Soekarno, meskipun seorang pemimpin berkarisma, kurang memahami aspek teknis kemiliteran. Idealnya, seorang presiden, terutama yang juga menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia menurut Pasal 10 UUD 1945, harus memiliki pemahaman dasar mengenai strategi militer. Walaupun tidak perlu mendetail, setidaknya dia harus bisa membuat perkiraan strategis berdasarkan situasi yang ada.
Dalam konteks ini, salah satu keputusan penting yang diambil Soekarno adalah terlibat dalam Kampanye Dwikora/Konfrontasi terhadap Malaysia (1964-1966). Keputusan ini ternyata sangat kontroversial, mengingat TNI Angkatan Darat sudah menghitung bahwa Indonesia, dengan anggaran militer yang menghabiskan 60% APBN dan perekonomian negara yang terganggu, tidak akan mampu menang melawan pasukan Kontingen Persemakmuran (Inggris, Australia, dan Selandia Baru) yang memiliki persenjataan dan pengalaman perang lebih baik. Di sisi lain, TNI Angkatan Udara di bawah pimpinan Marsekal Madya Omar Dhani tetap bersikeras untuk melanjutkan perang sesuai perintah Soekarno, meskipun ini mengakibatkan perselisihan internal antara TNI AD dan TNI AU.
Menurut cerita dari Pakde, purnawirawan Paskhas TNI AU, pengalaman tersebut mencerminkan ketegangan antara angkatan bersenjata dan stigma yang melekat pada mereka selama era Orde Baru. Pengalaman ini menunjukkan bagaimana keputusan politik yang kurang didasari pemahaman teknis yang mendalam bisa berujung pada masalah besar yang berpotensi merugikan negara.
Selama Kampanye Dwikora, prajurit TNI AU menghadapi tantangan besar di hutan-hutan Kalimantan dan Semenanjung Malaya dengan dukungan logistik yang sangat minim. Meskipun prajurit sangat terlatih dan berani, keterbatasan logistik mempengaruhi kemampuan mereka dalam menghadapi lawan, seperti pasukan Gurkha.
Pengangkatan Marsekal Omar Dhani sebagai Panglima Komando Mandala Siaga dan Mayor Jenderal Soeharto dari TNI AD sebagai wakilnya memperburuk rivalitas antara TNI AD dan TNI AU. Soeharto, yang memiliki pengalaman sebagai Panglima Mandala pada Kampanye Trikora, merasa bahwa Omar Dhani, yang lebih muda, tidak cukup kompeten untuk merencanakan operasi militer berskala besar dengan kompleksitas tinggi.
Brigadir Jenderal Achmad Wiranatakusumah, satu-satunya jenderal yang berani menentang perintah Soekarno, mengkritik rencana untuk melaksanakan serangan besar-besaran terhadap Malaysia. Dia menilai bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan strategis dan kekuatan tembak yang cukup untuk memenangkan perang dalam satu pukulan dan merekomendasikan strategi bertahap.
Dalam rapat Komando Gabungan Siaga (Koga), Soekarno menginginkan operasi militer yang menunjukkan kemampuan Indonesia, termasuk serangan udara besar-besaran. Namun, Jenderal Wiranatakusumah menyarankan pendekatan yang lebih hati-hati, dengan fokus pada operasi tertutup dan meningkatkan kapasitas pengangkutan udara.
Selama konfrontasi, TNI AD, yang termasuk unit pasukan khusus seperti RPKAD dan Banteng Raiders, berhadapan langsung dengan pasukan Persemakmuran yang memiliki keunggulan dalam hal teknologi dan mobilitas. Operasi Claret yang dilakukan oleh pihak Persemakmuran secara efektif mengubah inisiatif pertempuran, dengan Inggris menggunakan helikopter untuk mendukung mobilitas pasukan dan mengatasi penyusupan pasukan Indonesia.
Kekalahan di pihak Indonesia, termasuk kehilangan besar dalam satuan elit TNI AU seperti Paskhas, menunjukkan dampak negatif dari keputusan strategis yang diambil tanpa perhitungan matang. Kampanye Dwikora, yang lebih dipandang sebagai ambisi pribadi Soekarno, mengakibatkan kerugian besar dan memperburuk ketegangan antar angkatan TNI. Akhirnya, hal ini melemahkan ketahanan nasional dan berdampak pada pergantian rezim serta penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing, menjauhkan cita-cita Founding Fathers untuk kesejahteraan rakyat.
Bagaimana mungkin mengorbankan prajurit remaja Baret Jingga hanya demi ambisi seorang pemimpin yang kurang memahami teknis kemiliteran dan dikelilingi penjilat? Banyak dari mereka adalah anak-anak kebanggaan keluarga, yang telah mengubah nasib dan mengangkat derajat keluarganya. Mereka semua adalah manusia biasa dengan keterbatasan, yang berjuang dengan penuh dedikasi namun harus menghadapi risiko besar karena keputusan yang tidak matang.