Yap! Saya gay!
Saya melihat iklan Axe di TV swasta ketika saya berusia empat tahun dan saya mulai menyukai pria. Itu benar. Setiap kali Om-Om telanjang menyemprotin parfum ke tubuh mereka yang berotot, saya akan menonton TV dari jarak dekat sampai ibu saya marah.
Di kelas satu sekolah dasar, saya merasa tidak nyaman duduk sebangku dengan anak perempuan, tetapi saya senang duduk sebangku dengan anak laki-laki yang tampan. Kelas saya dipindah tempat duduk setiap hari. Saya memiliki kesenangan untuk melihat temen-temen laki-laki saya ganti baju olahraga ketika mereka berada di kelas empat SD, dan kebiasaan ini bertahan sampai saya masuk SMA. Saat saya masih di SD, saya memiliki kakak kandung yang berbeda umur 14 tahun.
Pas saya masih SD kelas 10 kami sekeluarga liburan sama-sama dan entah kenapa saya seneng banget liat kakak saya buka baju tiap kali mandi atau habis mandi. Rasanya kecewa banget gitu kalau kakak saya sudah pakai baju.
Tapi sampai SMP kelas 3 saya nggak tahu kalau saya gay. Itu saya baru tahu setelah kelas 3 saya ketahuan nyuri uang teman (saya waktu itu didiagnosa kleptomania btw) dan dihajar anak cowok sekelas, tas saya dirusak, dan saya juga dirujuk ke psikiater sama guru BK. Di Psikiater akhirnya saya baru tahu bahwa saya adalah gay. Tapi psikiater pertama agak terlalu blak-blakan dan kasar menerapi saya sehingga beliau merujuk saya ke kolega beliau. Psikiater kedua lebih baik tapi sayangnya beliau agak berlebihan dengan memberi saya obat penenang dosis tinggi yang bikin saya ngantuk terus tiap kali di rumah, ditambah beliau sering mengutip Al-Quran tentang anak durhaka dan umat Nabi Luth yang bikin Ibu saya yang seorang Katolik Roma taat nggak nyaman.
Singkatnya, ibu saya akhirnya menghentikan semua terapi saya karena tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke psikiater. Saat itu, biaya konsul ke psikiater adalah 200 ribu rupiah, dan tidak ada BPJS saat itu. Namun, sejak itu, ibu saya tidak pernah berbicara tentang orientasi seksual saya. Saya tidak lagi berbicara tentang masalah itu sebagai penghormatan kepada ibu saya yang seorang ibu sendiri. Gay saya tidak, tetapi kleptomania saya sembuh. Asosiasi Psikiater Amerika menyatakan bahwa homoseksualitas tidak dianggap sebagai gangguan jiwa setelah saya bekerja sebagai asisten pribadi direktur RS.
Selama masa sekolah menengah, ibu saya diminta untuk mengikuti kursus novis di sebuah biara Katolik. Kami hidup di sana seperti para biarawan, makan seadanya, hidup seadanya, dan sebagainya. Pada satu titik, kami juga ditawari apakah mau lanjut menjalani pendidikan 10 tahun sebagai calon pastor Katolik?
Waktu itu saya jawab ya tapi setelah saya pikir-pikir lagi sebaiknya tidak. Saya tidak mau jadi pemimpin umat yang diam-diam melanggar sumpah untuk hidup selibat (tidak kawin dan tidak berhubungan seks) seumur hidup saya. Saya tidak mau tergoda menyalahgunakan kekuasaan saya untuk merayahi tubuh-tubuh para pemuda gereja yang kemungkinan besar akan saya lakukan jika saya jadi Pastor. Selain itu Saya masih suka onani meski tidak sampai pada tahap berhubungan badan dengan lelaki atau wanita manapun.
Akhirnya saya berkuliah dan bekerja, selama kuliah saya berkali-kali naksir teman cowok yang cakep dan seksi tapi saya tahu diri untuk tidak sembarangan menyatakan cinta sesama jenis seperti ini, apalagi saat itu di kampus HTI sedang marak-maraknya dan tulisan-tulisan yang menyudutkan kaum LGBT dipasang secara vulgar di mading fakultas dan mading BEM bahkan terkadang menyudutkan kaum kwartet minoritas (Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha). Saya yang termasuk kaum minoritas dari sisi suku, agama, dan orientasi seksual sudah pasti jadi bulan-bulanan jika sampai ketahuan. Di fakultas sebelah saat itu seorang mahasiswa LGBT yang ketahuan nembak temannya sesama cowok saja sampai dipaksa DO oleh Dekannya.
Saya belajar untuk bergaul senormal mungkin dan berusaha menjadi manusia yang taat azaz dan peraturan. Saya berdamai dengan diri saya yang memiliki orientasi semacam ini dan saya juga bertemu dengan beberapa rekan yang memiliki masalah seperti saya tapi berusaha hidup senormal mungkin.
Saya selepas lulus sarjana bertemu dengan seorang Samaneri (calon biksuni) dan Biksuni aliran Tibet dan dari sana belajar untuk menerima diri apa adanya, tidak memaksakan kehendak kita pada orang lain (misalnya memaksa seorang cowok baik straight ataupun gay menyukai dan menerima cinta kita), bahagia dengan apa yang ada dan tentu saja bisa bahagia jika orang lain bahagia. Mereka berhasil meyakinkan saya bahwa apa yang saya alami ini adalah bukan salah saya dan bahwa surga pun terbuka untuk kaum-kaum seperti saya. Banyak-banyak berbuat yang bajik saja dan jangan dengarkan omongan orang, sebab otak orang lain tak sama cara kerjanya dengan otak kita dan orang lain sesungguhnya tak punya kuasa atas kehidupan kita.
Saat ini saya bekerja sebagai guru di universitas, setidaknya tiga dari siswa saya diidentifikasi memiliki orientasi seksual gay. Satu orang bahkan menyatakan cintanya kepada Kaprodi saya secara terang-terangan, yang menyebabkan kegembiraan besar di kampus. Bahkan Kaprodi saya sempat menginginkan anak ini dikeluarkan dari kampus. Namun, saya kemudian mendukung si anak dan menyatakan bahwa dia dapat “diarahkan”. Sejak saat itu, saya menjadi dosen bimbingan konseling “tidak resmi” di kampus itu, terutama untuk mahasiswa yang terindikasi LGBT.
Melalui pengalaman saya pribadi dan pertolongan teman-teman dan guru-guru saya di masa lampau, saya mencoba mengajak teman-teman mahasiswa yang punya kecenderungan LGBT ini untuk bisa hidup bahagia dengan menerima diri apa adanya, menerima realitas bahwa pacar mereka yang sesama jenis pun mungkin suatu saat putus hubungan dengan mereka, mencoba memfokuskan mereka pada kuliah, dan berhenti menghancurkan diri sendiri dengan pikiran-pikiran negatif. Sebab saya tahu teman-teman ini biasanya mengalami tekanan emosional yang sangat besar baik dari masyarakat maupun orangtua dan celakanya mereka tidak tahu harus minta tolong pada siapa.
Teman-teman dan kolega tak ada yang tahu bahwa saya gay, sehingga berkali-kali saya mau dijodohkan dengan kenalan mereka, adik mereka bahkan pernah hampir dijodohkan sama Pembesar Perguruan Tinggi yang masih perawan kasep di usianya yang ke-40 ini. Tapi untunglah semua tawaran itu bisa saya tolak.
Saya terhitung masih ‘perjaka’ meskipun saya termasuk golongan TOP/SEME. Saya belum pernah meniduri seorang pria atau wanita manapun. Untuk memuaskan nafsu paling saya hanya onani. Berpikiran mesum? Pasti lah! Tapi mesum saya hanya sampai di pikiran saja, tidak sampai dieksekusi di dunia nyata. 😀
Dan yang terpenting : meski saya gay saya bahagia dengan hidup saya dan saya selalu berusaha tidak mengancam serta membahayakan kehidupan orang lain.
Ingat! Tidak semua kaum gay itu semesum yang digambarkan dalam film dan komik BL/Yaoi :))