Even when Korea isolated itself from the mainland in the seventeenth century, it did so in the conviction that it was guarding Chinese tradition better than Chinese themselves (Myers, 2010: 26).
Pertama-tama, kita perlu memahami nilai-nilai yang diajarkan oleh Konfusius. Salah satu nilai utama dalam ajaran Konfusius adalah lima prinsip kebenaran yang tetap, yang dikenal sebagai Wu Chang (五常).
Gambar 1: Wu Chang
Kelima nilai tersebut adalah:
1. **仁 (Kebajikan):** Menekankan pada empati, kemurahan hati, dan niat baik, dengan tujuan menjaga hubungan yang baik antar sesama manusia.
2. **義 (Kebenaran):** Berarti menegakkan kebenaran dan keadilan.
3. **礼 (Kesopanan):** Berhubungan dengan tindakan yang benar, termasuk adat istiadat, ibadah, perilaku, sopan santun, dan tata krama.
4. **智 (Kebijaksanaan):** Mengedepankan kebijaksanaan dalam bertindak dan mengambil keputusan.
5. **信 (Loyalitas):** Menitikberatkan pada kesetiaan dan kepercayaan.
Jika nilai-nilai ini diterapkan dengan baik, seharusnya menciptakan harmoni dalam hubungan sosial. Namun, dalam praktiknya, kita bisa merefleksikan sejauh mana masyarakat Korea dan Tionghoa menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya, masyarakat mana yang lebih mencerminkan ajaran Konfusius dalam perilaku mereka?
Ini adalah opini pribadi saya dan bersifat subjektif.
Saya cukup setuju dengan pernyataan bahwa masyarakat Korea bisa dikatakan lebih Konfusianis dibandingkan masyarakat Tionghoa, terutama yang tinggal di daratan Tiongkok. Berikut adalah enam alasan yang menurut saya berkontribusi terhadap anggapan bahwa nilai-nilai moral Konfusius telah menurun di kalangan masyarakat Tionghoa:
1. **Lunturnya Kebiasaan Lama:** Tionghoa di daratan Tiongkok pernah diperintah oleh suku Manchu. Walaupun beberapa tradisi Han tetap bertahan, seperti penerjemahan Sishu Wujing (四書五經) oleh Manchu untuk memahami nilai-nilai Han, perubahan-perubahan dalam penampilan, termasuk gaya berpakaian, tidak lagi sepenuhnya mengikuti ajaran Konfusius.
2. **Abad Penghinaan:** Dalam periode ini, Tiongkok mengalami masa kelam di bawah kekuasaan negara-negara asing seperti Rusia, Jerman, Inggris, Portugis, Prancis, dan Jepang. Masuknya pengaruh asing ini turut melemahkan ajaran Konfusius, karena dianggap gagal melindungi rakyat Tiongkok dari penjajahan.
3. **Revolusi Kebudayaan:** Revolusi Kebudayaan di Tiongkok bertujuan menghancurkan “empat lama”—tradisi, kebiasaan, budaya, dan pemikiran lama. Salah satu yang terdampak adalah ajaran Konfusius, yang dianggap kuno dan bertentangan dengan ideologi revolusioner.
4. **Pemerintahan Komunis:** Tiongkok berideologi komunis, dan ini menimbulkan stigma negatif, baik di dalam maupun di luar negeri. Pandangan dunia yang sering memandang komunisme dengan skeptis turut memengaruhi persepsi terhadap nilai-nilai tradisional seperti Konfusianisme.
5. **Dampak Kelakuan Segelintir Orang:** Dengan populasi yang besar, perilaku buruk dari sebagian kecil orang dapat memberikan citra negatif pada komunitas Tionghoa secara keseluruhan. Misalnya, kebiasaan makan atau perilaku yang dianggap tidak wajar oleh masyarakat internasional bisa menimbulkan cibiran terhadap Tiongkok.
6. **Perilaku Turis dan Kondisi di Tiongkok:** Banyak laporan tentang perilaku kurang sopan para turis Tiongkok—seperti meludah, buang hajat sembarangan, atau mencoret-coret fasilitas umum—serta kondisi kebersihan di negara itu sendiri yang sering mendapat kritik.
Apakah perilaku-perilaku ini mencerminkan Wu Chang?
Kondisi-kondisi di atas menunjukkan bahwa Tiongkok menghadapi berbagai tantangan internal yang membuat sulit bagi masyarakatnya untuk mempertahankan nilai-nilai Konfusianisme. Mereka tampaknya lebih fokus mengatasi masalah-masalah yang mendesak ketimbang menjaga dan menerapkan nilai-nilai Konfusius secara konsisten.
Korea memiliki sejarah penutupan diri dari dunia luar yang berlangsung sangat lama, yaitu sejak abad ke-17 hingga abad ke-19, terutama karena serangan dari luar yang sering terjadi pada masa itu. Korea kemudian dijajah dan dianeksasi oleh Jepang pada tahun 1911, bukan oleh bangsa Barat.
Sebelum aneksasi oleh Jepang, Korea berada di bawah kendali Dinasti Joseon, yang didirikan oleh keluarga Yi dari Wangsa Jeonju Yi. Dinasti Joseon dikenal sebagai pemerintahan yang sangat berlandaskan ajaran Konfusianisme, terutama Neo-Konfusianisme, yang menjadi fondasi utama dalam tatanan sosial dan pemerintahan.
Karena kombinasi antara isolasi negara yang panjang dan pengaruh kuat nilai-nilai Konfusianisme, ajaran Konfusius tetap terpelihara dengan baik dalam masyarakat Korea. Situasi ini mirip dengan Jepang pada Zaman Edo, yang juga mengadopsi nilai-nilai Konfusianisme dalam pemerintahan mereka selama lebih dari 250 tahun, membantu mempertahankan tradisi dan nilai sosial yang serupa.
Gambar 1: Wangsa Yi/Jeonju Yi Clan sebagai wangsa pendiri Dinasti Joseon. Ideologi negara adalah Neo-Konfusianisme.
Tidak mengherankan jika Korea dan Jepang merasa mereka lebih Konfusianis dibandingkan dengan Tionghoa, meskipun Tiongkok adalah tempat asal dari ajaran Konfusius. Banyak aspek ajaran Konfusius yang mungkin belum sepenuhnya saya pahami. Oleh karena itu, jawaban ini tidak sepenuhnya benar, karena masih mungkin ada nilai-nilai Konfusius lain yang lebih dipegang teguh oleh masyarakat Tiongkok dibandingkan dengan Korea.
Mengenai pemerintah Tiongkok yang berideologi Komunis, saya tidak bermaksud menuduh bahwa mereka melarang ajaran Konfusius, karena itu juga bukan sesuatu yang relevan saat ini. Bahkan, pemerintah Tiongkok sebenarnya melestarikan beberapa aspek ajaran Konfusius sebagai upaya untuk menahan pengaruh budaya Barat. Salah satu bukti bahwa pemerintah Tiongkok berupaya melestarikan ajaran Konfusius adalah melalui berbagai inisiatif yang mereka lakukan.
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tidak selalu menghancurkan ajaran Konfusius, melainkan telah kembali mendukungnya sebagai bagian dari identitas nasional Tionghoa. Jadi, jika ada pertanyaan mengenai apakah Tionghoa lebih Konfusius dibandingkan Korea, saya juga cenderung setuju.
Silakan jika ada keberatan atau pendapat berbeda.
Catatan Kaki