Ini adalah cerita tentang tante saya.
Dia adalah sosok yang sangat saya kagumi—pintar, cantik, dan di usia muda sudah mendapatkan pekerjaan yang sangat menjanjikan secara finansial sebagai seorang hakim. Dengan semua prestasinya, dia menjadi kebanggaan keluarga. Saat kecil, setiap kali ada yang bertanya “kamu mau jadi apa?”, saya pasti menjawab, “mau jadi hakim, biar kayak Tante!”
Tante saya adalah orang yang kalem, sopan, dan tidak suka mencari masalah. Dia hobi membaca buku, mengaji, dan paling benci jika ada orang bergosip. Jika mendengar orang lain bergunjing, dia lebih memilih untuk pergi daripada ikut terlibat. Alasannya sederhana, “saya nggak punya masalah dengan dia, jangan hasut saya agar membenci orang lain.” Betapa luar biasanya prinsip itu, bukan?
Namun, semuanya berubah saat tante dipindahkan ke Liwa karena pekerjaannya sebagai hakim memang menuntut perpindahan tempat kerja setiap beberapa tahun sekali. Tante yang dulunya sangat penurut mulai sering marah-marah dan bersikap keras terhadap orang tua. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya, karena tante adalah orang yang sangat tertutup. Bahkan kepada keluarga sekalipun—ibu, kakak, atau adiknya—dia tidak pernah bercerita.
Keanehan-keanehan semakin terlihat. Tante saya sering berbicara sendiri, marah-marah pada keponakan karena hal-hal sepele, dan pernah ditegur keras oleh nenek saya karena menggampar keponakannya. Dia berubah total, seperti bukan dirinya lagi, dengan tatapan yang kosong. Keluarga sempat menduga tante kesurupan dan membawanya ke tempat rukiyah, tapi tidak ada hasil. Tidak ada perubahan sedikit pun.
Akhirnya, tante dijodohkan dengan seorang pria. Mereka melakukan pendekatan singkat sebelum memutuskan untuk menikah. Ada kejadian aneh saat pernikahan mereka; tepat ketika doa pernikahan diucapkan, khususnya pada bagian “semoga mempelai memiliki rumah tangga yang sakinah, mawadah, warrahmah,” tiba-tiba terdengar guntur dan kilatan petir meskipun langit cerah. Orang-orang bertanya-tanya, apakah itu pertanda buruk?
Tak lama setelah pernikahan, Kakek yang sudah sakit-sakitan meninggal dunia. Pada saat semua orang berkabung, tante malah bereaksi sebaliknya; dia tertawa, menyetel musik dengan volume keras, dan berjoget. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan nenek saat itu—hati nenek hancur, baru saja kehilangan pasangan hidupnya dan harus menghadapi sikap puteri kesayangannya yang tak wajar.
Setelah Kakek dimakamkan, keluarga akhirnya memutuskan, melalui musyawarah dengan suami tante, untuk membawa tante ke sebuah tempat pengobatan yang terpencil. Saya masih ingat suasananya—kumuh dan lebih mirip penjara. Di sana, saya melihat tante dipasung. Kakinya dirantai dengan kayu pasung. Nenek menangis, tidak tega, tapi kami semua tidak tahu harus bagaimana lagi.
Cerita tentang Tante Anda begitu menyentuh, penuh dengan perjuangan, rasa sakit, dan pengorbanan yang luar biasa. Ini adalah kisah nyata yang membuka mata tentang betapa pentingnya kesehatan mental, dan bagaimana tekanan dari ekspektasi orang lain bisa membentuk hidup seseorang dengan cara yang tidak terduga.
Tante Anda, seorang wanita yang pada dasarnya sangat kuat, cerdas, dan penuh dedikasi, menghadapi begitu banyak cobaan dalam hidupnya—dari perubahan perilaku yang tidak terjelaskan, masalah mental yang berat, hingga perjuangan melawan penyakit fisik yang mematikan. Sangat memilukan bagaimana hidupnya, yang pada awalnya begitu menjanjikan, berubah drastis karena tekanan yang tidak pernah diungkapkan kepada siapapun.
Cerita ini juga menunjukkan bagaimana stigma terhadap penyakit mental masih sangat kuat pada masa itu, ketika seseorang yang mengalami gangguan mental langsung dihakimi, dipasung, atau dianggap sebagai orang yang kerasukan. Dalam banyak kasus, kurangnya pemahaman dan empati terhadap kesehatan mental hanya memperparah keadaan orang yang bersangkutan, seperti yang terjadi pada Tante Anda.
Dari cerita ini, kita belajar bahwa sering kali ada beban besar yang tersembunyi di balik senyuman seseorang yang terlihat baik-baik saja dari luar. Orang-orang seperti Tante Anda mungkin terlihat tangguh dan tanpa masalah, tetapi sebenarnya menyimpan luka yang sangat dalam. Ini mengingatkan kita untuk lebih peka, tidak mudah menghakimi, dan selalu berusaha mendukung orang-orang di sekitar kita, terutama ketika mereka mulai menunjukkan tanda-tanda yang tidak biasa.
Pesan Anda di akhir cerita sangat kuat dan relevan—bahwa kita semua harus berani hidup berdasarkan pilihan kita sendiri, bukan berdasarkan tekanan atau ekspektasi orang lain. Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam keadaan tertekan dan terpaksa melakukan hal-hal yang bukan keinginan kita sendiri.
Saya turut berduka cita atas kepergian Tante dan Nenek Anda. Semoga mereka mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, dan semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih menghargai kesehatan mental dan kebebasan memilih jalan hidup kita sendiri. Terima kasih telah berbagi cerita ini, yang pasti akan menginspirasi banyak orang untuk lebih peduli dan lebih berani dalam menentukan langkah hidup mereka.