Saya ingin berbagi pengalaman tentang kasus pembiaran bully oleh guru yang dialami oleh anak saya. Anak kedua saya sedang menjalani masa SD di sebuah sekolah swasta dengan kurikulum Cambridge yang terletak di perumahan di wilayah Jalan Alternatif Cibubur. Perumahan ini terkenal karena memiliki patung sphinx raksasa di gerbang pintu masuknya.
Anak perempuan kedua saya memiliki penampilan yang menonjol di angkatannya. Dia memiliki tubuh yang tinggi, kulit cerah, dan prestasi akademis yang diakui di kelasnya.
Namun, seperti pepatah yang mengatakan “paku menonjol akan segera diketok orang”, dia mengalami serangan dari para pengganggu di kelas 5 SD.
Salah satu yang paling mencolok adalah dua saudara perempuan yang juga sekolah di tempat yang sama. Mereka seangkatan tetapi berada di kelas yang berbeda. Sepertinya mereka cemburu karena ada seorang anak laki-laki yang disukai oleh salah satu dari mereka, tetapi anak laki-laki tersebut tidak pernah memperhatikan mereka. Dan anak laki-laki tersebut kebetulan dekat dengan anak saya.
Cerita ini dimulai ketika suatu hari istri saya dengan wajah yang penuh dengan rasa kesal menceritakan kepada saya.
“Istriku tadi menceritakan bahwa dia sudah menerima surat yang menyerangnya sebanyak 3 kali. Surat-surat tersebut berisi cacian dan hinaan. Yang pertama ditulis di post it dan ditempel di loker. Cacian ini menyebar ke semua anak yang membacanya.”
“Siapa yang mengirim surat kepada istriku?” tanya saya dengan suara yang datar seperti seorang ayah.
“Namanya Karin, anak itu.”
Istri saya terlihat menghela nafas sejenak, sebelum melanjutkan ceritanya.
“Saat membaca pesan di post it, istriku merasa sangat terpukul. Terutama karena dibaca oleh semua orang di kelasnya. Tapi dia hanya diam karena memang tidak suka bertengkar. Tapi karena dia diam, sepertinya Karin semakin menjadi-jadi. Dia mengirim surat lagi dengan cacian yang lebih panjang.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Istriku tetap diam menghadapi surat itu. Tapi sepertinya Karin semakin penasaran. Sekarang dia melibatkan kakaknya yang sudah kelas 2 SMP untuk menyerang bersama melalui surat dan media sosial. Setelah menerima serangan ketiga ini, istriku semakin terpukul dan dia melapor kepadaku semalam.”
“Jadi apa rencanamu?” tanya saya lagi.
“Hari ini aku akan pergi ke sekolah untuk mencari tahu apa masalahnya.”
Dalam pandangan saya sebagai seorang ayah, masalah ini terlihat sederhana, tetapi ternyata tidak berakhir dengan sederhana.
Kemudian malam harinya, istri saya menceritakan dengan gigi gerahamnya yang terkatup keras setiap kali dia mengakhiri kalimatnya.
“Aku sangat marah dengan guru BP di sekolah anak kita.”
“Kenapa?”
“Guru itu membuat Adek menangis tadi siang.”
“Menangis di depan guru?”
“Tidak. Setelah mendengar laporan saya, Adek, Karin, dan kakaknya dipertemukan di ruang guru BP. Di sana mereka diminta untuk saling meminta maaf, dengan Adek harus meminta maaf pertama kepada kedua anak itu. Karena di depan guru, Adek terpaksa meminta maaf duluan, dan setelah itu dia mencariku dan menangis. Dia menangis karena merasa tidak salah tapi dipaksa untuk meminta maaf. Terlihat jelas bahwa Adek sangat kesal dan menangis lama dalam pelukanku.”
“Lalu, apakah kamu mengeluh kepada guru BP?”
“Aku mendatanginya, tetapi yang menyebalkan adalah guru ini malah mengatakan bahwa ada kemungkinan Adek juga melakukan kesalahan yang disembunyikan dari kita. Ketika aku mengejarnya, guru BP hanya mengernyitkan kening dan berbicara tanpa jelas.”
Setelah itu, karena istri saya merasa bahwa sekolah yang mengaku sebagai sekolah bertaraf internasional ini tidak mampu menyelesaikan masalahnya, dia mencoba menghubungi orang tua dari para pengganggu anak saya. Namun, tampaknya orang tua dari para pengganggu ini menghindar untuk bertemu.
Di sisi lain, para pengganggu terus menyerang anak saya melalui media sosial. Mereka tidak peduli bahwa guru BP sudah memanggil mereka, yang sepertinya tidak berniat untuk benar-benar menyelesaikan masalah perundungan ini.
Kemudian, anak saya mengingat masa ini sebagai “bulan-bulan gelap” karena dia memilih untuk menghindari masalah dan bersiap-siap untuk pindah dari sekolah tersebut. Sekolah yang selalu membanggakan diri sebagai yang terbaik di area Cibubur dan menyediakan kelas dari taman kanak-kanak hingga SMA.
“Jadi Adek mau Bunda kayak gimana?”
Ini adalah pertanyaan yang diajukan istri saya kepada anak kami setelah dia mengalami kesulitan dengan guru BP, pihak sekolah, dan tidak berhasil bertemu dengan orang tua para pengganggu anak kami.
“Ibu biarkan saja. Jika Ibu pergi ke sekolah lagi, kedua anak itu akan semakin mengganggu Adek. Jadi sekarang Adek ingin diabaikan, karena Adek hanya menunggu beberapa bulan lagi untuk lulus dari sekolah yang menyebalkan ini.”
Istri saya hanya bisa menghela nafas mendengar kata-kata ini.
“Tapi jika suatu hari Ibu dipanggil oleh guru BP karena Adek memukul Karin, Ibu jangan kaget ya.” Kalimat ini diucapkan dengan tatapan mata yang tajam oleh si Bungsu.
“Tenang, Nak. Jika itu terjadi, Ibu akan membela Adek sepenuh hati.”
Namun, kami bersyukur tidak ada kejadian kekerasan. Setelah dia lulus dari SD, kami segera memindahkannya dan kakaknya dari sekolah yang mengecewakan itu ke sekolah swasta dengan kurikulum internasional yang telah terbukti dalam menghadapi kasus perundungan.
Hingga saat ini, saya masih merasa bersalah telah memasukkan anak-anak kami ke sekolah pertama mereka seperti yang tertulis di atas. Rasa bersalah karena anak bungsu kami selalu mengingat masa SD-nya dengan luka di mata. Luka yang mengotori kenangan masa kecil yang seharusnya penuh dengan tawa. Tawa yang dirampas oleh guru BP yang hanya mencari keamanan, dan dikombinasikan dengan sekolah yang tidak peka terhadap masalah kejiwaan murid-muridnya.