Pada awal karier saya, saya bekerja sebagai teller. Sebagai teller bank, saya pernah mengalami kedua sisi kehidupan: kesusahan dan kebahagiaan. Jika ditanya apa yang membuat saya kesal pada nasabah saat saya bekerja sebagai teller, jawabannya mungkin karena nasabah menjadi ngeyel atau tidak jelas tentang aturan dan prosedur yang berlaku di bank. Misalnya, ketika diberitahu bahwa pengambilan dana memerlukan bukti kepemilikan rekening dan ATM, atau ketika diminta untuk membersihkan uang yang tidak terurus sebelum disetorkan.
Kadang-kadang, pelanggan berpikir lebih tinggi daripada orang lain. Mereka percaya bahwa mereka memiliki hak tertinggi atas dana, dan mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka. Meskipun demikian, si teller diharuskan untuk mematuhi peraturan pekerjaannya dan terkadang tidak memiliki kekuatan lebih untuk memenuhi semua keinginan nasabah. Nasabah sering bertindak arogan pada teller agar keinginannya dipenuhi, kadang-kadang dengan makian dan umpatan. Saya dulu puas dengan hal itu.
Sebagai manusia biasa, tentulah saya pun punya emosi. Jika emosi sudah diubun-ubun, saya memilih menyelinap ke luar ruangan teller untuk minum air dingin. Ya, petugas bank kan tak boleh terbawa emosi untuk ikut-ikutan marah pada nasabah. Saya sendiri berusaha mengingat ucapan atasan saya dulu jika nasabah mungkin marah pada institusi bukan pada kita sebagai pribadi. Jadi saya biarkan saja mereka memaki saya habis-habisan namun aturan tetaplah aturan.
Kunci utamanya ya cuma banyak bersabar. Kalau stok sabar mu tidak maksimal, saya sarankan jangan jadi teller bank. Ditanggung makan hati deh, hahaha.