Beragama tidak dengan akal
Jangankan untuk memahami tentang privilese sebagai pribumi (karena untuk memahaminya membutuhkan logika tingkat tinggi), untuk berpositif pikir dan memahami perkara vaksinasi saja sangat ngeyel.
Kelebihan dosis agama
Baiklah, saya muslim, tetapi saya beruntung karena saya tidak terlalu banyak menganut agama saya. Meskipun saya sembahyang dalam bahasa Arab, saya tidak akan setuju jika semua aspek kehidupan saya diatur oleh timteng-sentris, atau kearab-araban. Saya menyukai budaya asli Indonesia karena kebaya dan kecantikan rambut yang terurai dari wanita Indonesia standar.
Jika saya harus memilih peradaban lain untuk kemajuan sosial, saya akan memilih peradaban eropa dan barat (hollywood-sentris). Ini karena manfaat produk teknologi barat telah menjadi kebutuhan sehari-hari yang membantu aktivitas manusia di Bumi. Sebagai contoh, ponsel, internet, media sosial, kendaraan, dan lainnya.
Selain itu, bagi mereka yang merasa minoritas, biasanya adalah orang-orang yang terjebak dalam kefanatikan agama yang membuat mereka terjerat dalam lingkaran setan “klaim benar” karena banyaknya aliran agama (seperti Syiah, Sunni, Salafi-Wahabi, dll.) yang tidak akan pernah rukun sampai akhir zaman dan masing-masing merasa benar sepenuhnya dan mengkafirkan siapa pun yang tidak sejalan dengan mereka.Ribet sekali lagi tidak! Salah satu alasan mengapa saya tidak mau menjadi fanatik adalah karena saya lebih suka bersikap moderat.
Banyak orang tidak mau mengakui kesalahan mereka dan tidak mau menilai. Mereka juga selalu berprinsip, “Mahabenar ana atas segala sesuatu.”
Faktanya, agama mayoritas adalah agama pendatang. Jika ada pribumi yang sembahyang pakai bahasa arab, lalu merasa minoritas, artinya dia hidup sebagai warga timur tengah, bukan indonesia, dan mereka pantas merasa minoritas. Tetapi, bagi kita yang pribumi, sembahyang pakai bahasa arab, berbudaya indonesia, tidak fanatik, dan tidak merasa minoritas artinya kita adalah Orang Indonesia yang tulen.
Fiat Camel Valentino Rossi