Mengapa Indonesia dengan umat Islam terbanyak minat bacanya rendah? Sedangkan ayat perintah pertama Al-Quran adalah Iqra’ (bacalah), dan era keemasan Islam pun minat baca tinggi.
Ammar MufadhalExplainer
Mengapa Indonesia dengan umat Islam terbanyak minat bacanya rendah? Sedangkan ayat perintah pertama Al-Quran adalah Iqra’ (bacalah), dan era keemasan Islam pun minat baca tinggi.
Share
R.I.P Literasi
To be fair, serendah-rendahnya minat baca “umat Islam di Indonesia” saat ini bila dibandingkan dengan minat baca di jaman sahabat dulu masih jauh lebih rendah minat baca di jaman sahabat dulu loh.
Dulu itu hadist dan firman, yang kemudian mewujud menjadi satu surah di Al-Quran, tidak ada yang ditulis, melainkan dilafalkan oleh para penghafal terpilih. Jadi let alone minat baca rendah ya, dulu itu kehilangan terbesar ketika perang adalah ketika banyak penghafal Quran yang gugur.
Kenapa? Sebab mereka ibarat cloud storage hidup yang berisi data ayat-ayat suci Al-Quran. Bisa dibilang, di benak mereka lah “data-data berharga” itu disimpan.
Ah, tapikan tetep aja perintah pertama itu menyerukan “iqra” atau bacalah.
True. Tapi apakah di jaman itu yang dimaksud dengan membaca itu sama dengan “membaca” seperti saat ini?
Membaca sendiri punya terminologi yang luas dan longgar. Membaca garis tangan misalnya, atau membaca masa depan, membaca soal matematika, membaca tabel, atau membaca pergerakan lawan. I mean, pernah dengar “read between the lines?” Nah, membaca diantara garis seperti itu apakah termasuk membaca juga? Iya.
Jadi membaca itu apa dong?
Bicara minat baca nggak akan bisa lepas dari yang namanya literasi.
Banyak pengguna Quora yang menggaungkan (baca: mengabuse) kata literasi ini secara ugal-ugalan. Ketika muncul pertanyaan: Mengapa orang Indonesia (insert hal jelek)? Selalu dijawab: karena literasi dan minat baca yang kurang yada yada yada.
Oh literasi, dosa apa kamu sehingga kamu selalu disalahkan😤
Saya pernah binge read jawaban seseorang di Quora. Buset ada kali tuh si pengguna menjawab belasan pertanyaan dengan meyalahkan “literasi yang kurang”. Jawabannya ini selalu panjaang lebar tapi intinya lagi-lagi menyalahkan literasi orang Indonesia.
Menghadeh sekali.😑
Padahal, asal kamu tau ya. Jaaauh sebelum kata literasi ini dipopulerkan, adalah dr. Iwan Pranoto—seorang praktisi pendidikan— yang pertama kali mengenalkannya ke dunia pendidikan nasional dan sejak saat itu hampir semua dosen, menteri, guru, wartawan, latah mengadopsi kata ini di manapun mereka berada.
Namun sayang, semenjak kemunculannya sampai sekarang—entah pesannya kurang sampai apa bagaimana—lama-lama malah membuat pencetusnya sendiri muak dengan penggunaan dari kata ini.
Terutama (mungkin) oleh orang sok intelek wanna be yang menggunakannnya secara ugal-ugalan di sosial media.
🤮
Buat kamu yang masih menggunakan kata literasi di jawaban-jawabanmu, saran saya coba ditelaah kembali penggunaannya.
Setidaknya di Quora ini, kita bisa kembalikan lagi kepada makna asalnya.
Sebab sebagaimana halnya minat baca, literasi itu sendiri maknanya nggak sesempit itu. Contoh:
Kamu bisa aja salah menafsirkan suatu tabel dan karenanya lalu kamu dikatain “literasimu kurang”.
Kamu bisa aja salah menafsirkan maksud berita di Tribunnews gara-gara cuma baca judulnya doang dan karenanya lalu kamu dikatain “literasimu kurang”.
Kamu bisa saja salah menafsirkan maksud gebetanmu yang bilang ” terserah” di WA dan karenanya lalu kamu dikatain “literasimu kurang”.
Sekarang apakah minat baca itu selalu diartikan sebagai membaca tulisan secara verbatim tanpa perlu memikirkan konteksnya? Kalau cuma begitu doang mah, apa bedanya manusia dengan aplikasi OCR? Mau gitu kamu disamakan dengan aplikasi komputer?
Bicara mengenai Iqra’, kamu tidak bisa membandingkan pesan yang dikirimkan malaikat kepada Nabi terpilih dengan pesan yang dikirimkan gebetanmu ke dirimu.
Seperti yang kita tahu selalu ada aja error yang bisa terjadi di sisi receiver, manakala sebuah pesan ditransmisikan. Itulah mengapa selalu ada yang namanya misinterpretasi. Tidak terkecuali tulisan yang sedang kamu baca ini.
Sekarang bayangkan pesannya ini datang langsung dari sang Maha Pencipta, tentu saja ini adalah pesan yang ideal tanpa error. Tanpa adanya misinterpretasi.
Sebuah pesan yang langsung meresap ke pikiran dan hati sanubari penerimanya. Sebuah pesan yang penerimanya dijamin tidak akan dikatain “literasimu kurang”, karena salah mengartikannya.
Sayangnya, selama minat baca yang dimaksud penanya masih dijembatani oleh sebuah tulisan yang berisi rangkaian kata, maka akan selalu ada saat di mana kamu dikatain “literasimu kurang”, karena salah mengartikannya.
Saya pribadi percaya bahwa pesan yang dikirim dalam bentuk wahyu, tidak dikomunikasikan dalam bentuk sistem tulisan berisi huruf-huruf, atau aksara yang kita tahu selama ini.
Kenapa? Sebab rate of data dari huruf dan tulisan itu sendiri terlalu lamban dan out-dated bila dibandingkan dengan rate of data dari proses turunnya firman kepada Rasulullah. Tantangan inilah (rate of data) yang sedang diupayakan para ilmuwan supaya peradaban kita bisa melesat lebih jauh ke depan.
I mean, kelak aksara menjadi out-dated, akibatnya informasi tidak lagi disampaikan secara tulisan, apakah itu berarti semua orang di masa depan (tidak hanya umat Islam) itu “literasinya kurang” hanya karena tidak bisa membaca?
Semoga berkenan,
AL