Mengapa Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III mencatat dua daftar nama Raja Bhumi Mataram yang berbeda?
Abdul TahariTeacher
Mengapa Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III mencatat dua daftar nama Raja Bhumi Mataram yang berbeda?
Share
Prasasti Mantyasih (908 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (907 M) dikeluarkan oleh raja yang sama, yaitu Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu (bertahta 898–908 M). Dalam kedua prasasti tersebut terdapat daftar raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram Kuno sebelum Dyah Balitung. Ingat, kedua prasasti ini memuat daftar raja bukan silsilah para raja, karena tidak semua raja Mataram Kuno saling memiliki hubungan darah bapak-anak.
Prasasti Mantyasih berisi penganugerahan sīma di daerah Wukir Sumwing (G. Sumbing) dan Wukir Susundara (G. Sindoro) kepada lima patih di desa Mantyasih secara bergantian, karena jasa mereka yang telah mengerahkan rakyat untuk melakukan kerja bakti saat perkawinan Dyah Balitung, karena mereka tidak pernah melalaikan pemujaan pada beberapa bangunan suci kerajaan, dan karena mereka itu telah memenuhi permintaan rakyat desa Kuning untuk menjaga keamanan di jalanan dari gangguan bandit.
Perkawinan Dyah Balitung ini sangat berarti penting sehingga hal tersebut dituliskan dalam sebuah prasasti, karena melalui perkawinan ini Balitung dapat naik tahta menjadi Raja Mataram Kuno. Namun dengan siapa ia menikah tidak diketahui lebih lanjut. Dugaan yang paling kuat adalah ia menikahi putri mahkota raja sebelumnya, yaitu putri Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Dyah Jbang (bertahta 894–898 M).
Sedangkan Prasasti Wanua Tengah III berisi tentang riwayat jalan panjang sebuah tanah sīma di desa Wanua Tengah, sejak ditetapkan oleh Sri Maharaja Rakai Panangkaran (bertahta 746–784 M) hingga masa Dyah Balitung bertahta. Tidak seperti prasasti lain yang dibuka dengan pertanggalan dan nama raja (Swasti śakawarsātīta…….) namun dibuka dengan ‘wuara….’ dan langsung bercerita tentang asal mula status sīma di desa Wanua Tengah.
Tanah sīma di desa Wanua Tengah ini dianugerahkan oleh Rakai Panangkaran untuk menghidupi sebuah Bihara Buddha di daerah Pikatan yang didirikan oleh Rahyangta i Hara, adik Rahyangta ri Mdang (Sanjaya), alias pamannya Rakai Panangkaran. Dalam perjalanannya, status sīma ini beberapa kali dicabut (lebur) oleh raja yang sedang berkuasa, hingga kemudian diteguhkan kembali oleh Dyah Balitung, ia juga memerintahkan agar seluruh bihara di tanah Jawa dijadikan swatantra.
Prasasti Mantyasih menyebutkan sejumlah 9 nama Raja Mataram Kuno, hanya menyebutkan saja tanpa disertai kapan seorang raja naik tahta dan kapan waktu ia meninggal atau turun tahta. Bagian yang memuat daftar raja adalah pada lempeng B baris 7-9,
Sedangkan Prasasti Wanua Tengah III menyebutkan 13 nama raja dan dengan cukup jelas menyebutkan pertanggalan kapan seorang raja naik tahta dan sedikit keterangan tentang meninggalnya seorang raja. Dibawah ini sedikit kutipan dari Prasasti Wanua Tengah III lempeng II A baris ke 1–2,
Dapat dilihat dalam petikan prasasti diatas jika pertanggalan dalam Prasasti Wanua Tengah III sangat lengkap. Menyebut angka tahun, bulan, dan hari, baik Sadwara (hari yang enam/paringkelan), Pancawara (hari yang lima/pasaran), serta Saptawara (hari yang tujuh/seminggu).
Sebagai contoh:
Menurut Kusen, pertanggalan Saka diatas bertepatan dengan tanggal 22 Februari 847 Masehi. Sedangkan menurut Boechari itu bertepatan dengan 6 Maret 847 Masehi.
Nah…. berikut ini adalah daftar raja-raja Mataram Kuno yang saya buat, dapat dilihat Prasasti Mantyasih (907 M) hanya memuat 9 nama raja saja. Sedangkan dalam Prasasti Wanua Tengah III (908 M), terdapat 9 nama ditambah 4 nama yang tidak tercantum dalam Prasasti Mantyasih.
Mereka adalah Dyah Gula, Dyah Tagwas, Rakai Panumwangan Dyah Dewendra, dan Rakai Gurunwangi Dyah Badra. Raja-raja ini hanya memerintah sebentar saja, ada dugaan bahwa mereka merebut tahta dari pewaris yang sah. Hal itu terlihat dari nama Dyah Gula dan Dyah Tagwas yang tidak mempunyai ‘daerah lungguh’ karena tidak memakai gelar Rakai.
Dalam keterangan di Prasasti Wanua Tengah III, Dyah Tagwas naik tahta pada tahun 885 M; tetapi kemudian ia terusir (kādĕh) dari istana. Ia kemudian digantikan oleh Rakai Panumwangan Dyah Dewendra di tahun yang sama; ia pun kemudian terusir dari istana. Setelah Dyah Dewendra, Rakai Gurunwangi Dyah Badra naik tahta pada tahun 887 M; tetapi baru satu bulan ia berkuasa, ia melarikan diri (minggat) dari istana.
Prasasti Wanua Tengah III tidak menjelaskan alasan mengapa Dyah Tagwas dan Dyah Dewendra terusir dari istana dan mengapa Dyah Badra sampai melarikan diri. Mengingat ada dugaan bahwa mereka merebut tahta dari pewaris yang sah, apakah sedang terjadi konflik/perang pada masa itu?
Apakah Dyah Dewendra yang mengusir Dyah Tagwas dan Dyah Badra yang mengusir Dyah Dewendra?
Mengapa setelah Dyah Badra melarikan diri dari istana terjadi interegnum atau kekosongan pemerintahan selama 7 tahun di Kerajaan Mataram Kuno?
Dan bagaimana Rakai Watuhumalang Dyah Jbang bisa naik tahta setelah interegnum? Serta apakah dia pewaris yang sah?
Belum ada jawaban pasti untuk pertanyaan-pertanyaan diatas.
Setelah membaca uraian panjang tentang Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III diatas, kini sampailah kita pada inti atau kesimpulan tulisan ini.
Mengapa Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III mencatat dua daftar nama raja Bhumi Mataram yang berbeda?
Perbedaan daftar raja-raja dalam Prasasti Mantyasih (908 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (907 M) tersebut disebabkan karena perbedaan latar belakang atau alasan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung dalam mengeluarkan kedua prasasti tersebut.
Prasasti Mantyasih dikeluarkan dengan alasan untuk melegitimasi Dyah Balitung sebagai raja. Seperti yang diketahui ia naik tahta dengan cara perkawinan dengan putri mahkota raja sebelumnya, putri Rakai Watuhumalang Dyah Jbang. Sehingga dalam Prasasti Mantyasih ia hanya melampirkan/menyebutkan daftar raja-raja Mataram Kuno yang berdaulat penuh atas kerajaan. Nama-nama seperti Dyah Gula, Dyah Tagwas, serta yang lainnya tidak disebutkan karena mereka tidak berdaulat penuh atas kerajaan.
Sebagai informasi tambahan, seorang raja yang dalam nama abhiseka/gelarnya menggunakan ‘dharmma’ atau ‘dharmmo’ adalah raja yang naik tahta karena perkawinan. Contohnya adalah Dyah Balitung dan Dharmawangsa Airlangga.
Sedangkan Prasasti Wanua Tengah III dikeluarkan dalam kaitannya dengan status sīma di desa Wanua Tengah, sehingga semua penguasa, baik yang berdaulat penuh atau tidak, yang memiliki sangkut paut dengan sīma dimasukkan dalam daftar.
Terkait dengan status sīma tersebut, setelah dicabut (lebur) oleh Rakai Pikatan Dyah Saladu, para penggantinya, yaitu Rakai Kayuwangi, Dyah Tagwas, Rakai Panumwangan, dan Rakai Gurunwangi, tetap membiarkan bihara Buddha di Pikatan tanpa sīma. Pun begitu dengan Rakai Watuhumalang yang naik tahta setelah interegnum. Status sīma kemudian diteguhkan kembali oleh Dyah Balitung.
Sekian, semoga tulisan saya menjawab pertanyaan ini, dan apa yang saya paparkan tersebut dapat tersampaikan dengan baik. Terima kasih.
RING KĀLA SANG MNANG MAKDHĀRAṆA LOKADHĀTU
Referensi
Catatan Kaki
[1] Prasasti Mantyasih I (Peninggalan Arkeologi di Pereng Wukir Susundara-Sumving) – Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah