Bagaimana rasanya tinggal di Salatiga?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Saya tidak menyangka ada pertanyaan ini. Hahaha
Kebetulan saya lahir, tumbuh, dan besar di Salatiga. Kota ini bisa kita lacak keberadaannya di wikipedia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Salatiga
Menurut saya, kota ini sungguh underrated. Banyak sekali orang yang tidak mengetahui tentang Salatiga. Setiap kali saya ditanya dari mana asalnya, kebanyakan dari mereka mengernyit dan bengong karena merasa asing mendengar nama kota ini. Saya pun demikian. Saat kecil, saya sering protes dalam hati, terkadang protes dengan orangtua juga. Pertanyaan-pertanyaan polos seperti “Kenapa Salatiga jarang muncul di berita? Mosok sing metu ning tivi mung Jakartaaaa wae! (Masa yang muncul di televisi Cuma Jakartaaa doang!)”, kerapkali spontan keluar dari mulut saya. Seolah saya tidak terima dilahirkan di kota ini.
Namun untuk kehidupan sendiri, kota ini sangat-sangat damai, sejuk, dan menyenangkan. Karena Salatiga terletak di dataran yang cukup tinggi, suhu rata-rata tidak sepanas kota sekelilingnya, JogLoSemar atau Jogja, Solo, dan Semarang. Saat musim kemarau, udara memang cukup kering, tapi tetap sejuk. Sehingga saat melihat daun-daun jatuh berguguran menghiasi jalanan protokol, saya kerapkali membayangkan kalau saya sedang berada di musim gugur negara subtropis. Terlebih banyak bangunan peninggalan Belanda di sana. Suasana Eropanya sangat terasa (aish lebay). Saat musim hujan, kabut pada pagi harinya membuat malas untuk beraktifitas. Rintik hujan di dalam rumah ditemani segelas teh panas dan mie instan buatan ibu, serta segenggam novel yang dibelikan ayah tempo hari adalah surga bagi saya.
Jangan ditanya pula kehidupan sosialnya. Pelajaran kewarganegaraan (dulu bernama PPKn) bab toleransi kelas 2 SD kurikulum 1994 (aha ketauan tuanya) langsung bisa diterapkan begitu pulang sekolah. Di kompleks perumahan saya, satu gang hanya keluarga kami yang muslim. Biasanya sore sepulang sekolah, saya kerapkali bermain sepakbola dan badminton dengan tetangga saya yang Kristen-Tionghoa, dan Kristen-Batak. Malam harinya, saya ngaji dengan ustadz atau kadang menyimak alunan lembut tilawah ibu yang ngangeni. Tetangga depan rumah tiap pekan mengadakan Sekolah Minggu di sore hari, dan kadang saya menengok dan manggut-manggut, “Ooh gitu ya ibadah mereka”, dari balik jendela rumah saya. Selama 19 tahun saya hidup di kota itu, saya sangat jarang sekali menjumpai pertengkaran akibat perbedaan keyakinan. Aplikasi ayat terakhir surat Al-Kafirun yang artinya “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” berjalan cukup baik di kota ini. Memang ada satu-dua orang yang rasis dan diskriminatif, tapi di manapun akan ada orang seperti itu bukan? Saya pernah menulis tentang ini di Quora English dan tulisan ini cukup banyak mendapat respon yang beragam.
Afif Syaiful Z M’s answer to What’s your opinion about tolerance in Indonesia now?
Oya. Dulu saya juga sering mengeluh mengenai akses kota ini. Memang lokasinya cukup strategis karena tepat berada di tengah 3 kota yang saya sebut tadi. Tapi semuanya jauh! Mana nggak ada stasiun atau bandara lagi. Betul-betul merasa terisolasi. Namun sekarang alhamdulillah, jalan tol sudah dibangun dan menyambung kota Semarang dan Solo. Dulu, untuk pergi ke Semarang dengan mobil, kami butuh waktu paling singkat 1 jam 30 menit. Belum termasuk macet. Setelah tol dibangun, sekarang kami hanya membutuhkan waktu 40 menit. Kawan-kawan pasti ingat berita yang diheboh-hebohkan tentang gerbang tol terindah di Indonesia dengan latar gunung Merbabu di belakangnya kan? Saya harus mengapresiasi kerja pemerintah yang non-stop sambung-menyambung membangun akses tol di Jawa Tengah sejak saya duduk di bangku SMP ini. Apresiasi kepada pemerintahan pak SBY dilanjut pak Jokowi.
Untuk biaya hidup, anggap saja seperti pergi ke Jogjakarta. Makanan relatif murah di sini. Tapi karena biaya hidup murah, standar gaji di sini juga cukup murah. Itu kenapa Salatiga (setidaknya di perumahan saya) sudah seperti Jepang, banyak orangtua, sedikit anak muda. Mereka memutuskan untuk merantau ke kota lain yang lebih memberi kepuasan zahir dan batin kepada mereka. Termasuk saya 🙂
Kira-kira seperti itu gambarannya. Mohon koreksi jika ada kesalahan 🙂