Apakah kamu pernah merasa tertekan dengan ekspektasi sekitarmu?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Tenang, kamu tidak sendiri. Ini ada salah satu warga net yang membagikan ceritanya. Berikut kisahnya..
Saya seorang anak bungsu dari dua bersaudara. Dari kecil, orangtua sudah terlihat membedakan saya dengan kakak saya. Karena sewaktu kecil kakak saya cenderung lebih nakal dan sedikit lambat dalam belajar, sedangkan saya dinilai anak yang sangat brilian saat itu.
Kami berdua tumbuh dengan harapan masing, orangtua saya selalu berharap bahwa saya bisa menjadi dokter dan selalu menuntut nilai yang tinggi dengan alasan bahwa saya mampu untuk itu. Saat kecil, saya mendapatkan doktrin bahwa saya akan diapresiasi bila saya mendapatkan prestasi yang bagus, sehingga saya selalu mengejar apapun itu untuk mendapatkan pengakuan orangtua.
Berbeda halnya dengan kakak saya, ia masih dibilang nakal hingga lulus dari bangku SD, berada di kelas menengah, sampai pernah waktu itu, orangtua saya menampar kakak saya saat ia ketahuan merokok. Tidak ada yang berharap tinggi padanya, bahkan orangtua saya sendiri berkata pada saya bahwa kakak saya sungguh mengecewakan.
Tetapi, di masa SMP-SMA, kakak saya yang menjejaki usia remaja mulai berubah. Ia menjadi jauh lebih baik hingga saya kaget dengan perubahannya. Ia pun memiliki lingkungan sosial yang baik dan luas, dikenal ramah, mengutamakan guru, dan entah beberapa pujian sikap lainnya. Namun Orangtua saya, entah kenapa, masih memandang bahwa masa depan kakak saya adalah sesuatu yang buram, hanya karena nilainya yang rata”. Padahal ia tidak bodoh, hanya ada di ranking menengah.
Sedangkan saya, sampai kelas 8 SMP semangat belajar saya masih membara, dengan doktrin yang sama. Lalu kelas 9, saya yang hendak memasuki sma mulai mempunyai tujuan sendiri, dan sialnya, tujuan itu bertentangan dengan keinginan orang tua. Disitulah babak orang tua saya mulai ‘kecewa’ terhadap saya.
Kekecewaan itu mulai menumpuk, hingga sekarang saya ada di kelas 12 dan bersiap memasuki bangku kuliah. Orangtua jadi jauh lebih sering menumpahkan kekecewaan mereka pada saya, dan terus menekan saya. Mereka masih mengharapkan saya menjadi seorang dokter. Dan orangtua saya merasa hal itu benar untuk dilakukan.
Mereka selalu heran mengapa saya tidak bisa seperti anak” lainnya, yang pintar, yang penurut, yang dari luarnya terlihat baik dan membanggakan. Saya tahu maksud mereka adalah untuk memotivasi saya, tapi saya tidak menganggap itu motivasi. Itu tekanan, saya tidak ingin tumbuh menjadi orang lain atas kemauan orang lain. Sempurna hilang diri saya.
Setiap kali saya mencoba mengatakan apa yang saya mau, orangtua seakan menyalahkan saya bahwa pilihan saya adalah pilihan tanpa perhitungan, dan menekankan bahwa pilihan mereka adalah yang paling benar. Sejak kelas 10 saya sudah berdiskusi dengan orang tua saya dan tidak ada jalan keluar diantara kami. Dan itu jugalah faktor penurunan prestasi saya.
Di sisi lain, kakak saya yang kuliahnya juga dipaksakan oleh orang tua saya tumbuh menjadi seseorang yang dikenal baik di lingkungannya, aktif dalam organisasi, ramah, dll. Pengalamannya banyak dan luas. Ia telah dewasa secara mental, dan orangtua saya mengapresiasi dia.
Di satu sisi, saya sangat iri dengan proses kakak saya. Ibarat ia ‘nakal’ saat kecil dan ‘baik’ setelah dewasa. Sedangkan saya ‘baik’ saat kecil, tapi ‘nakal’ saat sudah besar. Tidak ada orang yang terlalu berekspektasi tinggi padanya, jadi ia bisa mengeksplorasi apa yang ia mau. Sedangkan saya merasa bahwa semua harapan orangtua yang seharusnya dilimpahkan merata, jatuh pada saya.
Saya bingung, cemas, tertekan, semua terasa menakutkan. Harapan orangtua saya akan saya seakan mencekik leher saya terus dan terus. Stress berkepanjangan, air mata yang selalu membasahi bantal hampir setiap malam. Saya tidak tahu harus bagaimana memenuhi ekspektasi mereka. Bagaimana menjadi diri saya saat kecil, saat tidak ada kata orang yang kecewa pada saya, dan selalu memuji saya. Tapi sekarang saya hanya murid biasa, yang terkalahkan oleh banyak orang diatas saya.