Apakah beban kerja pada dunia perbankan sangat berat? Sehingga banyak yang resign dari dunia perbankan?
Atikah KhanzaTeacher
Apakah beban kerja pada dunia perbankan sangat berat? Sehingga banyak yang resign dari dunia perbankan?
Share
Ahem, kok pertanyaan ini menyentil ulu hati saya ya. Hahaha. Baiklah, saya akan bercerita tentang pengalaman saya memutuskan berhenti bekerja di bank. Siapkan kuaci dan air segalon untuk mendengarkan eh membaca dongeng saya.
Ada yang ngerasa kayak gini?
Sebelum memutuskan resign dari salah satu bank BUMN, saya telah bekerja selama 15 tahun. Bukan waktu yang singkat terlebih saya telah memiliki posisi cukup baik dalam pekerjaan tersebut. Gaji dan bonus yang saya dapatkan sudah lebih dari cukup untuk digunakan bersenang-senang bersama keluarga kecil saya. Namun akhirnya pada satu titik saya merasa inilah saat yang tepat bagi saya untuk berhenti bekerja di bank.
Dulu saya berdinas di divisi operasional. Seringkali pindah cabang, bertemu orang baru namun sayangnya dengan rutinitas yang itu-itu saja. Tentu saja makin tinggi posisi jabatan seorang karyawan maka makin besar pula beban kerja yang harus dipikul. Saya mulai bekerja sebagai teller hingga terakhir berhenti di posisi wakil pimpinan cabang. Posisi terakhir benar-benar menguras energi baik tenaga dan pikiran, terlebih saat itu saya bekerja dengan atasan yang pasif.
Ah cemen, masa gitu aja nyerah. Cengeng!
Mungkin banyak yang berkata demikian saat saya memutuskan berhenti. Banyak sekali nasabah yang menyayangkan keputusan saya, begitu pula atasan yang berkata tak lama lagi saya akan promosi jadi kepala cabang juga. Saya lantas mengevaluasi diri, apa sebenarnya yang saya inginkan dalam hidup. Sedari awal saya memang tidak berminat memperpanjang karir di divisi operasional bank namun pindah divisi amatlah sulit di perusahaan saya.
Berhenti bekerja di satu-satunya perusahaan tempat saya pernah bekerja belasan tahun tidaklah mudah. Suami pun cukup keberatan karena keputusan itu tentu berdampak besar bagi finansial keluarga kami. Namun urusan anak dan kesehatan mental saya jadi alasan utama saya ingin berhenti. Ya, saya benar-benar stres dan depresi selama bekerja di bank. Saya lelah berusaha tersenyum padahal saya ingin menangisi banyak hal. Jangan salah, saya suka sekali bekerja. Saya pun berusaha sebaik mungkin menyelesaikan semua tanggung jawab yang ada, namun sayangnya sedari awal saya merasa ini bukan tempat saya.
Bekerja di divisi operasional membuat saya hapal luar kepala bagaimana menyelesaikan berbagai jenis komplain dan masalah nasabah. Belum lagi urusan target ini itu yang harus saya selesaikan pula dengan sempurna. Jangan harap saya bisa ambil cuti saat laporan tri wulanan atau akhir tahun, itu saatnya saya lembur memenuhi target. Saat cuti ponsel haram dimatikan, nasabah prioritas dan atasan saya pasti akan mrnghubungi saya untuk berbagai urusan. Makan siang terlambat atau tidak sama sekali ditambah stres berkepanjangan membuat saya rutin rawat inap di rumah sakit dua kali setahun karena tipes.
Urusan anak? Wah sepertinya saya harus banyak berterima kasih pada orangtua yang telah membantu mengurus anak semata wayang saya ketika dulu bekerja. Antar anak di hari pertama sekolah, anak pertama berjalan, apa itu? Saya bahkan tidak melakukan itu. Saya hanya memikirkan urusan kantor, urusan anak saya serahkan sepenuhnya pada ibu. Kompensasi pada anak hanyalah seabrek mainan dan makanan bergizi saja. Menyedihkan.
Lantas apakah beban kerja di bank sangat besar?
Sayangnya beban kerja yang besar tampaknya hanya ada di divisi operasional. Maaf saja, teman-teman yang berdinas di kantor pusat atau divisi non operasional bisa beramai-ramai keluar untuk makan siang. Sementara orang yang berada di divisi operasional bahkan ingin beribadah pun buru-buru. Mungkin benar adanya, berada di bawah membuatmu harus bekerja lebih keras dari yang lain ya.
Bukan lelah akan beban kerja, alasan utama saya berhenti karena saya merasa tidak bisa berkembang dan menggali potensi diri. Berada di posisi operasional membuat saya terjebak dalam rutinitas monoton yang amat menjemukan. Jangan heran, mengunjungi nasabah untuk bernegosiasi atau presentasi bisnis jadi sarana refreshing bagi saya. Sejenuh itu saya pada rutinitas cabang yang itu-itu saja. Saat ini saya sedang berusaha berbahagia jadi ibu rumah tangga, mencoba membayar hutang waktu pada anak. Umur yang tak lagi muda tampaknya makin mempersulit saya mencari pekerjaan baru.
Jika orang lain resign untuk urusan hijrah, saya cukup dengan alasan bosan. Jadi beratkah bekerja di bank? Iya, saya tidak kuat. Kamu saja.