Agar tidak dianggap salah oleh masyarakat saat saya ingin tinggal bersama laki-laki yang saya cintai, saya ingin menjelaskan bahwa sebagai seorang deist, saya tidak begitu paham tentang apa yang disebut ibadah. Oleh karena itu, bagi saya, menikah bukanlah sebuah ibadah.
Pada awalnya, saya bahkan tidak memiliki keinginan untuk menikah, namun ibu kost saya sering mengatakan bahwa kami membuat tempat kost mereka menjadi “leteh” (kotor). Akhirnya, kami menikah dengan cara yang sederhana, yaitu dengan adat Bali dan menggunakan banten byakaon. Meskipun mirip dengan nikah siri dalam agama Muslim, pernikahan kami sah secara agama namun tidak memiliki surat resmi.
Kemudian, orang tua saya mengatakan bahwa tidak baik menikah tanpa surat-surat resmi. Akhirnya, ayah saya mendaftarkan pernikahan kami ke Kantor Urusan Agama (KUA). Suami saya juga melakukan sunat dan mengucapkan syahadat agar mendapatkan sertifikat log-in, baru kemudian dilakukan ijab kabul. Dengan demikian, kami memiliki Buku Nikah resmi sejak tahun 1998.
Lima tahun kemudian, orang tua suami meminta kami untuk melangsungkan pernikahan adat Bali yang lengkap. Saya melakukan ritual Suddhi Widani agar dapat beragama Hindu (sesuai persyaratan negara kita yang mewajibkan pernikahan dalam satu agama). Kami juga melaksanakan semua ritual pernikahan secara lengkap. Akhirnya, kami mendapatkan Akta Pernikahan Hindu pada tahun 2003.
Jadi, saya telah menikah sebanyak 3 kali. Namun, dengan orang yang sama, hehehe!! Dan untuk menjawab pertanyaan di atas, tujuan saya menikah jelas bukan untuk ibadah, melainkan untuk membuat orang-orang yang suka mencampuri urusan orang lain diam.