Katakan “Aku sedang berpuasa”. Itulah yang selalu ibuku katakan.
Kisah ini masih jelas terngiang dalam ingatanku. Saya mengingatnya seolah melihat dari lubang dinding bambu, atau yang dalam bahasa Jawa disebut gedhek.
Cerita ini dimulai ketika saya bersahabat dengan seorang anak orang kaya di desa, sebut saja si A. Kami berteman baik sejak kelas 1 SD. Saya seperti abdi setia yang selalu ada untuknya, kapan pun dan di mana pun, bahkan pada malam hari. Seringkali saya menemaninya saat ia berpacaran—tentunya, berpacaran anak SD zaman dulu hanya sebatas bertemu. Tugas saya adalah menjaga jika situasinya menjadi tidak aman. Saya sangat senang saat itu karena bisa bermain dengan barang-barang mewah, menikmati makanan enak, dan memetik buah-buahan dari kebunnya. Dulu, saya merasa betapa beruntungnya temanku ini—cantik, pintar, kaya, dan selalu menjadi idola guru-guru di sekolah.
Namun, persahabatan kami mulai menghadapi masalah. Saat kelas 3 SD, saya berhasil meraih rangking lebih tinggi daripada si A. Alih-alih senang, saya malah merasa takut. Ternyata, si A sangat marah. Dia melaporkan kepada ibunya bahwa saya nakal.
Saat pulang sekolah, seperti biasa, saya segera menuju makan siang. Saya masih ingat dengan jelas apa yang saya makan—tempe mendoan dan sayur paku. Belum sempat nasi masuk ke mulut saya, terdengar keributan dari pintu belakang. Saya mengintip melalui salah satu lubang dinding bambu dan sangat terkejut melihat tamu yang datang—ibunya si A. Beliau menunjuk-nunjuk wajah ibu saya dengan jari telunjuknya. Saya tidak bisa mendengar seluruh percakapan, tetapi beberapa potongan percakapan tersebut saya dengar.
“Kalau ga bisa sekolah, minimal bisa didik anak. Berani-beraninya nakalin anak saya. Emang situ punya apa (maksudnya disini adalah kalian kan misqueen).”
Terlihat tak sepatah katapun keluar dari mulut ibu saya selain mengangguk dan maaf.
Saat itu, saya benar-benar ketakutan. Saya langsung melarikan diri melalui pintu depan menuju rumah nenek saya, masih mengenakan pakaian seragam sekolah. Saya berlari sekencang-kencangnya dalam keadaan lapar, meninggalkan sepiring nasi dengan tempe mendoan dan sayur paku.
Hingga malam tiba, saya tetap tidak mau pulang. Akhirnya, ayah dan ibu saya datang menjemput. Saya pun bertanya:
“kenapa ibu di ejek sampai ditunjuk wajahnya ibu diam saja?”
“Ibu kan sedang berpuasa.”
Kemudian, ibu tersenyum. Meskipun ibu sering kali diremehkan dan tidak pernah membalas perlakuan itu, dia tetap menjalani puasa Senin-Kamis dan praktik tirakat lainnya. Ketika saya mengikuti ujian atau lomba, ibu selalu berpuasa di hari tersebut untuk mendoakan kelancaran urusan anaknya.
Namun, masalah tidak berhenti di situ. Setelah kejadian tersebut, saya kehilangan semua teman. Setiap anak yang ingin berteman dengan saya akan diajak bicara oleh si A, dan setelah itu mereka tidak mau lagi bergaul dengan saya. Selain itu, mereka sering membicarakan, menertawai, mengejek, dan merundung saya hingga saya lulus SD. Akibatnya, saya menjadi pendiam. Untunglah ada satu teman yang mau berteman dengan saya. Teman ini juga unik karena dia tidak memiliki banyak teman, dan kami tetap bersahabat baik hingga sekarang.
Selain itu, ibu dari si A sering memberikan makanan, rokok, dan berbagai barang kepada para guru, sehingga para guru sangat menyayangi si A. Ternyata, ibu saya juga mengalami perlakuan serupa dari ibu si A yang sering menggunjing kami di kalangan tetangga, menyebut kami sebagai orang miskin yang tidak tahu diri. Meski begitu, ibu selalu bersabar dan berkata, “Aku sedang berpuasa.” Sebenarnya, keluarga kami memang dikenal miskin, dan sering kali saat sanak saudara kami ingin menikah, orang tua mempelai tidak setuju dengan alasan kami adalah orang miskin.
“Anaknya/cucunya kakek …(nama kakek saya), emang punya apa? Mau menikah”.
Di desa kami, ketika saya kecil, dikenal kebiasaan bahwa memiliki uang berarti memiliki kekuasaan.
Singkat cerita, waktu pun berlalu. Setelah kami lulus SD, kami tidak pernah berhubungan lagi. Terakhir kali saya mendengar, bisnis keluarga si A mengalami kegagalan, membuatnya tidak bisa melanjutkan kuliah. Setelah SMA, si A bekerja di pabrik, menikah, dan membangun kehidupan baru. Ibunya terkena berbagai penyakit komplikasi dan meninggal pada usia yang relatif muda. Kakaknya, yang sudah lulus kuliah sejak kami masih SD, hingga kini masih menjadi pegawai honorer.
Sebelum meninggal, ibu si A sempat mendatangi keluarga kami untuk meminta maaf saat Lebaran. Jauh sebelum permintaan maaf itu, kami sebenarnya sudah memaafkan mereka. Memang, kenangan ini tetap ada, tapi memaafkan bukan berarti melupakan.
Roda kehidupan berputar dengan cara yang tak terduga. Meskipun kami tidak menjadi keluarga kaya raya, Tuhan mengizinkan saya untuk melanjutkan pendidikan hingga lulus kuliah dengan beasiswa dan mendapatkan pekerjaan yang alhamdulillah memadai. Ibu saya kini memiliki warung makan kecil, dan ayah saya memiliki toko mebel kecil miliknya sendiri. Saya berharap ibu dan ayah selalu sehat dan rejekinya berkah.
Saya lahir dari keluarga miskin yang tidak pernah kekurangan hati. Ibu saya hanya lulusan SD, tidak pernah mengikuti pendidikan informal, namun memiliki amalan yang sangat kaya. Dia selalu sabar menghadapi ejekan dan berkata, “Saya sedang berpuasa,” sembari membiarkan alam bekerja.
(Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung siapa pun, melainkan untuk merenungkan hikmah di balik kisah ini.)