Sebuah percakapan yang saya lakukan dengan seorang senior dalam bidang telekomunikasi sekitar lima belas tahun yang lalu membuat saya terkesan.
“Kalau membangun tim yang hebat dari sekumpulan orang yang hebat, itu mah biasa-biasa aja. Tapi yang jago adalah kalau bisa ngebangun tim yang hebat dari sekumpulan orang yang biasa-biasa aja.”
Perkataan itu membuat saya tercenung sebentar. Saya baru mulai membangun tim saat itu. Melihat tim saya harus terus dimotivasi dan diarahkan untuk setiap langkah mereka selalu membuat saya tidak puas.
Tapi obrolan itu menyadarkan saya. Bahwa team yang saya pimpin bukan MU, Real Madrid ataupun Barcelona bila dianalogikan sebagai team sepak bola. Team kami hanyalah model team papan bawah yang pemainnya sudah merasa beruntung bisa mendapatkan gaji di tiap bulannya.
Jadi sebagai coach saya tak mendudukkan diri seperti Ferguson ataupun Guardiola. Karena sebagai pelatih tim yang dipenuhi taburan pemain bintang, tugas mereka tinggal membuat coretan di papan tulis dan semua pemain akan memahami dan dengan cekatan mengeksekusi bola sesuai dengan keinginan pelatihnya. Hal ini yang di dunia korporasi Indonesia mungkin dilakukan oleh Astra, Telkom, Sinar Mas dan berbagai macam raksasa korporasi lainnya.
Sebagai coach kelas tim kelas tarkam mungkin saya akan mencontoh gaya pendekatan Ranieri saat awal dia melatih Leicester City (Harap diingat, ini adalah satu musim ketika mereka bisa menjadi juara Liga Inggris, dan bukan sesudahnya).
Pendekatan Ranieri adalah sederhana. Mereka tak pernah memikirkan untuk menjadi juara. Mereka mencoba bermain secara komunal dan menampilkan sisi terbaik tiap individunya. Dan yang paling utama menikmati permainan dari satu pertandingan ke pertandingan yang lainnya. Bermain secara lepas karena tak pernah ada satupun orang yang berpikir mereka HARUS menjadi juara.
Dengan pendekatan ini saya mencoba membentuk team saya yang nyaris semuanya terdiri dari orang biasa-biasa saja. Tak ada lulusan luar negeri maupun jebolan 4 besar universitas negeri. Semua adalah manusia dengan emblem biasa seperti saya dan (mungkin) anda.
Kultur yang saya bangun adalah kultur komunal atau kekeluargaan dalam bahasa sederhananya. Komunalitas diperlukan karena kami tak mempunyai pemain bintang model Ronaldo ataupun Messi yang bisa bergerak sendiri tanpa bermacam-macam instruksi.
Berbeda dengan perusahaan hebat yang memiliki pemain yang bisa sendirian membawa bola dari tengah lapangan ke muka gawang, kami mengandalkan kultur komunal untuk mengalirkan bola dari kaki ke kaki supaya bisa diteruskan ke muka gawang.
Tentu saja ada hal penting yang diperlukan sebagai dasar kultur komunalitas tersebut. Dua hal penting yaitu kesejahteraan dan penghormatan pribadi. Untuk kesejahteraan, kami semua mencoba menempatkan pendapatan dalam pola yang seimbang. Tak ada yang terlalu kaya ataupun terlalu kekurangan. Mungkin agak mirip dengan sosialisme, saat pembagian merata, tapi tentu disesuaikan dengan kinerja.
Hal kedua terpenting adalah penghormatan. Di dalam kultur komunal tersebut, penghormatan terhadap individu adalah hal yang WAJIB. Tak ada atasan yang bisa memarahi atapun menegur anak buahnya dengan kalimat (yang bernada) menghinakan. Hal ini juga terjadi saat mereka memberikan penugasan. Tone kata harus bisa dijaga bahwa penugasan dilakukan dengan disertai oleh bimbingan.
Memang tak mudah, karena jauh dari kultur militeristik yang dingin dan jelas terlihat.
Tetapi ketika kultur komunal ini digabungkan dengan visi “Getting Things Done” (Coba baca buku “Execution: The Discipline of Getting Things Done” by Ram Charan), maka hasilnya lumayan terlihat (setidaknya) di perusahaan saya.
Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah orang yang meninggalkan perusahaan kami telah sangat rendah, dan kinerja kami sangat stabil untuk perusahaan menengah.
Jadi, kembali ke pertanyaan awal, bagaimana cara menghasilkan karyawan yang bersemangat? Jawaban saya adalah bangun perut (pendapatan) dan menjaga martabat mereka. Banyak orang biasa akan dapat menunjukkan potensi terbaik mereka jika kedua hal itu dijaga.