP. Namun tetap saja aku merasa senioritas di organisasi ini lebih parah dari SMP ditambah aku merasa mereka tidak suka padaku.
Di kegiatan tersebut setiap bulan bahkan setiap minggunya setelah belajar kitab oleh pembina dan pembina meninggalkan ruangan, kami di evaluasi oleh mereka dan kami para junior disuruh berdiri di depan kelas, mereka memarahi kami. Kami jawab, dibentak. Tidak dijawab tetap dibentak dengan kata-kata kasar yang sungguh menyayat hati.
Kami disuruh makan dilapangan, dan sebelum makan pun mereka membuat drama dahulu seperti :
mereka menyuruh kami mencari tempat makan tersembunyi, dan tidak boleh ketahuan oleh senior.
Kami bingung, kami berlari. Jika langkah kami lambat dimarahi habis-habisan oleh mereka. Saat itu saya sudah lelah, mata saya sudah berkunang-kunang. Saya ingin bilang ke mereka tapi saya takut. Dan saya pun akhirnya ditarik oleh salah satu teman saya, laki-laki untuk bersembunyi di belakang sekolah supaya tidak ketahuan oleh senior.
Saya menangis. Karena capek hati, pikiran dan fisik. Namun saya berpikir, bukan hanya saya saja yang diperlakukan seperti ini. Semua siswa satu angkatan juga diperlakukan seperti ini. Bahkan ketika kami mau pulang pun kami diintimidasi terlebih dahulu.
Saya bingung kenapa harus ada aturan didikan ekskul seperti ini. Ini seperti menyiksa mental, hati dan fisik para siswa. Bahkan belajar pun kami tidak fokus, karena selalu memikirkan dan mengerjakan tugas yang diberikan senior.
Istirahat kami disita dengan kegiatan “Pengorbanan pita” Maksudnya disini, setiap jam istirahat kami harus mendatangi kakak senior di kelasnya. Kami menyetorkan hafalan berupa surat atau pun yang lain, kadang juga ketika kami mau pengorbanan mereka selalu berbohong bahwa mereka tidak memegang pita. Dan ada satu syarat lagi, kami dipermalukan di depan kelasnya harus menyanyi dan terkadang joget supaya senior dan teman-temannya yang lain di kelasnya terhibur.
Dan apa yang terjadi apabila tidak mendapatkan pita? Kami dihukum dengan visi : “Satu salah, semua salah” kami dijemur di lapangan, push up, dan dimarahin habis-habisan bahkan kami didorong jika kami tidak bisa menjawab mengapa kami tidak bisa mendapatkan pita?
Kesimpulannya seperti ini. Sindiran kata-kata bahkan bentakan dari kakak kelas untuk membangun mental itu menurut saya tidak sepenuhnya dibenarkan? Memang mungkin tujuan mereka supaya mental kami kuat, kami punya attitude, kami sopan, dan kami dapat menghormati mereka. Namun caranya salah, justru dengan didikan mereka yang seperti itu membuat mental kami down, setiap hari bahkan setiap detiknya kami dipenuhi ketakutan, bahkan ada salah satu temanku yang hampir depresi karena kegiatan ekskul ini.
Kami dan kakak senior pun tidak pernah mengobrol dan sharing satu sama lain, karena takut, bukan segan, tapi takut. Takut berkata salah atau melunjak. Dan ujung-ujungnya kami diintimidasi dan dievaluasi.
Alhamdulillah, ketika saya menjadi senior saya tidak menganut senioritas seperti itu. Aturan dan didikan dari kepengurusan angkatan saya mendidik dengan merangkul hangat adik-adiknya dengan mengadakan kegiatan rutin seperti membuat mading tentang keagamaan, bakti sosial, tiap minggu bahkan setiap harinya bersih masjid sekolah, mabit, dan lain-lain. Dan alhamdulillah kami berpartisipasi dengan mereka semua.
Alhamdulillah juga, kami semua dekat. Dan kami tetap saling menghormati satu sama lain.