Apa yang membuatmu menyukai sinetron “Si Doel Anak Sekolahan”?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
BICARA tentang sinetron si Doel Anak Sekolahan tidak lepas dari sosok pemeran utama yang membintanginya. Siapa lagi kalau bukan Rano Karno, aktor serba-bisa putra pasangan Soekarno M. Noer—yang juga merupakan aktor legendaris kenamaan Indonesia—dan Lily Istiarti.
Rano telah memerankan karakter si Doel sejak umur 12 melalui film Si Doel Anak Betawi (1973)[1] berdasarkan novel berjudul sama karya Aman Datuk Madjuindo, tahun 1932, yang juga diadaptasi bebas pada sinetron Si Doel Anak Sekolahan produksi Karnos Film, 1994-2004.
Aku sendiri baru menyimak Si Doel belakangan lewat tayangan ulangnya. Karena dulu, selain masih kecil, juga enggak begitu suka sinetron. Saat menyaksikan tayangan ulang Si Doel di RCTI maupun cuplikannya di channel YouTube mereka, aku langsung dapat menemukan hal-hal yang membuat sinetron ini digandrungi kalangan lintas-generasi.
1. Hikayat si Doel yang kendati pun sudah jadoel, namun masih relate dari zaman Orba bahkan hingga rezim ini.
Sinetron Si Doel mengusung tema serta plot yang realistis, masuk akal, tidak muluk-muluk, namun sanggup memberikan tuntunan yang relevan sekaligus. Menceritakan kehidupan keluarga Kasdulah alias Doel (Rano Karno) yang memiliki latar belakang tradisional Betawi, di tengah perkembangan zaman yang semakin modern.
Orangtua Doel diperankan Benyamin Sueb (sebagai Babe/Sabeni) dan Aminah Cendrakasih (Nyak/Lela) yang dikisahkan buta huruf. Demikian pula Mandra, adik Nyak yang dipanggil Doel dengan sebutan Bang Mandra—alih-alih Encang. Sedang adiknya, Zaitun alias Atun (Suti Karno) bisa membaca, karena sempat mengenyam sekolah dasar.
Doel disekolahkan hingga perguruan tinggi untuk menghadapi persaingan zaman—sebuah hal penting yang segera disadari Babe maupun Doel sendiri. “Ibarat kate, biar Babe ame Nyak lu buta hurup kage bise bace, Babe redo segale taneh, bande, ludes, bakal lu jadi tukang insinyur! Supaya lu punya masa depan, kagak dibodo-bodoin orang, kagak diinjek-injek orang!”
Pada kesempatan lain, Babe juga berharap agar si Doel sebagai orang Betawi bisa jadi tuan rumah di kampung sendiri. “Orang dari mane-mane dateng ke Jakarta, udah sumpek nih Jakarta. Malah lu mau lari ke tengah lautan (Natuna)! Gua kasih tahu, Doel, elu kan anak Betawi, mustinya lu bangun nih kota Betawi!”
Sebuah penggambaran yang luar biasa dari Babe. Dulu aja Jakarta udah sumpek digembrongin orang dari mane-mane udah kayak laler gembrongin bangke, malah orang Betawi harus tersisih ke laut. Bahkan sebagai insinyur dan putra Betawi yang jujur dan anti-KKN, tak lantas membuat Doel mendapat tempat di kampung sendiri. Terang aja Babe gak sudi!
2. Penokohan yang kuat berhasil ditampilkan para pelakon dengan apik dan paripurna.
Selain tema dan cerita, penokohan yang kuat namun natural juga menjadi kelebihan sinetron ini. Sebut saja Babe Sabeni, sosok kepala keluarga yang tegas sekaligus kocak. Nyak Lela yang hangat dan penuh kasih, Doel yang senantiasa memegang prinsip, hingga Mandra yang ceplas-ceplos.
Masing-masing karakter ini dibuat demikian hidup, seakan-akan mereka hanya berimprovisasi sepanjang adegan seperti sedang main lenong. Sebagai trivia, tokoh Mak Nyak dan Mandra, sekalipun kakak-beradik, namun mereka berbicara dalam dialek Betawi yang berbeda, lho!
Tak hanya karakter Betawi yang diperankan aktor dan aktris Betawi, tokoh Sarah yang dikisahkan berlatar belakang Holland diperankan Cornelia Agatha yang memang memiliki darah Belanda—Yahudi, dan Minahasa. Demikian pula tokoh-tokoh Jawa, Sunda, dan Tionghoa, seperti Mas Karyo, Mang Ujang, dan Ko Ahong. Hal ini memudahkan pemeran untuk mendalami karakternya.
Pemilihan (casting) para pemain merupakan hal penting, mendasar, dan tidak asal. Karena pemirsa akan melihat kemampuan akting para pemeran dan chemistry yang dibangun antar-mereka, agar pesan moral dalam cerita dapat tersampaikan dengan baik, bahkan hingga ke sanubari pemirsa.
Perbedaan adat dan status sosial tokoh utama, yaitu Doel dan Sarah menjadi konflik utama serial ini: antara si miskin dan si kaya, si modern dan “si primitif” (Doel dikatai demikian oleh Roy), si Holland dan “si inlander”, bahkan si Muslim dan si “non” (agama Sarah tidak pernah terekspose) membuat kisah Doel dan Sarah lebih dari sekadar kisah percintaan biasa. Namun semua ditampilkan tidak berlebihan dan sewajarnya.
3. Karakter si Doel sebagai protagonis yang dipresentasikan secara manusiawi, dalam banyak hal menjadi teladan bagi generasi muda.
Doel dikisahkan sebagai pemuda cerdas yang tengah berjuang mengejar cita-cita, menjunjung adat-istiadat Betawi, jujur, santun, rajin sembahyang, nurut orangtua, penuh empati. Sosok idealis yang memegang prinsip: anti-korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini ditunjukkan Doel dalam banyak adegan. Secara gamblang menyuarakan semangat reformasi.
Namun di sisi lain, ia kurang dapat menunjukkan ketegasan dan berubah plin-plan alias labil ketika dihadapkan pada dilema cinta segitiga yang mengekangnya. Jadi, kalau soal keluarga dan cita-cita, si Doel bisa galau berat, tapi kalau urusan asmara, entah ia arsipkan di laci nomor berapa alias enggak peka. Hashtag anti-bucin-bucin club, lah!
Dalam hal ini, si Doel menjadi representasi manusia biasa; laki-laki Indonesia pada umumnya: sawo matang, kumisan, bongsor, sendalan, sarungan. Bukan sosok pangeran yang memiliki kesempurnaan fisik seperti stereotipe sinetron jaman now yang kerap digambarkan sebagai cowok indo, mancung, tinggi, semampai, baik hati, saleh, suci, tajir-melintir, tanpa cela, bahkan tanpa sandal jepit (padahal kita semua memakainya).
Bandingkan dengan sinetron dan film jaman sekarang yang meng-casting calon pemain hanya dari jumlah followers Instagram dan penampilan fisik artisnya (edgy) aja, tanpa mempertimbangkan kecocokan dengan tokoh yang akan diperankannya. B.J. Habibie dan Benyamin S. jelas dua pribadi yang kontras, kita enggak akan habis pikir bagaimana dua figur berbeda fisik dan karakter bisa diperankan oleh aktor yang sama dalam film.
4. Setting tempat diambil dari lokasi yang sebenarnya, sehingga tampak nyata.
Cerita Si Doel mengambil setting di berbagai tempat, mulai dari lingkungan rumah keluarga Doel—yang secara ironis berada di belakang komplek perumahan elite; lingkungan kampus Universitas Pancasila, rumah sakit, pabrik, perkantoran, tempat umum seperti Monas, Bundaran HI, Stadion Gelora Bung Karno, Bandara Soekarno-Hatta, hingga sudut kota Belanda dan Swiss.
Bandingkan dengan sinetron zaman sekarang yang mengambil lokasi shooting di situ-situ saja, di komplek itu-itu juga. Pemirsa akan langsung tahu kalau lokasi yang dijadikan kantor, kampus, sekolah, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, rumah tetangga, dan “jalan raya” itu sebetulnya adalah rumah yang sama dan jalan komplek yang telah didekorasi ulang.
Padahal dalam Si Doel, mereka sanggup membangun suasana yang natural dengan beragam properti khas di jamannya (dan menjadi vintage di zaman ini), seperti: rumah si Doel, oplet, warung, ranjang besi, amben, tanjidor, kang kredit, setrika arang, hingga onthel. Sontak membuat serial ini semakin bernilai (klasik) untuk ditonton generasi saat ini. Bahkan opletnya berharga 1 miliar, sekarang.
Ketika, sinetron dan film jaman sekarang malah tidak terus terang dengan realita sosial kita yang sebenarnya dan cenderung mengada-ada.
Selain itu, sinetron jaman now juga kerap menampilkan tokoh eksekutif seperti manager, direktur, CEO, dan staf pegawai, tapi ora danta alias gak jelas mereka bekerja di perusahaan bidang apa? Bandingkan dengan si Doel yang memiliki latar belakang pendidikan jelas, yaitu insinyur teknik dan kelihatan (sesuai) secara eksplisit apa yang dikerjain di kantornya.
Demikian pula penampilan para pemeran pendukung bukan cuma buat manjang-manjangin jumlah episode doang, tetapi kehadiran mereka turut menunjang kelangsungan cerita menjadi lebih kompleks dan menarik, seperti Zaenab (Maudy Koesnadi), Adam Stardust (Hans), H. Tile (Engkong Ali), hingga Sindy “Saras 008” Dewiana (Lala).
5. Kritik sosial di mana-mana, tak jarang mengekspose sisi lain kaum Betawi.
Selain mengangkat tema kesederhanaan, sinetron Si Doel bahkan dibuat dengan semangat kesederhanaan sineas yang menggarapnya melalui rumah produksi milik keluarga, Karnos Film. Namun tetap sanggup menghadirkan tayangan berkualitas dan mapan sampai sekarang. Dengan kata lain, murah tapi enggak murahan. (Aku bahkan tidak membahas teknis mereka yang mumpuni dalam membuat film bagus dibandingkan teknologi yang semakin mutakhir, saat ini).
Rano sebagai anak ke-3 dari 6 bersaudara, mempunyai seorang kakak bernama Rubby Karno dan Tino Karno, sedangkan adik-adiknya, antara lain Santi, Suti, dan Nurli Karno. Tino dan Suti Karno turut bermain dalam Si Doel Anak Sekolahan yang disutradarai oleh Rano sendiri. Sementara Rubby Karno bertindak sebagai produser.
Mereka, dalam banyak kesempatan, telah melakukan kritik-kritik sosial bahkan politik dalam adegan maupun dialog secara tersirat (implisit) seperti dialog Babe di atas. Omongan Babe yang sekali pun nyablak, tapi berisi. Sarat akan sarkasme dan satire—enggak kayak sinetron sekarang yang miskin dialog dan kopong. Maka tak heran banyak adegan-adegan ikonis dan memorable dalam Si Doel, bahkan menjadi jargon.
Adegan ketika Babe Sabeni teriak-teriak sambil joget-joget kegirangan atas kelulusan si Doel dari pendidikan teknik, misalnya. Menunjukkan demikian besarnya ekspektasi orangtua kepada anak-anak mereka.
Adegan ketika badan Atun yang gempal kejepit terompet tanjidor, sehingga merepotkan semua orang, seakan-akan ingin menunjukkan betapa tanjidor tidak dipandang sebagai nilai kebudayaan, melainkan benda usang yang ketinggalan zaman.
Adegan keluarga si Doel pergi berziarah ke makam orangtua yang telah dibangun menjadi Stadion GBK. Orang Betawi bahkan enggak mendapat cukup ruang untuk menghormati sejarah leluhurnya karena habis dibabat “pembangunan”.
Adegan kocak saat Bang Mandra rebutan Lala sama Engkong;
Adegan ketika Babe meninggal dalam perjalanan pulang dari liburan keluarga yang diakomodasi Sarah;
KARENA digemari, sinetron Si Doel ditayangkan dalam 7 season dan mencapai 162 episode di dua stasiun berbeda, yaitu RCTI (1994-2000) dan Indosiar (2000-2004) dilanjutkan dengan Si Doel Anak Gedongan (2005). Tentu saja dengan proses produksi yang tidak tergesa-gesa (baca: kejar tayang) sebagai upaya menjaga kualitas. Sejak 2009, serial Si Doel ditayangkan ulang di RCTI, hingga dibuat trilogi Si Doel The Movie (2018–2020).
Masyarakat Indonesia sudah cerdas dalam memilih tayangan, kendati memang belum merata. Masih ada sebagian masyarakat yang mengira program-program televisi yang diselipi atribut keagamaan sebagai program religi yang layak ditonton. Kenyataannya, Si Doel yang tidak mengusung tema agama, justru mengandung pesan moral yang demikian religius, mengangkat nilai-nilai ketimuran, dan meski bermuatan kritik sosial, dengan cerdiknya tetap dapat menjaga jarak dari sensasi maupun kontroversi.
Semoga ke depannya semakin banyak sineas yang membuat tayangan-tayangan berkelas semacam si Doel. Enggak harus di teve, lho! Banyak platform yang bisa digunakan (seperti film pendek yang santer belakangan), dan Si Doel hanyalah salah satu referensi yang bisa dipilih. Jangan tayangan “azab” atau “ababil” mulu.
Basi. (*/msl)
Catatan Kaki
[1] https://youtu.be/40nQjOftHHk