Deflasi adalah kebalikan dari inflasi, dan meskipun mungkin terdengar menarik dengan harga yang turun dan nilai uang yang meningkat, deflasi sebenarnya bisa menjadi mimpi buruk bagi perekonomian.
Bayangkan Anda pergi ke mal dan melihat harga TV impian Anda turun 10%. Tentu saja, ini tampak menguntungkan. Namun, mendengar kabar bahwa harganya mungkin turun lebih jauh bulan depan, Anda memutuskan untuk menunggu. Tidak hanya Anda yang berpikir demikian; banyak orang memilih untuk menunda pembelian.
Akibatnya, penjualan merosot. Perusahaan mulai mengurangi produksi dan melakukan pemutusan hubungan kerja. Ketika banyak orang kehilangan pekerjaan, mereka semakin menahan pengeluaran, memperparah penurunan penjualan. Harga-harga pun dipaksa turun lebih jauh, menciptakan lingkaran setan yang sulit diatasi.
Seorang ekonom pernah menggambarkan deflasi sebagai “black hole” ekonomi—sekali terjebak di dalamnya, sangat sulit keluar. Jepang, misalnya, sudah berjuang melawan deflasi selama lebih dari dua dekade dalam apa yang mereka sebut “dekade yang hilang,” yang berlangsung jauh lebih lama dari itu. Meskipun pemerintah telah mencoba segala cara, termasuk menurunkan suku bunga hingga mendekati nol dan mencetak uang dalam jumlah besar, deflasi tetap sulit diatasi.
Deflasi sering terjadi di negara maju dengan ekonomi yang sudah jenuh dan populasi yang menua. Permintaan berkurang, dan deflasi mulai muncul. Selain Jepang, Amerika Serikat juga pernah mengalaminya selama Depresi Besar tahun 1930-an, dengan harga turun hingga 10% per tahun. Pada saat yang sama, pengangguran melonjak dan banyak bank yang bangkrut.
Yang lebih mengerikan adalah spiral “debt-deflation” di mana nilai uang naik sementara nilai aset menurun, membuat hutang menjadi semakin berat. Bayangkan Anda memiliki hutang Rp 100 juta untuk membeli rumah, tetapi dengan deflasi, hutang itu terasa seolah menjadi Rp 120 juta, sementara nilai rumah malah menurun.
Mengatasi deflasi bukanlah tugas mudah. Kebijakan moneter konvensional seperti menurunkan suku bunga sering kali tidak efektif. Bahkan, ada situasi yang disebut “zero lower bound” di mana bank sentral tidak bisa lagi menurunkan suku bunga karena sudah mencapai nol. Beberapa solusi ekstrem yang diusulkan termasuk “helicopter money,” di mana uang dicetak dan didistribusikan langsung kepada masyarakat, atau suku bunga negatif di mana Anda dikenakan biaya untuk menyimpan uang di bank.
Seorang pengusaha di Jepang yang hidup di tengah deflasi menggambarkan pengalaman itu seperti berlari di eskalator yang bergerak turun; tidak peduli seberapa keras usaha Anda, Anda tetap merasa tertinggal.
Inilah sebabnya mengapa bank sentral di seluruh dunia, termasuk Indonesia, lebih memilih inflasi yang rendah dan stabil daripada risiko deflasi. Ekonomi perlu dijaga pada suhu yang tepat—tidak terlalu panas dengan inflasi tinggi, tapi juga tidak terlalu dingin dengan deflasi.
Jadi, jika inflasi sedikit meningkat, jangan panik. Itu tanda ekonomi masih hidup dan bergerak. Yang perlu diwaspadai justru ketika harga mulai turun drastis tanpa alasan jelas, karena itu bisa jadi awal dari deflasi, “black hole” ekonomi yang sebenarnya jauh lebih menakutkan.