Saya menikah dengan istri pada tahun 2015 dan mengalami kehilangan tiga kali.
Anak pertama kami adalah perempuan. Pada usia 3 bulan, dia tiba-tiba menangis terus-menerus dan tidak mau menyusu. Kami membawanya ke dokter dan dirujuk ke rumah sakit, namun dalam perjalanan, dia meninggal di pangkuan istri saya. Pada awalnya, kami tidak menyadari bahwa dia sudah meninggal. Ketika dia tiba-tiba berhenti menangis, kami merasa lega dan pikir dia sudah merasa lebih baik. Namun, saat saya memeriksa, kaki anak kami sudah dingin dan rahangnya kaku. Saya tidak mendengar napasnya lagi. Istri saya menangis sangat keras, seperti anak kecil, sementara saya berusaha menenangkannya dan tetap tampak tenang di depannya. Di dalam hati, saya merasa sangat sedih.
Anak kedua kami adalah laki-laki. Pada usia 4 bulan, dia juga tiba-tiba tidak mau menyusu dan menangis keras. Kami membawanya ke IGD dan dia diminta untuk opname. Malam itu, dokter dan perawat memberi tahu bahwa kondisinya sangat kritis dan harapannya tipis. Saya diminta menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa kami sudah diberi informasi mengenai kondisi anak kami.
Ketika kembali ke ruangan, anak kami terlihat tidur dengan banyak kabel dan selang. Istri saya duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dan tampak sangat sedih. Saya tidak berani memberitahu istrinya tentang kondisi kritis yang baru saja saya terima, khawatir akan semakin mengguncang hatinya. Saya mencium kening mereka dan memberikan kata-kata penyemangat sebelum beristirahat untuk memulihkan tenaga. Tengah malam, istri membangunkan saya dengan tangisan hebat. Saya mendapati perawat dan dokter berusaha keras dengan alat-alat medis. Tak lama kemudian, anak kami dinyatakan meninggal. Saya memeluk istri seerat mungkin dan membiarkannya menangis sepuasnya. Saya tidak menangis di depan istri agar tidak membuatnya semakin hancur, namun saya menangis di toilet rumah sakit.
Pagi harinya, saya menelepon mertua untuk memberitahukan kepulangan kami tanpa cucu kesayangan mereka. Mertua sangat terkejut dan meminta bantuan untuk mempersiapkan makam.
Anak ketiga kami, laki-laki, juga meninggal pada usia 2 bulan. Istri saya sudah lebih tabah dan tidak menangis seperti sebelumnya. Tausiyah dari guru dan hadits Nabi tentang kehilangan anak memberikan kekuatan kepada kami. Bahkan selama di rumah sakit, saya tetap menjalankan tugas sebagai moderator ngaji online di Instagram dengan headphone agar tidak mengganggu pasien lain.
Sekarang, kami dikaruniai anak keempat yang sehat dan cantik, berusia 17 bulan. Kami mohon doa agar dia tumbuh menjadi anak yang shalihah dan berbakti kepada orang tua.
Maaf jika cerita ini membuat Anda sedih. Saya hanya ingin berbagi pengalaman yang kami alami, meskipun memang perih. Sekarang, kami sudah bisa tersenyum kembali.
Anak-anak kami didiagnosis dengan CAH (Congenital Adrenal Hyperplasia), yaitu kelainan pada kelenjar adrenal yang menyebabkan gangguan produksi hormon. Ketika tubuh kekurangan garam—misalnya karena menangis, muntah, atau keringat berlebih—kondisi mereka bisa sangat kritis karena pembuluh darah menyusut dan sulit diinfus.
Penanganan CAH memerlukan perawatan khusus. Anak-anak kami diberi Hydrokortisol dan Florinef untuk memenuhi kebutuhan garam tubuh mereka, namun obat-obatan ini sangat langka di Indonesia. Kami mengatasi masalah ini dengan menambahkan garam pada susu mereka sesuai petunjuk dokter.
CAH disebabkan oleh faktor genetik. Baik saya maupun istri adalah pembawa gen CAH, dengan rasio 1:10.000 anak yang mewarisi gen ini.
Alhamdulillah, meskipun menghadapi banyak rintangan, kami sekarang hidup bahagia. Kami yakin bahwa ujian ini adalah bagian dari rencana Allah dan kami diberi kekuatan untuk menghadapinya.
Tidak disangka banyak yang merespons dengan doa dan dukungan. Maaf saya tidak dapat membalas satu per satu. Saya aminkan doa-doa Anda dan juga mendoakan yang terbaik untuk Anda dan keluarga.
Banyak yang bertanya tentang bagaimana kami bisa tetap tenang dan tegar. Sebenarnya, saya kesulitan menjawab pertanyaan ini. Namun, menurut saya, ada dua hal yang sangat membantu kami dalam menghadapi cobaan ini:
Iman dan Cinta.
Iman: Iman yang diajarkan oleh guru-guru kami mengenai pahala bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah, serta janji Allah bahwa anak-anak kecil yang meninggal akan menjadi tabungan untuk orang tuanya di akhirat, sangat menenangkan kami.
Cinta: Cinta adalah energi yang membuat kami saling menguatkan. Saya tidak ingin istri saya merasa sedih, jadi saya berusaha menjadi kuat di depan istri. Namun, di belakang, saya juga mengalami kesedihan. Ketika istri tidak ada, saya sering pergi ke pantai dan berteriak sekeras mungkin untuk melepaskan perasaan. Setelah itu, saya merasa lebih lega.
Kami juga lebih sering traveling sebagai cara untuk menghibur diri dan sekaligus bulan madu. Kami memiliki selera yang sama dalam memilih tempat, yaitu alam, sehingga tidak perlu biaya banyak. Alhamdulillah, melalui perjalanan tersebut, istri lebih cepat hamil lagi, dan kehadiran janin di perutnya sedikit mengobati kerinduan kami terhadap anak-anak yang telah pergi.