Anda benar bahwa permasalahan Taiwan dan Laut China Selatan (LCS) memiliki konteks yang berbeda, dan keduanya tidak bisa disamakan. Mari kita lihat lebih dalam masing-masing isu:
Taiwan
- Status Taiwan dalam Konstitusi: Secara konstitusional, baik Beijing (Republik Rakyat China) maupun Taipei (Republik China) memandang Taiwan sebagai bagian dari China. Ini membuat Taiwan tidak diakui secara resmi sebagai negara merdeka oleh sebagian besar dunia, termasuk PBB, yang hanya mengakui Republik Rakyat China sebagai wakil sah China.
- Kurangnya Dorongan untuk Kemerdekaan di Taiwan: Meskipun ada gerakan pro-kemerdekaan di Taiwan, pemerintah Taiwan tidak pernah secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ancaman militer dari Beijing dan hubungan ekonomi yang kompleks antara Taiwan dan China daratan. Dalam sejarah, Taipei juga masih mengklaim wilayah China daratan sebagai bagian dari negaranya, menunjukkan ketidakpastian dalam keinginan untuk benar-benar memisahkan diri.
- Pengaruh AS: AS memiliki kepentingan strategis dalam mendukung Taiwan sebagai bagian dari kebijakan untuk membendung pengaruh China di Asia Pasifik. Bantuan militer dan diplomasi AS kepada Taiwan sering dilihat sebagai upaya untuk menjaga status quo, bukan untuk memerdekakan Taiwan, melainkan untuk mencegah penyatuan paksa oleh Beijing.
- Strategi China terhadap Taiwan: China secara konsisten mengusulkan reunifikasi damai, namun tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan jika Taiwan secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan. Skenario yang Anda gambarkan, seperti penggunaan “sleeping agents” atau operasi senyap, adalah spekulatif, tetapi tidak bisa diabaikan sebagai bagian dari kemungkinan strategi.
Laut China Selatan (LCS)
- Klaim LCS dan Nine-Dash Line: Klaim China atas wilayah di LCS tidak sepenuhnya terfokus pada laut itu sendiri, melainkan pada pulau dan fitur laut yang ada di dalamnya, seperti Kepulauan Spratly dan Paracel. Klaim ini didasarkan pada sejarah panjang eksplorasi dan penggunaan wilayah oleh nelayan China, serta dukungan dari Deklarasi Kairo 1943 dan Deklarasi Potsdam 1945 yang mengembalikan wilayah yang direbut Jepang kepada China. Namun, peta Nine-Dash Line yang dibuat oleh Republik China sering digunakan untuk mendukung klaim ini.
- Konflik Kepulauan dan Negara Lain: Sengketa LCS melibatkan banyak negara, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, yang juga mengklaim kepemilikan atas beberapa pulau di LCS. Peta kepemilikan yang Anda sebutkan menunjukkan bahwa China bukanlah satu-satunya negara dengan klaim atas pulau-pulau ini, dan kepemilikan pulau menjadi sumber utama konflik, bukan klaim terhadap laut itu sendiri.
- Navigasi dan Kebebasan Laut: Meskipun China sering dikritik karena aktivitasnya di LCS, termasuk reklamasi dan pembangunan militer di pulau-pulau yang diklaimnya, Beijing secara resmi mengklaim bahwa mereka tidak pernah menutup jalur navigasi internasional di LCS. Namun, negara-negara lain sering kali memandang tindakan China ini sebagai upaya untuk memperluas kontrol de facto atas wilayah tersebut.
- Peran ASEAN dan Solusi Damai: Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, sering berusaha mencari solusi damai melalui dialog dan negosiasi untuk menghindari eskalasi militer. Pernyataan Menlu Retno Marsudi yang Anda kutip menegaskan bahwa wilayah Natuna tetap milik Indonesia dan tidak pernah diklaim oleh China.
Kesimpulan
Kedua isu ini, meskipun terhubung oleh keterlibatan China, memiliki sejarah, latar belakang politik, dan implikasi yang sangat berbeda. Taiwan berada di tengah persaingan geopolitik antara China dan AS, sementara konflik LCS lebih terkait dengan sengketa kepemilikan pulau dan hak atas sumber daya alam. Keduanya memerlukan pendekatan diplomasi dan pemahaman mendalam tentang dinamika regional untuk menghindari konflik yang lebih besar.