Sebagai mantan guru SMK, hal yang membuat saya sangat prihatin adalah melihat orang tua siswa yang bekerja keras mencari uang dengan segala cara—mulai dari mencuci baju, mengojek, hingga mengumpulkan barang bekas—untuk menyekolahkan anak-anak mereka di SMK. Harapannya, anak-anak mereka akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus dengan keterampilan yang diperoleh dari sekolah vokasi.
Namun, yang sering kali tidak disadari oleh para orang tua adalah kualitas sekolah yang mereka pilih. Banyak SMK dengan standar yang kurang baik, bahkan seperti sekolah “Suzuran,” dengan guru yang mungkin hanya montir bengkel pinggir jalan atau mahasiswa S-1 yang belum lulus. Kondisi belajar di sekolah-sekolah ini jauh dari ideal.
Setelah lulus, siswa-siswa ini masih kesulitan mencari pekerjaan. Mereka menyalahkan kondisi ini pada kurangnya gelar pendidikan, berpikir bahwa jika mereka kuliah, peluang kerja akan lebih baik. Maka, dengan kemampuan akademis dan ekonomi yang terbatas, mereka melanjutkan kuliah di kampus-kampus dengan biaya terjangkau yang sering kali kualitasnya tidak optimal. Sering kali, mahasiswa di kampus ini hanya memiliki ijazah tanpa banyak ilmu.
Jika dihitung, biaya kuliah yang rendah biasanya sebanding dengan kualitas pendidikan yang didapat. Ini terlihat dari kasus dosen dengan gaji rendah yang kurang fokus mengajar. Mahasiswa pun akhirnya lulus dengan harapan yang tidak realistis, dan kerap berakhir kembali ke pekerjaan informal seperti mengojek.
Banyak yang nekat melanjutkan S-2 dengan harapan meningkatkan peluang kerja, tetapi kualitas pendidikan lanjutan ini pun tidak selalu terjamin. Mahasiswa S-2 seringkali berkompetisi dalam lingkungan yang kurang ketat, dan setelah lulus, mereka mungkin hanya bisa bekerja sebagai dosen di kampus kelas ekonomi, menciptakan lingkaran setan.
Realitanya, banyak orang yang mengejar gelar tinggi dengan harapan bisa keluar dari kemiskinan, namun yang lebih penting adalah memiliki keterampilan yang dicari pasar. Gelar saja tidak menjamin pekerjaan, terutama jika tidak disertai skill yang relevan. Pasar mencari kemampuan, bukan sekadar ijazah. Keterampilan, baik teknis maupun sosial, adalah kunci untuk keluar dari jerat kemiskinan, bukan semata-mata pendidikan formal yang tinggi.
Pada waktu itu, saya melamar pekerjaan sebagai junior programmer. Intinya, saya mencari posisi dengan persyaratan minimal namun gaji yang cukup (untuk saya). Saat itu, banyak lowongan yang meminta kemampuan dalam HTML, CSS, JavaScript, SQL, dan PHP.
Kemudian, saya mencatat mata kuliah apa saja yang relevan dengan kebutuhan tersebut. Mata kuliah yang saya fokuskan adalah Algoritma dan Pemrograman 1, Algoritma dan Pemrograman 2, Pemrograman Web, dan Pemrograman Web Lanjutan. Seiring berjalannya waktu, saya baru sadar bahwa saya juga perlu memahami hal lain seperti:
– Jaringan Komputer
– Struktur Data
– Basis Data
– Konsep Dasar Rekayasa Perangkat Lunak
Untuk mata kuliah tersebut, saya mendapatkan nilai A semuanya.
Bagaimana proses setelah lulus?
Saya wisuda hari Senin atau Selasa, lalu Rabu-Kamis ikut wawancara kerja. Sabtu, saya menerima telepon dari beberapa kantor. Minggu, saya memutuskan memilih tempat kerja. Senin, saya langsung mulai bekerja. Bahkan setelah bekerja, beberapa kantor masih menghubungi saya dan memberi tahu bahwa saya diterima bekerja.
Apakah kampus saya bagus? Tidak juga, tapi kampus saya kampus negeri, yang umumnya lebih baik dibanding kampus swasta pada umumnya. Memang, kampus saya terlihat biasa saja kalau dibandingkan dengan kampus ternama seperti ITB, tapi tetap lebih unggul dibanding kampus swasta seadanya. Yang paling penting, ada dua dosen yang rajin membimbing saya agar siap memasuki dunia kerja. Dosen-dosen baik yang mungkin tidak semua orang beruntung mendapatkannya.
Saya tidak bisa bilang kalau saya sekarang kaya raya, tapi setidaknya Badan Pusat Statistik (BPS) akan menendang saya jika saya mengaku sebagai orang miskin.
Jadi, izinkan saya menjelaskan situasinya.
Pendidikan di Indonesia itu tricky. Negara menyediakan sekolah negeri yang meskipun bukan yang terbaik, tapi kualitasnya lebih baik daripada mayoritas sekolah swasta. Ada kesalahpahaman bahwa sekolah swasta selalu lebih baik daripada sekolah negeri, padahal kenyataannya, sekolah negeri umumnya lebih unggul.
Dan ini adalah kenyataan yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan.
Jangan membandingkan sekolah swasta elite seperti sekolah Maudy Ayunda dengan SMA 1 di daerah terpencil seperti Gunung Kidul. Itu tidak adil, bahkan para founder startup juga akan terkejut dengan level cherry picking seperti itu.
Sekolah negeri memiliki kompetisi tersendiri, sehingga siswa dari golongan kurang mampu seringkali tersingkir dan berakhir di sekolah swasta yang seadanya. Coba sekali-kali berbincang dengan orang-orang dari lapisan masyarakat bawah, Anda akan kaget mengetahui sekolah-sekolah yang mereka tuju, yang namanya kadang terdengar seperti nama warung makan atau toko material. Saya sendiri sempat heran, ternyata bangunan tua yang saya kira markas narkoba di dekat tukang cukur rambut itu adalah SMK.
Siklus ini berulang dari SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Orang miskin sering tertipu oleh ilusi bahwa dengan memiliki gelar S-1, mereka akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Faktanya, itu sangat bergantung pada kampus tempat mereka belajar. Jika boleh jujur, saya lebih memilih lulusan S-1 Ilmu Komputer UI dibandingkan lulusan S-2 Ilmu Komputer UI yang S-1-nya berasal dari kampus yang tidak dikenal.
Jangan tersinggung, karena kenyataannya lebih sulit masuk S-1 Fakultas Ilmu Komputer dibandingkan masuk S-2-nya. Jadi, kualitas lulusan S-1 hampir selalu lebih baik.
Pernah dosen saya di kampus lama sampai tepok jidat karena ada mahasiswa pascasarjana jurusan Sastra Inggris yang tidak paham tense.
Jadi, apa yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti ini?
Ikuti jalur yang sudah terbukti bagi orang miskin. Banyak tips dan trik di luar sana, tapi kebanyakan tidak bisa diterapkan oleh semua orang. Misalnya, Anda miskin tetapi mengikuti jalur yang ditempuh Maudy Ayunda atau orang super pintar lainnya. Itu sama saja seperti mengadu Supra X dengan CBR 1000, jelas kalah. Jika Anda miskin tapi mencoba mengikuti gaya hidup selebgram, hasilnya juga akan mengecewakan.
Jika Anda miskin dan biasa-biasa saja, ikuti jalur orang miskin yang sudah terbukti berhasil. Carilah lowongan kerja, lihat persyaratannya, dan analisis kesenjangan kemampuan Anda dengan kebutuhan lowongan tersebut.
Misalnya, syaratnya lulusan S-1, menguasai bahasa pemrograman Java dengan tingkat intermediate (sudah memahami garbage collection dan beberapa design pattern). Jika Anda hanya menguasai dasar Java, seperti inheritance, dan belum mengerti performance tuning, maka isi kesenjangan itu dengan belajar, baik dari YouTube atau latihan mandiri. Atau, coba saja daftar dulu, lalu pelajari soal tes yang diberikan.
Ini adalah cara yang paling realistis bagi rakyat miskin.
Sekali mendayung dua pulau terlampaui:
– Anda mendapatkan ilmu yang diperlukan.
– Anda bisa meraih IPK tinggi.
Saya tidak bisa bicara banyak soal koneksi karena itu agak tricky, tetapi yang saya bagikan ini benar-benar dapat diterapkan oleh siapa saja.
Bagi Anda yang mulai kuliah sekitar tahun 2021-an, beruntunglah karena pemerintah mulai fokus pada peningkatan tenaga kerja terampil. Program D-IV kini sangat populer, seperti program studi Digital Marketing yang ada di kampus saya. Pembukaan program studi baru semakin marak, yang memang seharusnya menjadi fokus utama. Harapannya, semakin banyak tenaga kerja terampil yang dicetak, akan membantu meningkatkan PDB. Jika PDB meningkat, pendidikan juga ikut membaik. Meskipun bukan jalan yang saya sukai, tetapi arahnya sudah tepat.
Tidak perlu mendengarkan orang-orang yang marah-marah dengan argumen “sarjana itu tujuannya penelitian,” karena tidak semua penelitian bisa dilakukan dengan kualitas seadanya. Bahkan dosen yang masih mengajar pemrograman C dengan Borland saja tahu bahwa fokus pada pendidikan vokasional adalah langkah yang lebih realistis untuk keluar dari kemiskinan.