Suatu hari saya bertemu dengan ibu M, teman dekat saya. Saya menulis namanya untuk menjaga privasinya. Ibu M tinggal di kawasan kelas atas di pusat Jakarta bersama pasangannya dan anak-anaknya. Meskipun demikian, ibu M tampak sederhana dan sikapnya tetap ramah, jauh dari sosok yang angkuh.
“nyonya bos”.
Suami ibu M adalah seorang bos besar yang ibu M tahu persis tentang kelakuan suaminya yang gemar selingkuh, baik dengan sekretaris-sekretarisnya atau pun dengan wanita lain di luar sana. Tetapi demi anak-anaknya, ia bertahan.
Sebagai istri yang diminta menjadi ibu rumah tangga dan serba dicukupi kebutuhan materi oleh sang suami, ibu M bukannya tidak punya waktu untuk menyelidiki kelakuan suaminya di luaran. Tetapi ia memilih diam. Nanti saya ceritakan alasannya di bagian akhir cerita.
Salah satu cerita perselingkuhan suaminya paling membekas padanya dan saya sendiri. Dengan air mata mengalir, ibu M menceritakan kisah ini kepada saya. Saya yakin dia tidak berbohong berdasarkan raut wajah dan gestur tubuhnya. Apa manfaatnya berbohong tentang kisah hidupnya dan keluarganya kepada saya?
Ibu M pergi ke Bandar Udara Soekarno Hatta Jakarta pada suatu hari untuk menjemput seorang teman wanitanya. Ibu M tiba-tiba melihat suaminya keluar dari area kedatangan dalam negeri saat sedang menunggu. Karena suaminya masih beberapa hari lagi pulang dari perjalanan ke luar kota, ibu M berjalan ke arahnya untuk menyapa.
Rupanya suami ibu M tidak sendiri. Ia berjalan menggiring koper sambil menggandeng seorang wanita cantik di sebelahnya. Ibu M terkesiap. Baru kali ini dia bertemu langsung dengan suaminya saat sedang berjalan mesra bersama wanita lain.
Saat mereka akhirnya berpapasan, belum sempat ibu M menyapa, suaminya sudah lebih dulu memotong, tahukah apa yang diucapkan suaminya?
“Kenalkan ini dia sekretarisku…”
Normalnya, saya juga berpikir bahwa kalimat tersebut diucapkan suami kepada sang istri (ibu M) untuk memperkenalkan si wanita yang digandengnya. Tapi ternyata tebakan saya salah. Kalimat tersebut justru diucapkan kepada si wanita yang digandengnya, yang ditujukan justru untuk memperkenalkan ibu M sebagai sekretarisnya!
Ibu M mengatakan kepada saya bahwa ia dengan sekuat tenaga menahan gemuruh di dadanya saat kejadian itu terjadi. Ibu M tidak mampu menolak saat wanita yang digandeng suaminya mengulurkan tangan untuk bersalaman. Mungkin karena sangat terkejut dengan ucapan suaminya, ia malah tak sadar balas bersalaman. Dia tidak berbicara. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
Sebagai istri sah, ibu M ditunjuk sebagai sekretaris oleh wanita muda yang secara usia lebih pantas untuk menjadi sekretaris suaminya.
Sampai di titik ini, ibu M terdiam. Air matanya meleleh. Ia tampak tidak sanggup melanjutkan ceritanya kepada saya. Saya mengulurkan tissue dan memberinya waktu. Setelah beberapa saat kemudian saya bertanya: “Terus suami ngapain?”
Ibu M melanjutkan ceritanya bahwa saat itu sekuat tenaga ia menahan tangisan di hadapan suaminya dan wanita tersebut. Setelah bersalaman, suami dan wanita tersebut berlalu ke arah mobil jemputan mereka. Ibu M tidak mengikuti mereka dan terus menunggu kedatangan temannya di bandara. Dengan lemas ia berjalan pelan untuk bersandar ke sudut tembok.
Setibanya di sudut, barulah ia melepaskan tangisannya dengan hebat. Sampai orang-orang yang lalu lalang sempat menyangka apa mungkin ada keluarganya yang meninggal. Namun ia tidak peduli. Ia terus menangis dan menutupi wajahnya sampai teman yang ditunggunya tiba dan menghubungi dirinya untuk menjemput ke titik yang mereka sepakati.
Sampai titik ini, saya tidak ingin melanjutkan cerita ibu M karena dia tampak gemetar dan air matanya terus mengalir saat mengingat peristiwa itu. Tak terbayangkan betapa sakitnya hatinya karena kejadian tersebut. Saat itu, dia tampak begitu rapuh, mata saya berkaca-kaca melihatnya.
Kami berpisah setelah dua jam. Saya harus menjemput anak saya dari kursus, jadi saya pamit pulang. Saya mendengarkan banyak cerita yang dia ceritakan selama dua jam sebelumnya; namun, jawaban ibu M atas pertanyaan saya adalah yang berikut:
“Kenapa kok masih bertahan dengan suami yang kayak begitu?”
Alasannya tidak rumit: Ketidakberdayaan.
Ibu M datang dari keluarga miskin. Setelah menikah dengan suaminya (lebih tepatnya dinikahkan), sang suami yang pengusaha besar menjamin semua anggota keluarganya. Ayah ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan dijamin pengobatannya oleh sang suami. Demikian pula dengan adik dan saudara-saudaranya, hampir semua keluarganya dibantu diberi pekerjaan di perusahaan sang suami. Hidup keluarga besarnya sangat tergantung dari suaminya.
Sampai di situ saya mulai mengerti alasan ibu M bertahan.
“Terus, apa anak-anakmu gak tahu kelakuan suamimu?” tanya saya masih dengan nada penasaran.
Ibu M menjawab: “Aku berusaha menutupinya. Walaupun mungkin di antara mereka ada yang pernah mendengar desas-desus tentang ayahnya, tapi tidak pernah sampai terbukti. Aku juga tidak ingin terjadi keributan di keluargaku. Anak-anak sudah besar, biarlah mereka bahagia dengan kehidupan mereka masing-masing. Cukup aku saja yang menanggung semuanya.”
“M, kamu gak khawatir anak-anakmu terutama yang laki-laki bisa mengikuti jejak kelakuan suamimu?”
Ibu M terdiam sejenak lalu memberikan jawaban: “Aku yakin dengan pengorbananku, anak-anakku akan sangat menghargai perempuan. Selama ini mereka sangat sayang dan peduli kepadaku, jarang yang bertanya tentang ayahnya, apalagi ayahnya juga jarang pulang ke rumah.”
“Terus M, kamu gak berniat cerai?”
“Tidak. Aku akan terus bersamanya sampai entah kapan suamiku sadar atau sampai kapan aku sanggup bertahan. Toh, dia juga sudah banyak membantu keluargaku. Aku dan keluargaku banyak berhutang budi kepadanya.”
“Tapi ini gak sehat buat jiwa kamu loh M…”
“Lex, sewaktu aku akan dinikahkan, waktu itu aku tahu pasti tidak mudah jadi istrinya, keluargaku juga melepasku dengan tangisan. Sejak awal menikah juga suami sudah bilang hidupnya tidak mau diatur. Aku tidak boleh ikut campur urusannya dan cuma diminta mengurus rumah tangga…”
Saya yang mendengar jawaban ibu M jadi terdiam. Terlalu banyak hal di dunia ini yang tidak saya pahami, yang terbesar salah satunya adalah rahasia hati wanita.
Tidak diragukan lagi, cerita ibu M mengajarkan saya banyak tentang kekuatan hidup dan pengorbanan. Ada beberapa sahabat wanita saya yang saya ceritakan kisah ibu M kepada mereka; beberapa dari mereka setuju dengan saya, sementara yang lain menganggapnya bodoh. Entahlah, tetapi hanya ibu M yang dapat memahami perasaannya.
Saya menunjukkan rasa hormat saya kepada wanita yang telah berkorban dan masih menghadapi masalah perselingkuhan pasangannya. Semoga Anda menemukan solusi terbaik.
Terima kasih sudah membaca. Salam.