Bagaimana cara mengatasi anak yang tiba-tiba merengek minta dibelikan sesuatu yang memang tidak perlu?
Ammar MufadhalExplainer
Bagaimana cara mengatasi anak yang tiba-tiba merengek minta dibelikan sesuatu yang memang tidak perlu?
Share
Jawabannya bisa bermacam-macam, tergantung usia anak.
Ini pengalaman saya dengan 3 anak lelaki saya yang masih kecil-kecil.
Ketika Anak Masih Sangat Kecil
Ketika anak masih sangat kecil dan belum bisa diajak berkomunikasi 2 arah (misalnya usia 1–3 tahun) ini strategi saya:
Mengapa sebaiknya kita tidak langsung mengabulkan keinginan anak jika dia merengek-rengek dan menangis? Banyak alasannya:
Percaya deh, awal-awal mungkin kelihatan baik-baik saja jika kita langsung menuruti keinginan anak jika dia merengek, tapi sebetulnya itu hanya akan menumpuk masalah, dan ke depannya ortu sendiri yang akan capek dibuatnya.
Mengenalkan Konsep Uang
Selain itu, saya berusaha mengenalkan konsep “uang” kepada anak saya sejak dini.
Memang bukan hal yang mudah, karena ketika masih kecil sekali mereka belum bisa berhitung, bahkan belum mengenal konsep angka. Tapi yang saya sampaikan adalah pemahaman tentang konsepnya, bukan uangnya.
Intinya, saya memberi pemahaman bahwa:
Tentu cara penyampaiannya tidak segamblang menggunakan kata-kata di atas, tapi dengan cara dan bahasa yang dimengerti oleh anak kecil sesuai usianya.
Awal mengenalkannya sesederhana mengajak anak melihat kita membayar di kasir setiap kali kita membeli sesuatu di toko. Sebelum dia bisa menggunakan atau memakan apa yang dia ambil dari rak toko, kita ajak dia untuk membayarnya dulu di kasir.
Di lain kesempatan, saya memberi pemahaman bahwa setiap barang di toko itu ada harganya, dan harganya bisa mahal atau murah. Kalau murah, mungkin bisa langsung kita beli, dan kalau mahal bukan berarti kita tidak bisa membelinya, tapi perlu ada usaha dulu, yaitu menabung (saya pantang mengatakan tidak punya uang, karena itu seolah menjadi doa untuk diri sendiri). Saya biasa memberi pilihan atau perbandingan dengan barang lain, agar dia paham seberapa mahal murah itu. Karena jika saya sebut angka, dia juga belum mengerti.
Kalau anak sudah agak besar dan sudah bisa diajak berkomunikasi dua arah dan berdiskusi, ini akan lebih mudah.
Pernah anak saya tiba-tiba minta dibelikan suatu mainan di mal, saya tidak buru-buru menolaknya, tapi saya ajak dia berdiskusi. Saya tanya itu mainan apa, bagaimana cara mainnya, apa manfaatnya, kenapa dia suka. Apakah dia butuh mainan itu? Dari situ diskusi kemudian berkembang, termasuk melihat harganya. Dari situ saya kasih perbandingan bahwa dengan harga segitu, sedikit lagi bisa membeli barang yang sebetulnya sedang dia inginkan. Apa uangnya mau digunakan untuk membeli mainnan ini, atau disimpan dulu untuk membeli barang yang dia inginkan nanti? Akhirnya dia memilih untuk mengesampingkan keinginan membeli mainan itu.
Mengajak diskusi adalah salah satu trik, karena kalau saya langsung menolak dan berkata tidak boleh, anak bisa langsung ngambek atau mungkin malah tantrum, yang justru malah makin susah untuk diajak berkomunikasi.
Kebutuhan vs Keinginan
Ini juga yang saya ajarkan ke anak, bahwa barang itu ada yang sifatnya kebutuhan dan ada yang sifatnya keinginan.
Kebutuhan adalah sesuatu yang penting untuk dipenuhi, yang jika tidak dipenuhi maka akan membuat kita menjadi susah atau menimbulkan hal yang negatif. Contohnya adalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal.
Sementara keinginan adalah sesuatu yang tidak harus dipenuhi, yang jika tidak didapat pun tidak akan membuat kita susah atau mendatangkan hal negatif. Contohnya mainan mobil-mobilan, mainan yang mahal, dsb.
Makanya ketika anak saya meminta sesuatu, salah satu pertanyaan yang akan saya ajukan adalah, apakah itu kebutuhan atau keinginan? Jika itu keinginan, artinya tidak harus dipenuhi saat itu juga. Saya akan ajak dia untuk melihat harganya dan berpikir bagaimana cara untuk mendapatkannya, dan jika sudah mendapatkannya, hal positif apa yang bisa dia lakukan dengan barang itu. Tapi saya tidak pernah memupus apapun keingnan yang anak-anak saya utarakan. Biarkan saja mereka punya mimpi keinginan-keinginan yang setinggi langit. Saya anggap mereka sekedar mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka, bukan lantas menjadi kewajiban saya untuk memenuhinya.
Belajar Bersyukur
Sejalan dengan itu, saya juga berusaha mengajarkan anak untuk selalu bersyukur.
Bersyukur artinya tetap bahagia dengan kondisi yang berkecukupan, tidak harus banyak atau berlebih. Asalkan cukup, itu sudah Alhamdulillah. Karena itu, saya sering mengajak anak berucap “Alhamdulillah” ketika kita atau dia mendapat sesuatu, meskipun itu hal kecil. Jika masih ada cemilan yang bisa dimakan meskipun sedikit, saya bilang Alhamdulillah masih ada. Kalau kami memberi anak mainan, mengajak liburan, atau yang lain, kadang saya berujar “Alhamdulillah papa & mama ada rejeki, jadi bisa beli mainan atau jalan-jalan”. Saya juga sering bercerita bahwa banyak orang di luar sana yang kondisinya jauh lebih tidak beruntung dibanding kita, dan karena itu kita harus bersyukur akan kondisi kita.
Itulah di atas beberapa strategi saya.
Hasilnya? Alhamdulillah, mereka bisa saya ajak bermain di toko mainan di mal seharian (semacam Toys City, Kidz Station, dsb. *maaf menyebut merek), tanpa mereka merengek-rengek minta dibelikan mainan, dan pulang dengan ceria tanpa membeli satu mainan pun.
Apakah selalu berjalan mulus dan lancar? Tentu tidak. Butuh usaha yang terus menerus dan tidak kenal lelah.
Semoga bermanfaat.
EDIT
Catatan tambahan: