Sistem Tahap Persiapan Bersama (TPB) adalah sistem matrikulasi di tingkat 1 yang bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar yang setara kepada seluruh mahasiswa dalam satu fakultas. TPB pertama kali diterapkan pada tahun 1973. TPB ITB sangat terpengaruh oleh MIT, terlihat dari mata kuliah yang diajarkan dan struktur kurikulumnya.
Secara umum, mata kuliah TPB terdiri dari Kalkulus, Fisika, Kimia, Rancangan dan Desain, serta mata kuliah lain yang dianggap relevan untuk memenuhi kebutuhan program studi. Untuk mata kuliah saintek, MAFIKI merupakan pendalaman dari materi SMA, terutama pada semester 1. Setiap fakultas memiliki mata kuliah yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kebutuhan. Bahkan untuk MAFIKI sendiri, ada level yang disesuaikan, misalnya untuk FMIPA Matematika A, SITH Matematika B, SBM Matematika Bisnis.
Mahasiswa TPB harus menyelesaikan 36 SKS dalam waktu 1 tahun. Jika ada mata kuliah yang tidak lulus, diberikan kesempatan untuk mengulang selama 1 tahun tambahan dan 2 semester pendek (SP). Dianggap lulus jika tidak ada mata kuliah yang mendapat nilai E atau T dan IP TPB > 2,00. Jika tidak lulus, maka akan diminta untuk mengundurkan diri dari ITB.
Gambar 1. Kurikulum TPB FMIPA
Gambar 2. Kurikulum TPB FSRD
Gambar 3. Kurikulum TPB FTMD
Gambar 4. Kurikulum TPB SAPPK
Gambar 5. Kurikulum TPB SBM
Gambar 6. Kurikulum TPB SITH-Sains
Gambar 7. Kurikulum TPB STEI-Komputasi
Terlihat dari gambar-gambar di atas kalau isi mata kuliah TPB unik untuk tiap-tiap fakultas karena disesuaikan dengan kebutuhannya.
Menurut saya dan teman-teman di kosan, kami sepakat bahwa mata kuliah semester 1 jauh lebih mudah daripada semester 2. Dan semester 2 entah kenapa waktu terasa lebih pendek. Kami menyimpulkan mungkin karena sudah bergabung dengan organisasi kesibukan semakin banyak dan fokus terbelah.
ITB berpendapat bahwa jika kamu sudah berhasil masuk ITB lewat jalur apa pun itu (SNBP, SNBT, Mandiri) adalah anak-anak yang cerdas dan kreatif. Maka, ekspektasi ITB terhadap kamu untuk menyelesaikan TPB bisa dibilang agak tinggi, mengingat sistem penilaian dan materi yang diajarkan memang lebih susah dibandingkan kampus lain (saya sudah buktikan dengan beberapa kampus di Sumatera). ITB berharap dengan standar yang tinggi ini akan membuat kamu mudah memahami materi perkuliahan di prodi dan menjadi lebih kreatif dan kritis.
Penilaian ITB (termasuk TPB) secara umum bisa dirangkum sebagai beriku (seingatku)
A di atas 75, C di atas 50.. jadi bisa dibayangkan kalau range antara A dan C cuma 25 poin, maka mendapatkan nilai tinggi di ITB sebenarnya agak sulit, mengingat di kampus lain seringnya dapat A itu harus 90 ke atas.
Lalu, untuk masuk ke jurusan yang diinginkan masih harus berkompetisi dengan teman sefakultas.
Jadi, di dalam satu fakultas ada prodi yang peminatnya tinggi, ada yang rendah. Prodi dengan peminat tinggi, biasanya punya rata-rata IP TPB yg tinggi untuk lolos. Misal di FMIPA waktu tahun ku masuk, prodi dengan urutan favorit adalah Matematika, Astronomi, Fisika, Kimia. Maka untuk lulus prodi-prodi tersebut pasti nilai rata-rata IP TPB nya adalah Matematika > Astronomi > Fisika > Kimia.
Untuk jalur Peminatan yang bisa didapatkan oleh peserta yg lulus dari SNBP, berapa pun besar IP TPB nya, pasti akan lulus. Sedangkan yg non-peminatan harus berjuang untuk mencapai rata-rata yang dibutuhkan agar masuk ke prodi yg diinginkan.
Satu keunikan di tahun ku (2017) adalah peminat Matematika dan Astronomi sangat tinggi. dari 360 an TPB FMIPA, 250an favoritkan matematika, dan 60an favoritkan Astronomi. Padahal, kapasitas prodi tersebut hanya 117 dan Astronomi 50 orang. Bisa dibayangkan betapa banyaknya orang yang terlempar ke pilihan kedua mereka. Orang-orang terbuang ini akan cenderung struggle menjalani perkuliahan. Ada juga yang paling menyedihkan lulus FMIPA di pilihan kedua. Teman-teman ku yang seperti ini sebagian ada yang menghilang.
Dari penjelesan ku di atas, bisa kita paparkan kelebihan TPB ITB sbb :
- Mampu memberikan standar pemahaman yang sama untuk mempersiapkan perkuliahan di tahap sarjana.
- Standar yang diberikan tinggi, sehingga mau tidak mau mahasiswa ITB dituntut rajin belajar.
- Karena standar yang tinggi, apabila maba TPB tidak betah di ITB, materi yang diberikan sudah lebih dari cukup untuk mengambil tes masuk lainnya.
- Mahasiswa punya waktu untuk mengambil prodi yang paling cocok untuknya. Tak dipungkiri bahwa banyak orang memilih jurusan kuliah saat di SMA tidak benar-benar mengetahui terkait apa yang akan dipelajari atau bagaimana prospek karirnya.
- Bisa mengambil waktu untuk mengenal UKM dan kegiatan-kegiatan lain di kampus, karena saat TPB belum menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan.
- Mahasiswa dari berbagai daerah dan sekolah bisa cukup membaur karena sistem pembagian kelas TPB yang random, dan berbeda untuk beberapa mata kuliah.
- Kegiatan TPB seperti TPB Cup cukup positif untuk melatih kekompakan, membangun relasi, dan membangkitkan simpati meskipun memang agak membuang waktu dan tenaga.
Sedangkan untuk kekurangannya sbb :
- Materi TPB tidak peduli apakah Anda SMA di kota atau di pelosok Indonesia. Konsekuensinya, pace perkuliahan tidak akan menyesuaikan dengan pace pemahaman Anda. Saya punya teman dari daerah 3T dan Papua yang sangat struggling di TPB. Bukan karena mereka malas, tapi memang mereka dasar di SMA nya sangat lemah. Memang Tutorial dan MAC sangat membantu, tapi memang tidak cukup untuk teman-teman dari daerah pelosok.
- Sejatinya, tiap mahasiswa TPB punya mentor dari LTPB yang merupakan senior atau mahasiswa S2 yang bisa membantu kita apabila terdapat kendala dalam perkuliahan. Namun sayangnya, mentor-mentor ini tidak cakap. Mereka seolah tidak tau kalau mahasiswa TPB cenderung individualis dan egois. ini menyebabkan banyak mahasiswa yang terlantung-lantung dan kehilangan arah apabila bermasalah. Saya lihat mentor-mentor ini apabila tidak dihubungi duluan, maka mereka tidak mau tahu apa kendala yang kita alami, Ini bukan terjadi pada saya saja, tetapi juga pada sebagian teman lainnya.
Sedikit cerita, saya sempat bermasalah di waktu TPB dimana saya mengulang Kalkulus IIA. Saya waktu itu sangat bingung apakah harus mengulang tahun depannya atau mengambil di semester pendek bulan depannya. Saya coba menghubungi mentor tapi mereka menjawab “bagaimana enaknya kamu saja” tanpa memberikan saran dan masukan. Akhirnya saya memilih pulang kampung dan mengulang kalkulus IIA saya di semester depan. Padahal, keputusan terbaik yang seharusnya saya ambil adalah ambil kalkulus IIA tersebut di semester pendek dan saya akan tetap punya waktu libur 3 minggu sebelum memulai tahun ajaran baru sehingga saya tidak akan memiliki kendala perkuliahan di tahapan sarjana. - Beban kuliah TPB masih ringan, hanya 36 sks setahun.. Meskipun ada Lab, Gamtek, PRD, dll sebenarnya masih punya cukup waktu luang untuk main dan santai. Ringannya beban TPB ini membuat beban SKS di tahap sarjana menjadi sangat berat, padahal kesibukan juga semakin bertambah, dibandingkan TPB yang cenderung lebih luang. Di kampus lain, mahasiswa dapat mengambil hingga 40–46 SKS di tahun pertama. Ini membuat beban perkuliahan di tingkat 2 dan 3 menjadi lebih sedikit. Ini lah yang membuat banyak mahasiswa ITB di tingkat 2,3,4 sering mengalami tekanan dan gangguan psikologis akibat beban perkuliahan yang berat. Belum lagi akhir-akhir ini ada kegiatan MBKM, maka mahasiswa ITB cenderung akan mengorbankan satu semester agar tidak keos dengan beban akademik.
- Di luar dari sistem TPB yg dibuat oleh kampus, khusus untuk FSRD mereka sudah mengikuti kader Fakultas yang menurut teman-teman saya di FSRD lebih baik dihilangkan karena tidak ada esensinya. Fakultas lain pun ikut-ikutan mengadakan kaderisasi fakultas yang menurut saya tidak ada urgensinya.
- TPB membuat mahasiswa tidak langsung masuk ke jurusan yang diinginkan kecuali lulusan Undangan (SNBP), padahal mahasiswa SNBT pun juga berhak masuk ke prodi idamannya.
Tapi akhir-akhir ini hal ini sudah mulai diatasi dengan dipecahnya beberapa fakultas seperti FMIPA menjadi FMIPA-IPA dan FMIPA-Mat, STEI menjadi STEI-Komputasi dan STEI-Rekayasa, SITH menjadi SITH-R dan SITH-S. - Meskipun mata kuliah TPB sudah disesuaikan dengan kebutuhan prodinya, tetap saja masih ada yang tidak sesuai, misal pada Gambar 4, teman-teman PWK saya merasa mata kuliah TPB nya terlalu tinggi dan pada akhirnya tidak terpakai ketika masuk prodi.
Mungkin cukup sekian jawaban saya. Jawaban ini sangat subjektif dan murni merupakan pengalaman saya selama berkuliah. Mungkin banyak hal yang belum sempat saya cantumkan mengingat masa TPB saya sudah hampir 6 tahun lalu. Kiranya ada yang dapat didiskusikan, jangan segan-segan untuk memberikan komentar. Terima kasih.