Anak: “Bu, lihat ini gambalanku!”
Ibu: “Wah bagus sekali, anak ibu berbakat ya!”
Anak: “Yah, aku bisa loh ngerjain ini.”
Ayah: “Kamu anak yang pintar!”
Anak: “Yah, bu, ujianku dapet nilai bagus.”
Orang tua: “Kamu berhasil karena kamu pandai!”
Kita sering mendengar tentang orang tua yang mendukung dan memuji anaknya, tetapi sayangnya, pujian dan dukungan positif tersebut juga memberikan pesan negatif kepada anak.
- Kalau aku tidak bisa mengerjakan X, aku bukan anak yang pintar.
- Kalau aku gagal, berarti aku anak yang bodoh.
- Kalau gambaranku tidak bagus, berarti aku tidak berbakat.
Dalam bukunya yang berjudul Mindset, Carol Dweck, seorang profesor psikologi di Stanford University menjelaskan hasil tujuh eksperimennya dengan ratusan anak.
Hasilnya jelas: memuji kecerdasan anak akan mengganggu keinginan dan prestasi mereka.
Anak-anak akan sangat menyukai pujian, yang akan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Namun, ketika mereka menghadapi kesulitan atau kegagalan, semua hal baik mereka akan hilang. Mereka akan menjadi putus asa dan menyerah.
Apakah itu berarti orang tua tidak boleh memuji anaknya?
Bukan! bukan begitu!
Yang harus dilakukan orang tua adalah memuji anak berdasarkan kerja keras yang diberikan daripada kecerdasannya.
- Wah gambarannya bagus sekali, pasti tadi mengerjakannya dengan konsentrasi penuh ya?
- Ayah kagum sama kemampuan adek untuk memikirkan masalah ini.
- Kami tahu, hasil baik itu karena adek sudah belajar dengan giat. Apakah adek siap untuk lebih baik lagi?
Kesimpulan yang bisa kita ambil: memuji anak berdasarkan usaha yang diberikan adalah cara terbaik untuk mengajarinya bahwa keahlian dan pencapaian datang melalui komitmen dan usaha.
The best thing parents can do is to teach their children to love challenges, be intrigued by mistakes, enjoy effort, and keep on learning.
— Carol Dweck