Saya ingin berbagi pengalaman anak saya dengan hemofilia A.
Saya adalah ibu penyandang hemofilia A dan cerita ini saya bagikan tentang upaya saya untuk menemukan pengobatan terbaik untuk anak saya.
Pada tahun 2009, anak kedua saya, yang berusia sekitar 9 bulan, didiagnosa menderita hemofilia. Pada awalnya, saya berpikir bahwa anak saya hanya mengalami demam yang biasa selama lebih dari tiga hari. Setelah itu, saya membawa anak saya ke klinik dan disarankan untuk melakukan tes darah esok paginya. Setelah tes pertama, dia disarankan untuk melakukan tes lagi sore harinya. Setelah itu, saya menemukan bahwa bekas pengambilan darahnya tidak sembuh sampai sore hari. Darahnya terus mengalir ke jok mobil saya.
Saya pun menceritakan hal ini ke dokter saya, yang kemudian menyarankan agar anak saya bisa mengambil tes darah di RS besar dengan layanan dokter anak spesialis hematologi & onkologi. Setelah hasil tes keluar, ternyata anak saya memiliki gangguan pembekuan darah akibat darah kekurangan Faktor VIII, yang membuat darah sulit membeku sehingga menyebabkan pendarahan yang sulit untuk berhenti atau berlangsung lebih lama. Secara medis, penyakit ini dikenal dengan Hemofilia A.
Sebagai orang tuanya, saya tahu apa yang paling sulit ketika ada pendarahan dalam tubuhnya. Karena sendinya bengkak dan tidak dapat bergerak, anak saya menangis hingga menjerit-jerit. Bahkan, pendarahan bisa terjadi secara tiba-tiba saat bangun tidur dan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Misalnya, ketika anak saya mulai belajar merangkak, tangannya kemudian membengkak. Anak saya bisa menderita pendarahan empat kali dalam satu bulan, yang berarti dia harus berobat ke rumah sakit secara berkala.
Bukan hanya soal perawatan, pengobatannya juga terbatas. Anak saya saat ini hanya bisa diobati dengan penyuntikan Faktor VIII ke dalam darah atau intravena. Anak saya harus berjuang menahan rasa sakit disuntik hingga 11 kali untuk bisa menemukan venanya. Bayangkan hancurnya hari saya sebagai seorang ibu! Pedih rasanya melihat anak saya harus dibedong untuk disuntik sebanyak itu. Saya semakin terpuruk ketika anak saya perlu menjalani proses tersebut berhari-hari dan kembali kambuh di pekan-pekan selanjutnya. Bahkan ketika anak saya sudah bersekolah, dia sampai harus izin berkali-kali sampai tidak bisa bersekolah untuk menjalani pengobatan hingga 2 bulan lamanya.
Sudah tak terhitung rasanya anak saya berkali-kali ke rumah sakit selama 12 tahun ini untuk meringankan rasa sakit yang sering muncul tanpa dikehendaki. Anak saya bisa dirawat dan merasakan sakit berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan lamanya. Keseharian sekolah anak saya pun mau tidak mau menjadi terganggu. Saya pun rela resign dari pekerjaan untuk bisa menemani, memantau, dan merawat anak saya, terutama saat-saat harus membawanya berobat ke rumah sakit. Rasa lelah yang dialami oleh anak saya mungkin lebih dari ini. Ia harus merelakan hari-hari bermainnya, tidak bersekolah untuk beberapa lamanya, harus keluar-masuk rumah sakit beberapa kali sehari, mengantri mendapat giliran pengobatan yang pastinya sambil menahan rasa sakit, dan juga harus sabar menahan sakit sembari disuntikkan obatnya berkali-kali hingga dapat masuk ke pembuluh darah.
Terapi Faktor VIII yang biasa anak saya gunakan ini ditanggung oleh asuransi kantor suami saya. Saya dengar, obat ini juga ditanggung oleh BPJS untuk pasien-pasien hemofilia, tetapi terbatas pada rumah sakit-rumah sakit tertentu. Terapi Faktor VIII ini hanya bisa didapat kalau sakit anak saya sedang kambuh. Jenis terapi ini dikenal dengan istilah terapi on-demand. Ditambah, saya cukup merasa kesulitan jika obat yang harus dipesan dulu ini, jumlahnya terbatas dan tidak semua rumah sakit memilikinya.
Kondisi tersebut sangat menyulitkan apabila anak saya dalam kondisi darurat dan membutuhkan pertolongan pertama. Saya sangat sedih saat melihat anak saya harus merasakan sakit luar biasa dulu sebelum bisa mendapatkan obat, yang juga memberikan rasa sakit dalam prosesnya. Pengobatan yang dijalani anak saya sering kali tidak selesai dalam satu kali kunjungan ke rumah sakit. Saya harus menyaksikan anak saya mendapat pengobatan berkali-kali sebelum akhirnya pendarahannya berhenti.
Pernah dalam suatu waktu anak saya tak berhenti menangis selama dua hari karena menahan rasa sakit, hingga suami saya batal dinas karena tidak tega melihat kondisi anak saya. Anak saya juga kesulitan untuk beristirahat dan akhirnya terpaksa tidur dalam posisi duduk ketika kakinya sakit.
Suatu hari, saya dihubungi anggota komunitas hemofilia yang menginfokan obat baru untuk hemofilia A. Terapi ini dapat diberikan secara profilaksis sebagai pencegahan. Bedanya dengan pengobatan yang biasanya yang diberikan ketika terjadi pendarahan (on-demand), terapi profilaksis ini bisa diberikan secara rutin sebelum terjadinya pendarahan untuk mencegah terjadinya pendarahan yang tidak terkendali, lain halnya dengan pengobatan on-demand yang hanya diberikan saat pendarahan terjadi dan seringkali harus dilakukan berkali-kali dimana anak saya harus bolak-balik ke rumah sakit karena pendarahan tidak langsung berhenti ketika diobati pertama kali.
Saat itu, saya mengetahui bahwa obat baru ini dapat membantu orang yang menderita hemofilia untuk beraktivitas seperti biasa. Saya juga tertarik untuk bertanya kepada anggota komunitas tentang cara mendapatkan terapi pencegahan dengan obat itu. Setelah mencari tahu lebih lanjut, saya sempat takut karena terapi dengan obat ini tidak ditanggung oleh BPJS. Namun, karena saya ingin anak saya mendapatkan terapi itu, saya mencoba bertanya lebih lanjut dan akhirnya, dengan bantuan asuransi kantor suami, saya dapat memberikan obat tersebut kepada anak saya.
Sejak anak saya mendapat terapi obat tersebut, saya terharu bisa melihat kebahagiaan anak saya yang bisa bermain bulu tangkis untuk pertama kali dengan sepupunya. Awalnya saya sangat takut, tapi ternyata tangan anak saya tidak bengkak esok harinya. Pernah suatu ketika lututnya sobek karena jatuh. Saya sempat panik luar biasa, takut malah mengacaukan liburannya saat itu. Keajaiban seolah muncul, melihat luka sobeknya itu sembuh, kering dalam dua hari! Saya benar-benar senang dan lega, rasanya pundak saya jadi sangat ringan setelah melihat anak saya bebas dari kesakitan. Secercah harapan rasanya mulai bangkit di dalam diri saya untuk bisa melihat anak saya yang bisa aktif bersenang-senang dengan rasa aman.
Hingga di penyuntikan keempat, saat sedang menonton anak saya berenang pertama kali tanpa saya didampingi di water park, saya dikabari oleh pihak asuransi kantor suami kalau obat ini sudah tidak dapat ditanggung lagi karena sudah tidak masuk di anggaran. Dari situ saya menangis sejadi-jadinya, seakan anak saya mungkin tidak akan bisa merasakan kebahagiaan dan ketenangan hidup yang dalam beberapa waktu ini dia jalani. Anak saya pun berusaha memahaminya dan tabah ketika mendengar kalau ia harus kembali ke pengobatan sebelumnya, karena satu-satunya pengobatan yang dijamin asuransi kantor dan BPJS adalah pengobatan on-demand dengan Faktor VIII.
Saya setidaknya bersyukur sudah pernah mengetahui jenis pengobatan yang sangat baik dan sempat diberikan untuk anak saya. Saya masih memiliki harapan untuk bisa mewujudkan kesehatan anak saya secara penuh, agar dia bisa beraktivitas dengan normal. Namun, harapan ini mungkin masih akan terkubur karena jenis terapi ini masih belum ditanggung oleh BPJS. Saya memiliki harapan besar terhadap pemerintah, agar pengobatan profilaksis dengan obat inovatif ini dapat masuk ke dalam tanggungan program JKN untuk seluruh anak-anak penyandang Hemofilia A agar anak-anak kami bisa mendapatkan pengobatan yang terbaik. Saya percaya, semua orang tua dari anak penderita Hemofilia A akan bahagia melihat anaknya bisa bertumbuh, beraktivitas, seperti anak pada umumnya dan terlebih lagi bisa menggapai cita-citanya demi masa depan mereka yang indah.
Bonus: Fotoku dengan anakku yang selalu berjuang dan punya cita-cita jadi ilmuan penemu obat hemofilia yang tidak menyakitkan.