Setengah takut dan setengah tidak takut. Aneh kan??
Setengah Tidak Takutnya.
Dulu dan sampai sekarang sih, kalau soal kematian aku gak terlalu merisaukan hal itu. Secara mental memang aku siap dan kalau cerita dosa, ya tiap hari, sengaja atau tanpa sengaja yang namanya manusia pasti buat dosa termasuk aku karena aku juga manusia. Yang paling penting aku tetap ingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang udah ciptain dunia ini, jalani aturan yang udah Allah kasih untuk manusia melalui utusanNya terutama Rasulullah SAW dan jauhi larangan yang udah Allah kasih tau. Lalu terus bersyukur, terus bertaubat, dan prinsipku, selama masih hidup aku coba meminimalisir semua hal yang bisa buat aku dapat dosa atau rasa bersalah yang besar, baik itu perbuatan, perkataan, dan pemikiran yang berasal dari dalam diriku ataupun dari luar diriku. Jadi, aku harus terus super bahkan ultra-aware dalam hidupku.
Untuk sebagian dari ketakutannya.
Saya mulai merasa takut untuk mati sejak memiliki anak. Itu bukan karena takut tidak akan melihat kesuksesannya atau kebahagiaannya di masa depan. Namun, kekhawatiran terbesar saya adalah setelah kematian saya, anak-anak saya tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk bertahan hidup di dunia ini, yaitu kemampuan untuk membedakan etika. Dia bingung tentang identitasnya. Saya khawatir bahwa anak-anak saya akan sama rusaknya seperti orang-orang yang menggunakan narkoba dan tidak bermoral di luar sana.
Sebagai seorang bapak, tekadku adalah untuk tetap sehat dan sebisa mungkin berfungsi sebagai bapak yang signifikan bagi anakku. Saya telah menanamkan keyakinan ini pada diri saya sendiri: “Aku harus tetap disamping anakku, jika terjadi sesuatu dan dia terselip, ada aku disampingnya untuk bisa bantu dia berdiri lagi, karena itulah tanggung jawabku dan rasa sayangku terhadap darahku.” Ini juga yang memicu rasa takutku akan mati. Saya takut anakku mengalami masalah.