Kita menyadari bahwa keberadaan agama akan tetap penting hingga kapan pun. Agama masih diperlukan, meskipun pintu ke zaman digital mulai terbuka. Keberadaan masyarakat agamis sangat penting, tidak peduli seberapa sekuler atau ateis sebuah negara.
Ada kemungkinan bahwa agama tidak hanya menjadi tiang peradaban tetapi juga menjadi pondasinya. Sejarah besar manusia biasanya melibatkan orang beragama. Bahkan keputusan dan tindakan tokoh-tokoh tersebut didasarkan pada agama.
Bagaimanapun, agama sangat terkait dengan kekuasaan, politik, ekonomi, dan gaya hidup. Oleh karena itu, membumihanguskan atau membumihanguskan seluruh umat beragama di planet ini hanya menyisakan ateis “murni” dapat mengakibatkan malapetaka bagi kehidupan di bumi.
Orang-orang akan menjadi seperti robot. Mereka bertindak tanpa sebuah “nilai” kecuali hanya moralitas. Itu pun dibangun berdasarkan logika bukan dari hati nurani terdalam. Orang berbuat baik bukan untuk mendapat balasan dari Tuhan, tapi cuma karena tuntutan naluri sebagai makhluk sosial.
Jika dunia tanpa agama maka kemungkinan besar keadaannya sangat buruk. Kalau ada yang mengatakan “Agama justru menginspirasi berbuat kekacauan dan peperangan”. Seharusnya logika yang digunakan adalah “Ada agama saja dunia ini begitu runyam, apalagi kalau tidak ada sama sekali.” Intinya, meniadakan agama bukanlah solusi.
Istilah “agama” berasal dari bahasa Sansekerta, di mana “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau.” Pada dasarnya, agama mengajak untuk menghindari kekacauan. Jika tetap terjadi, itu bukan karena isi agama, tetapi karena pemeluknya menggunakan agama sebagai komoditas.
Dalam hidup mereka, manusia membutuhkan panduan kebenaran. Pastikan apa yang benar dan apa yang salah. Sayangnya, di mata manusia, kebenaran dan kesalahan sangat relatif. Dalam beberapa komunitas, tata krama sangat dihormati. Namun, bagi orang lain, tata krama tidak begitu penting.
Kebenaran bagi manusia itu umurnya pendek. Hari ini dianggap benar, tapi besok kebalikannya. Hari ini kepopuleran, booming, dan sesuatu yang hits dianggap sebagai dewa penolong bagi kaum hampa. Mereka merasa senang pada arti dan idola di media sosial. Namun, besok karena ada kasus justru balik mencaci maki.
Dengan adanya panduan kebenaran yang mutlak dan absolut dapat menyatukan manusia. Sebab tatkala peraturan dibuat oleh manusia akan memunculkan kecurigaan. Tentu masih ada saja orang yang melanggarnya. Bukan karena tidak tahu tapi disebabkan memang mengabaikan dan tak menghargainya.
Semua agama, terutama agama Islam, mengajarkan penganutnya untuk berbudi pekerti luhur. Menyempurnakan akhlak agar dapat mencapai pribadi Islami yang kaffah (sempurna). Orang yang mengaku beragama tidak pantas disebut agamis ketika dia berakhlak buruk. Kendati dia ahli dan menguasai ilmu atau teori tentang agama sekalipun.
Orang yang mengatakan agama adalah candu, seakan-akan dia memungkiri bahwa ada bentuk candu-candu lain. Orang bisa kecanduan membunuh, menipu, merampas, hubungan intim, narkoba, minuman keras, dan lain-lain. Dari semua bentuk kecanduan itu hanya agama yang paling berdampak positif.
Agama yang mendorong orang untuk melakukan hal-hal seperti bersedekah, berakhlak mulia, membantu orang lain, berzakat, infaq, berbagi hewan qurban, dan sebagainya. Itu tindakan moral, bukan? Selama periode ini, agama hanya terkait dengan hubungan antara manusia dan tuhan di rumah ibadah, meskipun agama sebenarnya luas.
Lagi pula agamalah yang menyatukan hubungan manusia dalam satu ikatan batin. Meski beda strata, ekonomi, suku, dan perbedaan lain mereka bisa kumpul bersama. Hal berbeda dengan orang yang tak percaya tuhan. Kebersatuan manusia sehingga dapat berkumpul semata-mata karena dunia. Tidak ada nilai yang lebih sakral darinya. Hampir mirip dengan hewan.
Mereka menjalin hubungan karena ada rasa kasihan, hubungan keluarga, pertemanan, hingga pekerjaan yang “mengarahkan” suara hati untuk membantu yang lain. Tidak lebih dari itu. Sebab mereka tidak percaya pada Tuhan. Tentu juga tak akan percaya bahwa perbuatan baik yang dilakukan akan dapat ganjaran di akhirat.
Lebih jauh lagi arah dan tujuan hidup orang tak beragama sangat pendek. Tanpa ada rasa iman bahwa setelah mati ada kehidupan abadi membuat pandangan hidup begitu sempit. Pedoman hidupnya pun bukan kitab suci. Melainkan peraturan resmi dari negara maupun norma sosial yang tak tertulis.
Misalnya, dalam kajian psikologi, dikatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang lebih dari sekedar makan, kekuasaan, cinta dan kasih sayang. Kebutuhan itu tidak lain kebutuhan untuk beragama. Adakalanya manusia merasa tidak puas. Dan memang manusia tidak pernah merasa puas dengan pencapaian yang telah diperoleh. Manusia selalu menginginkan hal yang lebih dan lebih lagi. Ketika kebutuhan akan sandang, pangan, papan, cinta dan kasih sayang, bahkan hasrat akan kekuasaan sudah terpenuhi, masih terdapat satu kebutuhan yang hanya bisa terpenuhi dengan agama. Kebutuhan tersebut yaitu kebutuhan akan kehadiran sesuatu yang luar biasa di luar kuasa manusia. Sesuatu yang Maha Segalanya.
Menurut studi antropologi lain, manusia membuat agama mereka sendiri sepanjang hidup mereka. Karena itu, manusia mengagumi hal-hal yang jauh di luar kemampuan mereka. Manusia tertarik pada sesuatu yang berbeda dari dirinya sendiri. Selanjutnya, orang memberikan sesuatu yang unik kepada sesuatu yang luar biasa tersebut untuk melindunginya atau untuk menunjukkan rasa terima kasih. Perilaku tersebut menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun ketika dilakukan berulang kali seiring waktu.
National Geographic Indonesia—Di banyak negara, kepercayaan budaya yang tersebar luas menganggap ateis tidak memiliki pedoman moral. Streotip yang muncul adalah orang-orang ateis tidak bermoral, meski tidak ada bukti ilmiah yang mendukung gagasan tersebut. Benarkah demikian?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, Tomas Ståhl, ilmuwan dari University of Illinois di Chicago melakukan penelitian khusus. Ia kemudian mempublikasikan temuannya dalam jurnal akses terbuka PLOS ONE pada 24 Februari 2021 dengan judul “The amoral atheist? A cross-national examination of cultural, motivational, and cognitive antecedents of disbelief, and their implications for morality”.
Dalam laporan penelitiannya, Ståhl menulis bahwa ada stereotip lintas budaya yang tersebar luas yang menunjukkan bahwa ateis tidak dapat dipercaya dan tidak memiliki pedoman moral.
“Apakah ada kebenaran untuk gagasan ini? Membangun teori tentang anteseden budaya, (de) motivasi, dan kognitif dari ketidakpercayaan, penelitian ini menyelidiki apakah ada persamaan yang dapat diandalkan serta perbedaan antara orang yang beriman dan orang yang tidak percaya dalam nilai dan prinsip moral yang mereka dukung,” tulis Ståhl dalam laporan penelitiannya.
Dari laporan penelitian tersebut, menunjukan bahwa, sementara ateis dan teis atau orang yang memiliki kepercayaan kepada tuhan, berbagi nilai moral terkait dengan melindungi individu yang rentan. Ateis cenderung tidak mendukung nilai-nilai yang mempromosikan kohesi kelompok dan lebih cenderung menilai moralitas tindakan berdasarkan konsekuensinya.
Pada penelitian tersebut, Ståhl melakukan dua survei yang memeriksa nilai moral 429 ateis dan teis Amerika melalui platform Mechanical Turk Amazon. Dia juga melakukan dua survei yang lebih besar yang melibatkan 4.193 ateis dan teis di AS (negara yang mayoritas beragama) dan Swedia (negara yang mayoritas tidak beragama).
“Hasilnya juga menunjukkan bahwa orang-orang ateis versus orang-orang beriman memiliki pandangan moralitas yang lebih konsekuensialis di kedua negara,” jelasnya.
Hasil menunjukkan bahwa kaum teis lebih cenderung daripada ateis untuk mendukung nilai-nilai moral yang mempromosikan kohesi kelompok. Sementara itu, ateis lebih cenderung menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan akibatnya.