Saya selalu skeptis, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di media Barat, Tiongkok, dll.
Jurnalisme sebenarnya memiliki tujuan yang sederhana dan mulia: memberikan informasi yang objektif dan sebagian berimbang.
Meskipun visi perusahaan media massa mungkin bersifat nasionalis atau religius, ada etika universal untuk mewartakan konten apa pun. Ini berlaku untuk semua jurnalis, wartawan, editor, dan redaksi.
Saya kutip infografis beritatagar yang ditampilkan di lokadata(dot)id:
Ada 3 poin penting dari situ:
- Independensi (tidak ada intervensi pihak-pihak berkepentingan tertentu),
- Profesionalisme (misalnya bukan wartawan bodrex/amplop), dan
- Kebenaran (bukan hoax atau diragukan sumbernya).
Dalam ringkasan bahasa Inggris pun kurang lebih sama ya:
Apa hubungannya dengan sikap skeptis saya?
kurang percaya; ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dan sebagainya).
Meragukan bukan berarti saya menolak buta (karena bias emosi/afiliasi agama/politik pribadi saya misalnya), tapi minimal selalu mempertanyakan entah motivasi/data/sumber beritanya, dsb.
Sama seperti kamu membaca jawaban teman-teman di Quora: kredensial ybs apa, pengalamannya bagaimana di bidang itu, sumber datanya bagaimana, perspektifnya bagaimana (misalnya condong ke satu sisi/percaya buta, kasih perspektif 2 sisi, dsb).
Tapi tidak cukup dengan hanya saya bersikap skeptis, saya harus menindaklanjuti dengan menganalisisnya. Mencari tahu dari sumber-sumber/pandangan lain, benar dan seimbangkah yang disampaikan?
Contoh berita kemarin yang heboh soal “Indonesia akan jadi pusat pandemi Covid-19 dunia selanjutnya”.
Saya menyadari ini karena salah satu teman ada menjawab soal ini. (jawabannya bro Andrew Laloan)
Wajar dalam hati saya ikut berpikir, “Wow, bombastis sekali klaimnya (mungkin clickbait)? Tapi okelah mungkin ada sesuatu yang baru yang bisa kita ambil hikmahnya.”
Sebagai perbandingan, saya ambil contoh pemberitaan berbahasa Indonesia-nya dari Republika (karena kebetulan muncul paling pertama setelah saya mencari dengan kata kunci pemberitaan ini). Setelah saya membaca berita dari Republika tsb, yang dimuat dalam berita:
- Kalimat pembuka berita: Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal berperang melawan Covid-19. (memang Sydney Morning Herald mengatakan itu kok)
- Indonesia diduga mengalami banyak kasus tak terdeteksi, tapi kurang diperhatikan dunia. Dalam dua pekan mendatang dikhawatirkan akan mencapai lebih 60 ribu kasus, termasuk soal kritik jumlah tes yang rendah.
- Pembatasan sosial mau dilonggarkan pemerintah Indonesia (padahal tren kasus positif belum kurva flat/menurun).
- Mengutip kesimpulan yang sama: Pemerintah Indonesia dinilai punya dua pilihan. Pertama, mengambil kebijakan lebih tegas untuk menghentikan penyebaran Covid-19 termasuk di antaranya memasifkan tes dan karantina wilayah. Kedua, tetap memerintah dengan canggung dengan risiko nyawa masyarakat Indonesia.
Sudah itu saja, tidak ada analisis atau perspektif, atau masukan lain dari media massa-nya.
- Apakah Republika telah melencengkan pemberitaan SMH tadi? Tidak, terjemahannya pun akurat. Top.
- Apakah Republika telah menyajikan pemberitaan yang “objektif dan berimbang”? Ini yang saya tidak yakin, dan saya tidak bisa menilai juga karena saya bukan Dewan Pers dan sejenisnya, bukan wewenang saya, TAPI pertanyaan kritisi saya yang sebenarnya:
Apakah analisis penulis di Sydney Morning Herald itu sebagai pemberita pertama bisa dipercaya tanpa diskriminasi/prasangka tertentu pemberitaannya? (sesuai etika jurnalisme tadi)
Kamu mungkin ingin membaca artikel berbahasa Inggris berikut ini dari The Conversation, yaitu tentang bagaimana perang media massa Australia yang terjebak dalam polarisme bias (menurunnya demokrasi yang jernih):
Mixed media: how Australia’s newspapers became locked in a war of left versus right
Saya kutip:
Sharp differences in political outlook among newspapers are nothing new, of course.
In Melbourne, The Argus was conservative, the paper of the squattocracy and the merchant class. It opposed land reform and favoured free trade, while The Age was progressive, supportive of the miners at Eureka, in favour of land reform and a crusader for protectionist trade policy.
In Sydney, The Sydney Morning Herald was profoundly conservative. The paper was opposed to democracy (which it called mobocracy) and supportive of a property franchise for the New South Wales parliament. By contrast, The Empire, founded and edited by Henry Parkes, was guided by the principle that, in a colonial society, the working classes were the nucleus and makers of a democratic nation.
Penasaran dong mobocracy itu apa?
rule or domination by the masses.
pemerintahan atau dominasi oleh massa (mayoritas).
Baiklah, jadi afiliasi politik yang dibanggakan (dan diklaim) SMH itu tidak setuju soal “demokrasi” konvensional (misalnya Trias Politica konvensional), tapi cenderung kekirian (kelas pekerja).
Agar tulisan saya berimbang dan seminimal mungkin menghakimi/berprasangka buruk duluan 100%, saya fokus di substansi konten pemberitaan saja ya dan kemungkinan bias politik media tadi. Jadi saya kutip saja kesimpulan pemberitaan SMH di paragraf terakhir karena mereka sangat gamblang di situ (sifatnya opini/pandangan, bukan data fakta):
The government now has two choices: take much stronger steps to stop the spread of the disease, including ramping up testing and reimposing lockdowns, or keep bumbling along at the cost of lives.
Pemerintah (Indonesia) sekarang punya dua pilihan: mengambil langkah-langkah lebih kuat dalam menghentikan penyebaran penyakit, termasuk meningkatkan pengujian dan memberlakukan kembali lockdown, atau sekenanya saja/mengalir saja/bertindak canggung—ceroboh dengan taruhan nyawa orang-orang.
Sumber beritanya langsung dari SMH: The world’s next coronavirus hotspot is emerging next door
What? Sekenanya saja? (bumbling along)
To go about bunglingly, awkwardly, mindlessly, etc., during some task or in general.
Jadi menurutmu SMH, pengorbanan dan jerih payah para dokter—perawat—semua pejabat—ASN—aparat—segenap elemen masyarakat se-Indonesia terkait penanganan pandemi Covid-19 itu sekadar “bumbling along” sia-sia? Tiriliunan Rupiah yang sudah dikeluarkan karena usaha pengadaan APD, bantuan sosial, dsb itu “bumbling along”?
Sebagai anak bangsa Indonesia, aduh bro…
^Menhan kita pak Prabowo aja sampai ngamuk! hehe
Akhirnya saya *SMH* deh (Shake My Head, geleng-geleng kepala)… Pun intended!
Pertanyaan kritisi saya:
- Di mana etika pemberitaan faktual dan berimbang?
- Di mana etika pemberitaan tanpa menghakimi dan melukai? (karena pandemi ini masalah global yang mau tidak mau harus dijalani, bukan dipolitisasi)
- Kenapa cuma “dua pilihan” (hitam vs putih) a.k.a. psikologis koersif?
Ngomong-ngomong, saya setuju sekali masalah kritik masukan membangun, justru itu bagus demi kebaikan kita bersama! Saya bukan seorang yang otoriter dan anti-kritik (tapi, saya maaf, tidak suka berdebat kusir fanatik buta ya karena itu buang-buang waktu saja).
Dalam pemberitaan maupun analisisnya SMH tidak ada dibahas sama sekali masalah itu, hanya bahas masalah kekurangan (yang datanya juga ada tidak akurat soal pembaruan jumlah pengetesan).
Lalu, apakah sang jurnalis SMH itu tahu keadaan dan tantangan riil di Indonesia itu bagaimana, misalnya:
- Ada sebagian rakyat yang abai protokol seperti masker, dsb,
- Ada yang menggeruduk RS membawa kabur/berusaha jenazah pasien positif Covid-19,
- Banyak rakyat Indonesia yang menghadapi masalah finansial serius karena pembatasan sosial, sampai tidak bisa makan dll,
- Bagaimana peran pemerintah Indonesia selama ini dalam menanganinya (meski awal masa pandemi saya akui, ‘terkesan kurang serius’ atau menyangkal).
Itu semua luput dari pemberitaan! Yang disorot parsial “pemerintah Indonesia sudah gagal”. Apa yang terjadi kemudian, siapa pun bebas untuk menjadikannya bahan bakar suatu konten! wink wink wink 😉
Yang sangat saya sayangkan, banyak (kalau tidak saya bilang semua) media massa Indonesia kok ya tidak ada/belum ada yang menganalisis/mengkritisi soal pemberitaan SMH itu ya? (tolong koreksi saya kalau saya salah soal ini)
Media massa Indonesia cenderung secepatnya melempar konten SMH itu ke kanalnya masing-masing, tanpa ada perspektif atau analisis lain yang berimbang. Dan akhirnya, berbagai elemen masyarakat Indonesia pun “ribut” soal itu.
- Views berita tinggi = pengunjung banyak klik iklan = Rp Rp US$ US$?
- Atau tuntutan dari atasan redaksi mungkin juga ya? (teman-teman jurnalis saya dulu pernah cerita juga sih ada target artikel per hari dll)
Kualitas beritanya (yang membangun) bagaimana, ngomong-ngomong?
Saya tidak peduli agama, suku, afiliasi politik, presiden coblosan dll kamu itu apa/siapa. Itu hak berdemokrasi kita dan dilindungi hukum.
Tapi saya sangat prihatin, jika kita menelan mentah-mentah apa yang kita baca di internet tanpa mengkritisi/perspektif yang seimbang, apalagi ini masalah krisis nasional ya, bukan krisis kampungmu vs kampung saya saja. Kita semua kena dan bisa kena jika belum.
Jika ingin mengkritik sesuatu (beropini membangun), bukankah lebih baik jika kita fokus pada masalah itu, dan semoga bisa menyarankan pandangan lain/solusinya?
Rakyat Indonesia saat ini, menurut saya butuh kepastian dan gotong-royong agar bisa keluar dari krisis dengan selamat dan sejahtera. Tidak butuh drama berlebih atau pencarian kambing hitam (tapi boleh lah nanti di-review setelah krisisnya lewat ya).
Itu semua perlu kerja sama atas dan bawah, tidak bisa mengandalkan yang di atas selalu. Kalau sudah diberlakukan peraturan dan protokol, sudahkah kita sendiri disiplin menerapkannya sehari-hari?
Oh ya, jadi..
Apakah media massa berita (termasuk Indonesia) bisa dipercaya dalam konteks ini?
Itu balik pada kritisi dan literasi pembaca budiman sekalian. Dengan informasi yang disediakan seperti itu (entah agak bias—-sebagian bias—full bias), apa tindakanmu selanjutnya? Kamu yang memutuskan, bukan media massa atau pemerintah sekalipun.
Sebab satu tindakan kecil kita bisa berimplikasi luas kepada masyarakat.
People power!
(kok saya jadi kekiri-kirian hehe).
Stay safe and stay sane guys. Tetap gunakan akal sehat dan budi pekerti.